Indek Potensi Konflik Tidak Tinggi, Tapi Naik dari Tahun 2014 | Kedaulatan Rakyat

02 Februari 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

WATES (KRjogja.com) – Indeks Potensi konflik semua dimensi di Kulonprogo 2016 tidak tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kondisi 2014 mengalami peningkatan terutama dalam dimensi potensi konflik ekonomi. Adanya data dapat digunakan sebagai masukan pemkab hingga pemerintah desa dalam mengantisipasi konflik.

“Pemerintah daerah harus membangun trust kepada masyarakat melalui kebijakan dan pelayanan publik yang pro kepentingan masyarakat luas. Belajar dari Bantul, Sleman, dan Gunungkidul terkait penyelenggaraan pilbup dan pilkades yang menyebabkan kenaikan potensi konflik bersumber dari aktivitas politik, maka pemerintah harus mencermati dan mewaspadai munculnya potensi konflik itu di Kulonprogo yang akan datang. Juga harus dicermati perkembangan ekonomi yang terjadi karena mengalami peningkatan potensi konflik,” kata Henny Ekawati SSos MSi peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM pada sosialisasi “Peta Perubahan Sosial dan Potensi Konflik DIY” di aula Adikarto Gedung Kaca Wates, Rabu (01/02/2017).

Sosialisasi yang dibuka Asisten I Setda Kulonprogo Arif Sudarmanto SH ini diadakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY serta PSKK UGM, dengan peserta dari Kodim 0731, Polres, Kominda, FKDM, Kesbangpol, Camat, Kapolsek, Danramil, Lurah/Kades.

Ditambah pula, dengan meningkatnya potensi konflik bersumber dari perbedaan identitas yang menyebar tidak hanya di Kota Yogyakarta, maka pemkab harus mulai mengembangkan kebijakan yang bertujuan mengembangkan toleransi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi pro-rakyat perlu didorong.

Dikatakan Henny, modal sosial yang masih berjalan di masyarakat dinilai masih bagus dan tinggi, seperti di Kulonprogo adalah kerja bakti, sambatan dalam membangun rumah, memberi sumbangan pada saat hajatan, dan memberi bantuan pada saat ada kedukaan masih sangat tinggi, namun gotong royong dalam mengelola lahan pertanian masih sedang, tidak sebagus lainnya.

Lebih lanjut Henny, komposisi masyarakat DIY yang multikultur bisa menjadi sebuah kekuatan. Namun apabila tidak ditopang oleh kekuatan modal sosial yang memadai bisa menimbulkan konflik.

“Terjadi dinamika perubahan sosial yang cukup signifikan, baik secara budaya, ekonomi, maupun politik, dan jika tidak dikelola dengan baik berpotensi terjadi konflik,” katanya.

Dikatakan Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY Drs Nur Satwiko selaku penyelenggara kegiatan, pihaknya bekerjasama dengan PSKK UGM sudah melakukan penelitian perubahan sosial dan potensi konflik pada lima kabupaten/kota dengan responden dari unsur tokoh pemuda, tokoh perempuan, BPD, LKMD, Unsur Polsek, Unsur Koramil, Babinkamtibmas, RT, RW, serta unsur masyarakat.

Adapun lima aspek/dimensi yang diteliti meliputi: Dimensi Pemerintahan, Politik, Ekonomi, Identitas dan relasi sosial serta Dimensi Kekerasan Kelompok/premanisme. “Tujuannya sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Rencana AKSI perubahan sosial dan potensi konflik yang direncanakan akan disusun pada bulan Februari dengan melibatkan Polres, Kodim, Kesbang, Kominda, FKDM dan Forkopimcam,” kata Nur Satwiko. (Wid)

*Sumber: KR Online & versi cetak Harian KR 2 Februari 2016 | Photo: Aksi penolakan pembangunan bandara di Kulon Progo/merahputih.com