PELAYANAN PUBLIK: Inovasi Kebijakan Masih Melekat Pada Sosok Pemimpin

12 November 2016 | admin
CPPS' News, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terus giat mendorong inovasi pelayanan publik secara nasional. Sebuah kompetisi bahkan diselenggarakan guna mendukung gerakan one agency one innovation. Instansi pemerintah dengan inovasi terbaik diberikan penghargaan sekaligus dikawal untuk melakukan replikasi agar bisa menunjang pembangunan secara keseluruhan.

Bagi Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, reformasi birokrasi, khususnya dalam aspek pelayanan publik masih berada pada fase pertama. Pada fase ini penyelenggara pelayanan publik dituntut agar bisa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik. Di lain sisi, awareness atau kepedulian masyarakat terhadap persoalan-persoalan kualitas pelayanan publik juga terus ditumbuhkan. Partisipasi publik adalah salah satu aspek utama dalam perbaikan pelayanan publik.

“Fase ini sudah berjalan baik menurut saya dan seharusnya saat ini kita sudah berada di fase kedua, yakni pelembagaan sistem pelayanan publik yang melekat di semua aspek pemerintahan. Agak terlambat memang, tapi perlu terus didorong,” kata Hadna.

Sudah tujuh tahun Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disahkan, namun pelembagaan sistem belum benar-benar terjadi. Upaya-upaya ke arah tersebut memang sudah dimulai, misalnya dengan inovasi-inovasi pelayanan publik baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Namun begitu, inovasi pelayanan publik seringkali masih melekat atau bergantung pada inisiatif atau kreativitas sosok pemimpinnya.

Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah misalnya, muncul inisiatif untuk transparan terhadap anggaran dan tata kelola APBD. Melalui Festival Anggaran, masyarakat Batang bisa mengetahui semua pagu serta pemanfaatan APBD. Gaji para pejabat pun secara terang-terangan ditampilkan di sana. Program tersebut tidak lepas dari sosok Yoyok Riyo Sudibyo, bupati Batang yang karenanya didaulat sebagai Inovator Pelayanan Publik di Indonesia oleh Kemenpan-RB.

Tak ketinggalan, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini memperkenalkan “Siaga Command Center” sebagai fasilitas bagi masyarakat Kota Surabaya untuk menyampaikan aduan darurat kepada pemkot. Usai menerima laporan masyarakat, petugas akan segera meneruskan informasi tersebut kepada SKPD terkait untuk terjun dan menindaklanjuti. Alur birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien, terutama dalam perbaikan fasilitas layanan publik.

“Saat ini yang terjadi baru inovasi dan kreativitas pemimpinnya. Padahal, sistem pelayanan publik yang baik tidak bergantung pada siapa yang memimpin. Saat masyarakat mengadu atau melapor, secara sistemik pula bisa segera direspon oleh pemerintah,” kata Hadna lagi.

Untuk itu, Hadna menambahkan, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan dalam rangka mendorong reformasi birokrasi seutuhnya. Pertama, membuat birokrasi yang efisien dengan menekan seminimal mungkin struktur-struktur yang tidak diperlukan di dalam birokrasi. Task force, gugus tugas, atau komisi dalam teori organisasi bersifat sementara dan lahir sebagai bentuk kritik dari birokrasi yang terlalu gemuk, kurang fleksibel, performa rendah, dan sebagainya. Namun, ini perlu ditinjau kembali mengingat ada begitu banyak komisi di Indonesia dan efektivitas kerjanya mulai dipertanyakan.

Kedua, menempatkan dasar penilaian pada kinerja atau performance based, bukan pada senioritas yang ditunjukkan dengan pangkat atau golongan. Siapa pun yang mampu dan berkompeten, silakan maju. Meski sudah ada upaya seperti lelang jabatan, ini belum benar-benar terlembagakan karena kebanyakan masih menjadi wacana politik dalam birokrasi.

Masih berkaitan dengan strategi kedua, strategi ketiga adalah birokrasi harus berada pada posisi senetral mungkin. Artinya, intervensi politik ke dalam birokrasi perlu dibatasi. Menurut Hadna, jika itu adalah jabatan politis, maka silakan saja ada campur tangan politik. Namun, jika itu jabatan-jabatan karir di dalam birokrasi, tentu jangan sampai terjadi. Di beberapa daerah misalnya, jabatan sebagai kepala dinas, kepala bagian bisa ditentukan oleh kekuatan politik. Semangat untuk menciptakan good governance pun menjadi terhambat.

“Jelas ini agak sulit dilakukan, tetapi saya kira perlu ada kesepakatan politik bersama untuk melihat dan menegasakan, mana wilayah politik dan mana wilayah birokrasi.”

Strategi keempat, menciptakan sistem pengawasan yang mampu memberikan peluang bagi inovasi-inovasi kebijakan pelayanan publik. Tidak dipungkiri, birokrasi kita dinilai masih sulit bergerak dan tidak kreatif dalam menciptakan inovasi kebijakan karena faktor regulasi. Ada ketakutan bahwa inovasi yang diperkenalkan akan dinilai sebagai sebuah penyimpangan, temuan, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, birokrasi pun cenderung hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan, padahal persoalan publik dinamis, cepat sekali berubah.

Hadna membenarkan, adanya diskresi yang terlalu tinggi justru berpotensi terhadap terjadinya penyimpangan. Namun, sekali lagi birokrasi perlu duduk bersama untuk menciptakan sebuah sistem yang di satu sisi mampu mendorong inovasi kebijakan, terutama dalam hal pelayanan publik, dan di sisi yang lain juga mampu menekan peluang terjadinya penyimpangan. [] Media Center PSKK UGM | Photo: Menpan-RB, Yuddy Chrisnandi saat mencoba layanan e-Kios di Balai Kota Surabaya/majalah fakta online