Yogyakarta, PSKK UGM – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan masih berorientasi pada aspek development atau pembangunan saja. Sementara aspek empowerment atau pemberdayaan masih belum maksimal untuk dikembangkan. Tak heran, hingga kini PNPM Mandiri Perkotaan belum bisa menyentuh langsung akar persoalan kemiskinan atau penduduk miskin di wilayah perkotaan.
Hal itu disampaikan oleh Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Koordinasi dan Fasilitasi Pelaksanaan Kebijakan Bidang Pemberdayaan Masyarakat yang diselengarakan oleh Biro Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (24/6) lalu.
“Nuansa dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan sebagai program pemerintah pusat sangatlah kental. Koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah dalam merumuskan, mendesain serta menerapkan program penanggulangan kemiskinan di daerah masih terbatas,” ujar Made.
Persoalan dalam pelaksanaan program ini datang dari kedua belah pihak, baik dari PNPM Mandiri Perkotaan maupun dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh mengenai efektivitas program perlu dilakukan. Apakah telah sesuai dengan tujuan, dan desain program selama ini?
Made mengatakan, PNPM Mandiri Perkotaan perlu mengembangkan orientasi baru (reorientasi) serta strategis kebijakannya. Berbagai pihak pun perlu untuk dilibatkan dalam program terutama dalam merumuskan apa akar atau inti persoalan kemiskinan yang terjadi di wilayah perkotaan.
“Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah pembacaan atas masing-masing wilayah, potensi wilayah serta karakteristik penduduk miskin. Pembacaan ini penting di dalam penyusunan strategi dan desain program khusus sehingga lebih tepat sasaran, dan efektif dalam pencapaian targetnya,” ujar Made lagi.
PNPM Mandiri Perkotaan diakui telah cukup menurunkan angka kemiskinan di perkotaan selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Meski demikian, penurunan angka kemiskinan ini masih terbilang rendah jika dibanding dengan penurunan angka kemiskinan di pedesaan.
Data Badan Pusat Statistik 2013 menunjukkan, jumlah penduduk miskin DIY di wilayah perkotaan menurun dari 436.000 jiwa (tahun 2000) menjadi 305.900 jiwa (tahun 2012). Sementara untuk wilayah pedesaan, penurunan jumlah penduduk miskin terlihat jauh lebih signifikan, yakni dari 599.300 jiwa (tahun 2000) menjadi 259.400 jiwa (tahun 2012).
Jika dilihat dari persebaran penduduk miskin berdasarkan wilayah kabupaten atau kota di DIY, maka wilayah Kabupaten Bantul masih paling tinggi. Jumlah penduduk miskin di sana pada 2012 tercatat sebanyak 158.800 jiwa, dengan persentase penurunan dari tahun sebelumnya, yakni 0,31 persen. Sementara jumlah penduduk miskin terendah berada di Kota Yogyakarta yang tercatat sebanyak 9.380 jiwa. Namun, persentase penurunan kemiskinannya masih terbilang rendah, yakni 0,24 persen.
Secara kelembagaan, Made menilai, fungsi-fungsi kelembagaan penanggulangan kemiskinan seperti Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, serta kelurahan belum berjalan dinamis. Dari sisi data, indikator penilaian kemiskinan untuk wilayah perkotaan masih dianggap kurang tajam. Ditambah lagi, dari sisi masyarakat penerima program, muncul ketergantungan terhadap program bantuan. Kridho lumahing asto, seringnya menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga menjadi suatu kebiasaan.
“Pada akhirnya masyarakat kurang mampu mengembangkan kemandiriannya. Maka, saya tekankan kembali, setelah dilakukan evaluasi atas efektifitas program, reorientasi PNPM Mandiri Perkotaan perlu dilakukan,” ujar Made. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Okezone.com