Yogyakarta, PSKK UGM – Ketimpangan ekonomi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin mengkhawatirkan. Ini tercermin dari indeks gini DIY yang terus naik, dari 0,38 di akhir Orde Baru menjadi 0,44 pada 2013. Naiknya indeks gini menunjukkan adanya ketidakmerataan peningkatan ekonomi antarwilayah, dan antarkelas. Meski berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pemberian bantuan telah dilakukan oleh pemerintah DIY, hasilnya ternyata belum cukup signifikan.
Pengamat Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, dan Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara, M.Si. mengatakan, selain indeks gini yang semakin meningkat, angka kemiskinan di DIY pun masih tinggi, yakni sekitar 15 persen di 2013. Ditambah lagi, tingginya angka pengangguran baik pengangguran terbuka maupun pengangguran tidak terbuka.
Potensi wilayah yang tersedia belum cukup mampu memberikan peluang kerja bagi penduduk usia kerja. Jika tersedia, jenis-jenis pekerjaan tersebut belum dapat dianggal ideal bagi pekerja. Bisa karena upah rendah, bisa juga karena status pekerjaan yang tidak tetap.
Data Distribusi Penduduk Menurut Status Ekonomi dan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di DIY menunjukkan, kantong-kantong kemiskinan dominan terjadi di sektor pertanian yang berada di perdesaan. Untuk kategori sangat miskin ada 53,50 persen dan di kategori hampir miskin ada 45,49 persen yang bekerja di sektor pertanian. Sementara untuk kategori tidak miskin, hanya ada 32 persen yang bekerja di sektor pertanian.
Dalam Rapat Kerja Daerah Pemberdayaan Masyarakat, Biro Administrasi Pembangunan dan Kemasyarakatan Pemerintah Daerah DIY pada Kamis (20/11), Made menambahkan, pendapatan rumah tangga penduduk di perdesaan memang sebagian besar berasal dari sektor pertanian yang memiliki tingkat pendapatan serta nilai tambah yang rendah. Pendapatan yang rendah ini juga mendorong rumah tangga miskin berstrategi untuk meminimalkan pengeluaran sehari-hari.
Selama ini proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat kerap dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Pendekatan ini menurut Made sering tidak berhasil dan kurang memberi manfaat. Minimnya akses untuk terlibat pada akhirnya menjadikan masyarakat kurang bertanggung jawab terhadap program dan keberhasilannya. Terlebih lagi, program bantuan yang diberikan justru lambat laun menciptakan ketergantungan.
Oleh karena itu, konsep dasar pemberdayaan masyarakat sebaiknya didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat di perdesaan. Masyarakat di perdesaan diharapkan bisa menjadi kelompok yang dapat mengembangkan kemampuan diri, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi secara mandiri, dan mampu mengambil keputusan secara otonom. Kemandirian juga harus diupayakan terjadi di tingkat kelembagaan, rumah tangga, maupun individu.
“Berbagai modal sosial seperti nilai, tradisi, dan institusi yang termanifestasikan sebagai bentuk kearifan lokal atau local wisdom juga bisa dimanfaatkan di dalam program pemberdayaan. Potensi lokal seperti industri rumah tangga, potensi pariwisata, hingga bidang jasa pun juga bisa dimanfaatkan. Untuk bisa sampai ke sana, maka pemetaan potensi wilayah, dan budaya masyarakat setempat bisa dilakukan terlebih dahulu,” kata Made.
Di dalam program pemberdayaan masyarakat, pemerintah juga perlu ingat, perempuan merupakan kelompok yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Sebagai pengelola rumah tangga yang aktif, perempuan di perdesaan harus memiliki kegiatan yang mendatangkan pendapatan. Dengan demikian, ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga bisa teratasi. [] Media Center PSKK UGM | Photo: Banyumasnews.com