Yogyakarta, KOMPAS – Dengan luas daerah sangat terbatas, yaitu 3.185,80 kilometer persegi, Daerah Istimewa Yogyakarta praktis tak memiliki potensi sumber daya alam berlimpah. Oleh karena itu, sektor jasa dan industri kreatif menjadi penopang roda perekonomian daerah ini.
Sejarah panjang DIY sebagai salah satu pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Islam memberi modal untuk mengembangkan layanan jasa dan industri kreatif. Tak bisa dimungkiri, DIY sekarang telah berkembang menjadi pusat wisata kuliner dan belanja di selatan Jawa.
Menyadari kondisi geopolitik DIY, Raja Keraton Yogyakarta almarhum Sultan Hamengku Buwono telah menanamkan langkah alternatif atas keterbatasan alam DIY. Mulai tahun 1949, Hamengku Buwono IX telah merintis berdirinya pendidikan tinggi yang sekarang bernama Universitas Gadjah Mada. Sultan HB IX merelakan gedung-gedung keraton dan ndalem (rumah) para pangeran untuk tempat kuliah dan mengundang pemuda dari seluruh nusantara datang belajar. Hingga sekarang, Yogyakarta berkembang menjadi kota pelajar.
DIY juga dikenal sebagai daerah yang jarang bergejolak, relatif aman, dan tenteram. Tak heran, DIY jadi sasaran para investor membangun properti.
Namun, kondisi seperti ini tak berbanding lurus dengan tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat DIY. Pertumbuhan ekonomi DIY tahun 2013 hanya mencapai 5,4 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,7 persen.
”Ini menjadi masalah meskipun dari sisi angka harapan hidup, DIY termasuk yang tertinggi, juga dari sisi indeks pembangunan manusia (IPM),” ujar Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Jumat (7/3), di Kepatihan, Yogyakarta.
Menurut Sultan, persoalan utama di DIY sekarang adalah memberantas kemiskinan dan mengurangi jumlah penganggur. ”APBD DIY sangat kecil, sekitar Rp 2 triliun. Tetapi, adanya dana keistimewaan nantinya bisa memberikan dukungan terhadap keterbatasan APBD itu,” kata Sultan.
Sultan berharap pengucuran dana keistimewaan sebagai implikasi penetapan Undang-Undang Keistimewaan DIY tidak hanya dimaknai untuk pengembangan seni dan budaya secara harfiah, tetapi juga bisa mendukung aktivitas-aktivitas kreatif budaya yang bisa memberi kemandirian masyarakat.
”Dengan dana keistimewaan, kita bisa mendesain akademi komunitas. Dengan akademi ini, lulusan SMA bisa belajar membatik dan mendapat gelar D-1 atau D-2. Dengan terpelajar, mereka bisa punya penghasilan lebih baik,” lanjut dia.
Inovasi terus-menerus
Sosiolog UGM Yogyakarta, Sunyoto Usman, mengatakan, dengan segala keterbatasan sumber daya alam, masyarakat DIY dituntut menciptakan inovasi. ”Tahun 2015 akan ada perdagangan bebas, bagaimana ini dihadapi DIY? Bagaimana DIY bisa mendekonstruksi nilai-nilai kebudayaan. Kebudayaan bukan sekadar peninggalan masa lampau, tetapi juga inovasi, kreativitas, dan pemikiran,” ujar dia.
Ekonom UGM, Sri Adiningsih, menambahkan, dana keistimewaan untuk DIY yang jumlahnya ratusan miliar hingga triliunan rupiah sebenarnya bisa jadi modal membangun keistimewaan DIY agar bisa dirasakan masyarakat. Optimalisasi potensi budaya dan industri kreatif adalah langkahnya.
Kebudayaan bagi Sultan merupakan fondasi membangun sektor lain seperti politik, ekonomi, sosial dan keamanan. Karena itu, pemerintahan ke depan diharapkan menerapkan kebudayaan sebagai strategi. ”Hanya kebudayaan yang bisa membangun integritas yang sangat dibutuhkan pemimpin ke depan,” kata Sultan.
Dalam pembangunan ekonomi lokal, misalnya, tanpa integritas, yang terjadi hanya konflik, seperti pengembangan kelapa sawit atau konflik di daerah pertambangan yang menyengsarakan rakyat. Integritas pemimpin yang memihak rakyat adalah hal utama. [] (Aloysius B Kurniawan/Thomas Pudjo Widijanto)
*Sumber: Harian KOMPAS, 14 Maret 2014 | Sumber foto: Dictaro.com