Dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2035. Selain akibat pertumbuhan alamiah warga kota, urbanisasi dan perubahan desa menjadi kota turut menyumbang banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan. Sebuah fenomena umum yang banyak terjadi di negara berkembang dan maju.
Meski wajar, lonjakan penduduk perkotaan di Indonesia belum diantisipasi. Lemahnya penegakan hukum atas peraturan penataan ruang membuat kota tumbuh merambat, mengokupasi kawasan pendukung yang seharusnya dikonservasi.
”Pembangunan infrastruktur pendukung perkotaan tak mampu mengimbangi pertumbuhan kota,” kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, di Jakarta, Senin (14/4).
Keterlambatan penyediaan infrastruktur kota membuat kota sarat masalah yang menurunkan kualitas hidup warganya. ”Buruknya perencanaan pembangunan kota mengancam keberlanjutan kota,” kata Ketua Program Magister Studi Pembangunan ITB Iwan Kustiwan.
Kota seharusnya dikembangkan secara kompak, bukan melebar seperti terjadi di semua kota di Indonesia saat ini. Kota melebar membuat infrastruktur yang dibangun tidak efisien, mahal, dan boros energi.
Rambatan pertumbuhan kota mengikis lahan terbuka hijau. Hal itu juga mengancam pasokan pangan, air bersih, mencipta kemacetan, memperparah polusi, mendorong eksploitasi air tanah, repot membuang sampah, hingga mengguritakan septic tank di seluruh penjuru kota.
Belum lagi banyaknya bencana lingkungan, lonjakan stres, hingga meningkatnya penderita beragam penyakit degeneratif.
Persoalan sosial dan kriminal pun kian marak seiring berubahnya karakter sosial masyarakat dan melebarnya kesenjangan ekonomi. Individualisme ditambah pembangunan yang menumbuhsuburkan materialisme menciptakan kompetisi nan ketat hingga mengikis kohesivitas sosial warga.
Penduduk kotalah yang jadi korbannya. Padahal, ”Kota masa depan adalah kota yang manusiawi, yang mampu menjamin seluruh warganya hidup layak, aman, dan nyaman,” ujar Kepala Laboratorium Perencanaan Kota dan Wilayah, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November Haryo Sulistyarso.
Pada 2010, baru ada 11 kota metropolitan di Indonesia dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Hanya dalam empat tahun, jumlahnya menjadi 14 kota dan mayoritas terfokus di sekitar ibu kota negara. Kota-kota metropolitan baru siap bermunculan seiring kian masifnya urbanisasi dan sulit dikendalikannya pertambahan penduduk.
Pertumbuhan kota tetap akan terkonsentrasi di Jawa hingga 20 tahun ke depan. ”Kecuali jika MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dilaksanakan secara konsisten,” kata ahli kependudukan dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Sukamdi.
Kesenjangan
Ketimpangan kesejahteraanlah yang mendorong urbanisasi dan berubahnya desa jadi kota. Sejak dulu hingga kini, desa selalu identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, dan rendahnya kualitas hidup warga.
Pertanian, termasuk peternakan, perkebunan, perikanan, dan kelautan, yang menjadi nadi ekonomi desa justru terpinggirkan. Kurangnya pembelaan pemerintah terhadap pertanian berimbas pada buruknya infrastruktur pedesaan di segala bidang. Pertanian pun menjadi bidang usaha yang tak bisa menjamin kesejahteraan pekerjanya dan tak menarik kaum muda.
Persoalannya, jika desa berubah jadi kota dan tidak ada kaum muda yang mau jadi petani, siapa yang akan memberi makan 305,6 juta jiwa penduduk Indonesia tahun 2035? Dalam MP3EI, pemerintah menargetkan perluasan area pertanian di luar Jawa. Namun, siapa yang akan menjadi petaninya?
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM Bambang Hudayana mengatakan, keberpihakan pada pertanian adalah kunci pembangunan desa. ”Pemerintah ke depan harus serius merevitalisasi sektor pertanian. Tak bisa hanya peduli di atas kertas tanpa bukti,” ujar dia.
Kegagalan pemerintah melindungi pertanian adalah ancaman kedaulatan negara. Pemerintah tak akan mampu menjamin kebutuhan pangan warganya. Apalagi, menyediakan pangan yang aman dan berkualitas.
Kini, ketika separuh penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, pangan sudah menjadi soal yang mendongkrak inflasi dan menggoyang pemerintahan. Namun, lonjakan harga pangan itu tetap tidak dinikmati petani.
Di negara-negara maju yang tingkat urbanisasinya lebih tinggi dari Indonesia, sektor pertaniannya tetap dilindungi. Alhasil, tetap ada warga yang mau jadi petani karena sektor pertanian tetap menjanjikan. Bahkan, mereka mendatangkan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di perkebunan mereka.
Pertanian pun tak bisa dikembangkan dengan cara konvensional. Intensifikasi dan mekanisasi perlu didorong guna mengatasi lambatnya ekstensifikasi pertanian. Pembaruan agraria juga harus segera diimplementasikan guna memberi akses lebih besar bagi petani terhadap tanah.
Desa harus dibangun dengan kualitas infrastruktur seperti kota. Dengan demikian, di mana pun warga negara Indonesia tinggal, di kota atau desa, di Jawa atau pelosok timur Indonesia, semua memiliki kualitas hidup sama. [] M Zaid Wahyudi
*Sumber artikel: Harian KOMPAS, 23 April 2014 | Sumber foto: Istimewa