Pada September 2000, dalam KTT Millennium PBB di New York, 189 negara, termasuk Indonesia, telah mendeklarasikan Millennium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pembangunan Millenium, yang berisi delapan tujuan yang ingin dicapai pada 2015 untuk menjawab tantangan-tantangan utama pembangunan global.
Kedelapan tujuan itu adalah: mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, pendidikan untuk semua, memperjuangkan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan mortalitas anak, meningkatkan kesehatan maternal, membasmi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya, menjamin keberlanjutan lingkungan, dan membangun kerjasama global untuk pembangunan.
Menjelang akhir periode MDGs, ada dua kabar penting untuk dunia, satu kabar baik, dan lainnya kabar buruk. Kabar baik datang dari UN News Center, 2 November, 2011, yang menyebut bahwa dalam 40 tahun terakhir, negara-negara yang berada di 25 persen peringkat terbawah mengalami perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sampai 82%. IMF dalam the 2013 Global Monitoring Report juga menjelaskan tren positif dalam pencapaian MDGs. Pengurangan separo penduduk miskin dunia, pengurangan separo penduduk tanpa akses air bersih, eliminasi ketimpangan gender dalam pendidikan primer pada 1015, dan perbaikan kehidupan di seratus juta permukiman kumuh pada 2020 berhasil dicapai lebih cepat, yaitu di 2010.
Kabar baik lain dari ADB (2013). Sejumlah negara di Asia juga mengalami kemajuan. Jumlah penduduk miskin mengalami penurunan secara signifikan di Malaysia, Vietnam dan Cina. Di Thailand dan Malaysia, kebijakan jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan ditambah dengan perhatian mereka terhadap lingkungan telah membuat negara-negara tersebut berada di jalur pertumbuhan yang berkelanjutan. Indonesia juga dilaporkan mencapai kemajuan, tetapi tidak di seluruh indikator.
Walaupun secara umum MDGs telah berhasil, namun, ada masalah penting yang dapat mengganggu upaya untuk meningkatkan dan menjaga kinerja tersebut, yaitu masalah degradasi lingkungan. Ini merupakan kabar buruk untuk dunia. Indonesia merupakan bagian dari kabar buruk tersebut. Menurut ADB, Indonesia memiliki keragaman hayati di dalam hutan hujannya, tetapi gagal mengelola risorsis secara berkelanjutan dan adil.
Penduduk terus bertambah, sementara sumberdaya alam yang menopang kehidupan manusia, seperti energi, air, dan pangan justru mengalami kelangkaan. Kelangkaan sumberdaya alam ini diperparah oleh masalah pemanasan global dengan seluruh implikasinya, seperti badai, banjir, dan kekeringan. Jika masalah lingkungan ini tidak dikendalikan dengan baik, pada gilirannya akan dapat merusak capaian MDGs tersebut.
Miss Clark (2011), misalnya, khawatir apakah tren positif dalam pencapaian indikator-indikator MDGs itu akan dapat tetap terjaga dalam 40 tahun ke depan, karena dengan adanya tekanan kependudukan dan lingkungan yang lebih berat, harga pangan akan naik 50%, dan akses penduduk dunia, terutama di Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika terhadap air bersih, sanitasi dan energi akan semakin menurun.
Pasca MDGs, dunia perlu menemukan model pembangunan baru yang dapat menjawab tantangan global ini. Summit 2012 di Rio de Janeiro telah menemukan jawabannya, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Model pembangunan yang berkelanjutan ini menjadi suatu pilihan yang tidak terelakkan bagi dunia untuk mengadopsinya.
Pembangunan yang berkelanjutan adalah berkenaan dengan bagaimana memenuhi kebutuhan manusia sekarang tanpa perlu mengorbankan kebutuhan generasi mendatang; pembangunan yang menggabungkan antara green growth, yaitu nexus antara elemen (strands) ekonomi dan lingkungan dengan inclusive growth, yaitu nexus antara elemen sosial dan lingkungan.
Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu upaya untuk menghubungkan sejumlah titik isu global—ketidakadilan, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, stress lingkungan, air, energi, dan keamanan pangan. Pengabaian terhadap satu titik akan menggagalkan pembuatan garis.
Dua tahun lagi dunia akan menutup buku MDGs dengan cerita sukses, dan akan mulai membuka buku baru, SDGs, yang nantinya harus juga berisi cerita sukses. Sebuah garis lurus akan segera ditoreh ke depan, paling tidak sampai 2050. Indonesia harus menjadi bagian dari upaya mempertegas garis masa depan tersebut, bukan justru yang membelokkannya, atau memangkasnya di tengah jalan. [] Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol dan peneliti senior PSKK UGM.
(Dimuat di rubrik opini, Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa Pon 18 Juni 2013)