Yogyakarta, PSKK UGM – Sebanyak 10 kota di 8 provinsi di Indonesia disurvei oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dalam kaitannya dengan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Main Slide
Yogyakarta, PSKK UGM – Yogyakarta berada pada titik perubahan arah pembangunan yang sangat signifikan akhir-akhir ini. Titik tonggak perubahan yang berdampak sangat besar dan dipastikan menjadi simpul pergeseran arah pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pembangunan Bandara NYIA (New Yogyakarta International Airport) di Temon, Kulon Progo. Kulon Progo yang selama ini dipandang sebagai daerah pinggiran dan terpinggirkan akan berubah menjadi kota dan pusat pertumbuhan baru. Pembangunan bandara akan diikuti dengan pembangunan berbagai fasilitas penunjang di sekitarnya, seperti kompleks perkantoran, pergudangan, hotel, perumahan, dan berbagai fasilitas lainnya. Hal itu akan memicu pertumbuhan ekonomi luar biasa dan mengubah wilayah sekitar bandara, bahkan Kulon Progo bagian selatan menjadi kota baru yang akan menjadi pusat pertumbuhan baru bagi wilayah sekitarnya. Daerah ini akan menjadi magnet baru bagi investor maupun masyarakat umum untuk datang dan mencari penghidupan di wilayah tersebut.
Selain pembangunan fasilitas dan infrastruktur bandara, juga akan dibangun prasarana dan sarana transportasi berupa rel kereta api dan jalan tol yang rencananya akan menghubungkan bandara dengan Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Bersamaan dengan itu, akan segera diselesaikan pembangunan jalan jalur lintas selatan (JLLS) untuk meningkatkan konektivitas antara wilayah Jawa Tengah bagian selatan dengan wilayah Jawa Timur bagian selatan. Jalan tersebut akan melewati wilayah Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, dan Wonogiri yang selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga pertumbuhannya sangat lamban. Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi akan menjadi salah satu penggerak roda perekonomian di wilayah ini. Wilayah-wilayah yang semula terisolasi dan terbelakang akan berubah menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru sehingga berbagai potensi wilayah dapat dimaksimalkan. Seiring dengan itu, di Kulon Progo juga sedang ditingkatkan kemampuan Pelabuhan Laut Tanjung Adikarto guna meningkatkan pemanfaatan laut selatan sebagai penunjang kelancaran perekonomian dengan meningkatkan arus barang, terutama untuk tujuan ekspor.
Perubahan arah dan paradigma pembangunan DIY disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X beberapa tahun lalu saat pengangkatannya sebagai Gubernur DIY tahun 2010. Salah satunya adalah program pembangunan berkonsep among tani dagang layar, yang berarti pembangunan di daerah tidak hanya fokus pada pembangunan di sektor pertanian, tetapi juga memanfaatkan potensi laut selatan sebagai penunjang perdagangan. Hal ini menjadi tonggak penting bagi arah pembangunan DIY yang semula lebih mengarah pada pengembangan sektor-sektor pertanian di dataran lembah dan umumnya berada di wilayah utara dan tengah menjadi pengembangan di daerah lain di bagian barat, selatan, dan timur wilayah DIY.
Tantangan Pembangunan ke Depan
Dua persoalan besar yang hingga kini belum mendapatkan solusi cepat dan tepat adalah masih tingginya tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Penurunan angka kemiskinan semakin tahun semakin lamban. Empat tahun lalu angka kemiskinan DIY masih di atas 15 persen dan mengalami penurunan sangat lamban menjadi sekitar 13 persen. Berbagai program pembangunan yang bertujuan menurunkan tingkat kemiskinan telah dilakukan oleh Pemerintah DIY. Namun, bila melihat efek yang ditimbulkan oleh berbagai program tersebut, belum tampak hasil yang maksimal.
Selain itu, sebagian warga masyarakat, khususnya para pejabat, juga terganggu dengan tingginya ketimpangan ekonomi (antarkelas sosial) dan ketimpangan pembangunan antarwilayah di DIY. Ketimpangan tersebut juga terkait dengan disparitas pengeluaran antarkelas dan antarwilayah. Percepatan pembangunan, modernisasi, dan migrasi masuk yang tinggi ke wilayah Yogyakarta telah memunculkan ketimpangan pengeluaran antarkelas sosial. Sebagian kecil masyarakat Yogyakarta mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi pangan dan nonpangan dalam jumlah sangat tinggi, sedangkan sebagian besar yang lain masih sangat terbatas.
Dua persoalan tersebut menjadi “hantu” dan selalu membebani pikiran pejabat di DIY. Gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wali kota dalam setiap kesempatan selalu mengungkapkan hal itu dan berupaya mengembangkan berbagai kebijakan guna menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan. Pemerintah Daerah DIY dan kabupaten/kota telah melaksanakan dan menganggarkan dana progam percepatan penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan cukup besar melalui ratusan program-program dan kegiatan. Namun, tampaknya upaya tersebut belum memperoleh hasil maksimal sehingga kedua indikator kesejahteraan tersebut masih tetap bertengger di atas rata-rata nasional.
Peluang Pembangunan dan Tantangan Pengelolaan
Salah satu peluang yang dimiliki dan menjadi modal pembangunan yang sangat penting bagi DIY adalah faktor kependudukan, terutama bonus demografi. Saat ini DIY sedang berada atau telah mencapai bonus demografi, yang berarti jumlah penduduk usia kerja jauh lebih banyak proporsinya dibandingkan dengan penduduk yang tidak produktif (anak-anak dan lansia). Bila dibandingkan dengan daerah lainnya, DIY mencapai bonus demografi paling awal karena keberhasilan pengelolaan parameter kependudukan, terutama keluarga berencana di masa lalu. Jumlah penduduk usia kerja yang besar ditambah dengan tingkat pendidikan yang tinggi menjadi kekuatan pembangunan di wilayah ini. Ketersediaan ratusan perguruan tinggi telah menjadikan kualitas sumber daya manusia penduduk usia produktif menjadi sangat tinggi. Mereka harus didorong untuk mandiri serta mengembangkan kreativitas dan inovasinya sehingga mampu mengelola potensi yang dimiliki oleh Yogyakarta.
Peluang lain yang dapat mendukung pengembangan Yogyakarta adalah semakin menggeliatnya destinasi wisata baru. Bila selama ini, wisatawan lebih banyak menghabiskan kunjungannya ke kraton, Malioboro, dan Prambanan, kini wisatawan yang umumnya anak-anak muda memiliki pilihan lain seperti pantai, gua, air terjun, lembah, dan bukit-bukit yang menyebar hampir di seluruh kawasan Yogyakarta. Wilayah-wilayah perdesaan dan pelosok yang semula tidak dijamah manusia saat ini justru menjadi destinasi wisata baru yang perkembangannya sungguh tidak terbayangkan sebelumnya. Ekonomi masyarakat menengah ke bawah bergerak, baik bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam kegiatan kepariwisataan maupun tidak langsung, seperti industri kecil, kuliner, dan produksi, serta pemasaran barang-barang kerajinan.
Meningkatnya kunjungan wisata juga memicu pertumbuhan hotel, penginapan, apartemen dan guest house, serta restoran dan pusat kuliner yang pesat, terutama di perkotaan. Hal ini turut mengubah wajah Yogyakarta yang semula sangat dekat dengan alam, berwajah agak ndeso menjadi kota dengan simbol-simbol kapitalis yang kuat. Gedung-gedung tinggi menyebar hampir merata di titik-titik tertentu di sudut Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Kemacetan lalu lintas, polusi udara dan air serta polusi suara semakin parah. Secara sosial, hal ini juga diikuti dengan meningkatnya potensi ketidakharmonisan (“konflik”) antarkelas sosial, ketegangan antara investor dan warga masyarakat, termasuk di dalamnya meningkatnya fenomena pembacokan (klitih) oleh kelompok-kelompok remaja yang tidak memiliki tujuan jelas dan dilakukan di malam hari. Fenomena ini telah mencoreng wajah Yogyakarta yang selama ini dikenal sangat aman, ayem, dan tentrem.
Ayo Mbangun Jogja: Sinergi Membangun Yogyakarta
Dalam berbagai kesempatan, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam X selaku Gubernur dan Wakil Gubernur DIY mengungkapkan perlunya sinergi antarberbagai pihak untuk menyelesaikan berbagai persoalan di daerah. Bukan hanya sinergi antarsektor di dalam lingkungan pemerintahan, tetapi juga sinergi antarpemerintah dengan pihak lain, seperti perguruan tinggi, pengusaha, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat secara luas. Fakta sosial menunjukkan bahwa kesuksesan pembangunan di Yogyakarta bukan semata-mata karena peran pemerintah, tetapi juga peran yang sangat besar dari masyarakat luas.
Salah satu potensi Yogyakarta lainnya adalah keberadaan lebih dari 134 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Hampir seluruh perguruan tinggi tersebut memiliki kualitas tinggi di tingkat nasional maupun internasional. Keberadaan UGM sebagai universitas tertua, terbesar, dan unggul menjadi salah satu potensi yang bila dikembangkan secara sinergis dengan arah pembangunan Yogyakarta, maka dipastikan hasilnya akan maksimal. Demikian juga perguruan tinggi lainnya, seperti UII, Atmajaya, UMY, USD, dan UNY yang memiliki kualitas sumber daya dan lulusan yang sangat kompeten. Demikian juga sektor swasta yang sedang menggeliat pesat belakangan ini merupakan potensi besar.
Berdasarkan hal itu, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY mendorong sinergi 3K (kantor, kampung, dan kampus) dalam pembangunan ke depan. Namun, konsep 3K tampaknya belum maksimal bila tidak melibatkan kraton (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman) serta pihak konglomerasi (pengusaha). Konsep 3K dapat dikembangkan menjadi 5K agar berbagai potensi dan aspek pembangunan dapat dilaksanakan dengan maksimal sembari melibatkan berbagai pihak dalam proses pembangunan ke depan. Mengucapkan kata ‘sinergi’ tampak mudah dan gampang, tetapi sulit dilakukan. Namun, dengan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam X, sinergi tersebut seharusnya dapat dilakukan dengan lebih maksimal ke depan. Semboyan Ayo Mbangun Jogja secara sinergis, bersama-sama, dan berkelanjutan hendaknya perlu terus dikumandangkan dan dilaksanakan di DIY. []
*Dr. Pande Made Kutanegara menjabat sebagai Wakil Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM serta Ketua Koalisi Kependudukan dan Pembangunan DIY. Tulisan opini ini juga dipublikasikan di kolom opini Radar Jogja (16/5). | Foto traffic di kawasan Flyover Jombor, Sleman/panoramio.com
Penataan kawasan Malioboro tahap pertama kini sudah selesai. Trotoar atau jalur pejalan kaki yang dulunya merupakan tempat parkir kendaraan bermotor kini sudah rapi dan nyaman, Jumat (10/2).
Yogyakarta, PSKK UGM – DI Yogyakarta merupakan pusat pendidikan terbesar di Indonesia yang memiliki lebih dari 150 perguruan tinggi, masyarakat yang berpendidikan tinggi, serta aparatur birokrasi yang sangat kompeten dan berdedikasi tinggi.
Jakarta, CNN Indonesia — Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sesuai amanat UUD 1945.
Yogyakarta, Media Indonesia – PEMBANGUNAN yang dilaksanakan di Yogyakarta dinilai tidak berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin.
Yogyakarta (ANTARA News) – Terobosan pembangunan fisik yang dilakukan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo harus terus berjalan seimbang dengan pembangunan karakter bangsanya, kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Pande Made Kutanegara.
Made saat ditemui di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa, berpendapat bahwa pembangunan yang berkeadilan tidak hanya fokus pada aspek fisik, tetapi juga harus diimbangi dengan pembangunan karakter serta penguatan nilai-nilai budaya lokal.
Menurut dia, dalam momentum Hari Kebangkitan Nasional, persoalan pembangunan yang berkeadilan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus dilakukan dan didukung bersama-sama oleh kalangan akademisi, pengusaha, serta masyarakat luas.
“Jangan sedikit-sedikit dibebankan pada pemerintah.
Yogyakarta, GATRAnews – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) menyatakan ketimpangan ekonomi antarwarga di DI Yogyakarta meningkat setiap tahun.
Yogyakarta, PSKK UGM – Masih dalam kegiatan Seminar HUT ke-44 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Rektor UGM (terpilih) Prof. Ir.
Yogyakarta, PSKK UGM – Jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta masih tercatat sebagai yang tertinggi di Jawa, meski trennya cenderung menurun dan lamban.