Yogyakarta, PSKK UGM – Pelayanan publik merupakan salah satu tujuan penting penyelenggaraan pemerintahan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat.
Media
Kegagalan Bisa Memicu Konflik Sosial, Ekonomi, dan Politik
JAKARTA, KOMPAS – Meski puncak bonus demografi tahun 2020-2040 tinggal sebentar lagi, kondisi berbagai syarat agar bonus itu bisa diraih masih memprihatinkan.
Wacana Pelonggaran Kelahiran Berisiko Besar
Jakarta, KOMPAS – Pertumbuhan penduduk Indonesia belum mencapai kondisi ideal.
Yogyakarta, PSKK UGM – Pandangan masyarakat Indonesia terhadap kelompok LGBT (lesbian, biseksual, gay, dan transgender) cukup beragam.
JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan tentang kependudukan mesti disusun dengan mempertimbangkan perubahan struktur penduduk Indonesia.
Yogyakarta, PSKK UGM – Menanggapi berita the Jakarta Post, Rabu (12/7/2017) tentang keinginan pemerintah untuk mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi demi peningkatan produktivitas penduduk, tim peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang terdiri atas Dr. Sukamdi, M.Sc., Dr. Agus Hadna, M.Si., dan Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si. atas nama lembaga memberikan pendapatnya sebagai berikut:
- Program Keluarga Berencana (KB) seringkali hanya dikaitan dengan isu pengendalian jumlah atau kuantitas penduduk. Padahal, konsep ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian yang seringkali mengedepankan isu HAM dan demokrasi. Pada kondisi demikian program KB seharusnya dimaknai dalam konteks upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk yang berbasis pada hak (right-based approach) serta bersifat sukarela (voluntary).
- Cakupan KB sebetulnya jauh lebih kompleks dan luas dari sekedar pengendalian pertumbuhan penduduk. KB memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai indikator kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Sebagai contoh, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, yakni 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran (Survei Penduduk Antar Sensus, 2015) sebagian besar disebabkan faktor perdarahan akibat usia ibu yang masih terlalu tua, terlalu tua, jarak kehamilan yang terlalu rapat, atau karena terlalu banyak anak. Di sinilah kemudian arti pentingnya program KB. Atas dasar ini PSKK UGM menekankan bahwa pemahaman tentang konsep keluarga berencana bukan hanya soal kuantitas penduduk, tetapi isu kualitas penduduk harus dijadikan dasar bagi pemerintah untuk menyusunan kebijakan kependudukan di Indonesia.
- Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa saat ini angka fertilitas kita sudah terlalu rendah sehingga membutuhkan redesain program KB dengan menambah jumlah anak. Ada kekhawatiran sementara pihak bahwa program KB yang sudah berlangsung sejak akhir 1970-an dinilai sudah tidak lagi tepat karena menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk usia produktif di saat negara justru memerlukannya guna mencapai bonus demografi secara maksimal. Muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan seperti Jepang dengan jumlah penduduk lansia sangat tinggi, sedangkan jumlah penduduk usia produktifnya rendah.
- PSKK UGM tidak sejalan dengan pendapat itu. PSKK UGM menilai bahwa secara alamiah sebetulnya jumlah penduduk lansia memang akan meningkat, mengingat semakin baiknya tingkat kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Ada peningkatan angka harapan hidup. Namun begitu, angka kelahiran harus tetap dikendalikan agar jumlahnya tidak meningkat lebih tinggi lagi. Melonggarkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk hanya akan menjauhkan Indonesia dari kesempatan untuk dapat menikmati bonus demografi lebih lama.
- Pemerintah sebetulnya dapat melakukan diversifikasi kebijakan (assymetric policy) kependudukan yang sesuai dengan kondisi di masing-masing wilayah. Tidak lagi dengan menerapkan kebijakan tunggal yang berlaku sama mulai dari pusat hingga daerah seperti saat ini. Kondisi TFR Indonesia dapat dibagi ke empat kelompok, yaitu provinsi dengan TFR sangat rendah, provinsi dengan TFR rendah di bawah 2,1, provinsi dengan TFR sudah 2,1 serta provinsi dengan TFR masih tinggi. Data Bank Dunia menunjukkan, angka kelahiran total Indonesia (TFR) pada 2014 adalah 2,46, sedangkan target untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang adalah TFR 2,1 pada 2025. Angka kelahiran ini diprediksi akan terus mengalami penurunan dan masing-masing provinsi akan sangat bervariasi kondisinya. Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, pada 2035 diproyeksikan masih memiliki angka kelahiran paling tinggi (3,1) diikuti oleh Maluku (2,8) dan Sulawesi Barat (2,7), sedangkan terendah akan terjadi di DKI Jakarta (1,6) dan DI Yogyakarta (1,7). Dengan demikian, jika kita mau mengatur angka kelahiran dalam rangka menurunkan TFR, maka konsentrasilah pada provinsi-provinsi dengan TFR masih tinggi, sedangkan provinsi yang sudah mempunyai TFR rendah, kebijakan yang diterapkan di sana tentu harus berbeda. Bukan dengan melonggarkan program KB, melainkan dengan program peningkatan kualitas penduduk.
- TFR perlu dipertahankan di angka 2,1. Jika dilonggarkan, bisa jadi proyeksi bahwa Indonesia akan tampil sebagai salah satu negara maju seperti yang pernah diprediksi oleh beberapa lembaga internasional tidak akan pernah terjadi akibat beban jumlah penduduk serta ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas penduduk. Negara bisa mempertahankan TFR 2,1 dengan harapan bonus demograsi bisa diperpanjang karena dalam proyeksi PSKK di satu sisi suplai usia produktif tetap akan terjamin dan di sisi lain tetap akan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk (penduduk tumbuh seimbang).
- Kekhawatiran pemerintah akan tren penduduk yang menginginkan sedikit atau tidak menginginkan anak seperti yang terjadi di negara-negara maju sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Kultur Indonesia berbeda karena keluarga di Indonesia berbasis komunal dan bukan individualisme sebagaimana di negara-negara maju dan di Barat. Pada kultur demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa keluarga akan memiliki sedikit anak atau bahkan tidak berniat memiliki anak karena pengasuhan anak dalam keluarga tidak hanya akan ditopang oleh keluarga inti tetapi juga oleh extended family.
- Konsistensi TFR pada angka 2,1 bisa tercapai jika strategi pengendalian penduduk selalu ditempatkan dalam konteks membangun keluarga yang berkualitas sesuai konteks daerah masing-masing dengan tujuan memaksimalkan hasil bonus demografi.
Ilustrasi keluarga berencana/getty images
Yogyakarta, PSKK UGM – Program Keluarga Berencana (family planning) bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan.
Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau yang biasa disebut dengan e-KTP merupakan satu dari sekian banyak data kependudukan yang ada di dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). E-KTP dengan menggunakan nomor induk kependudukan diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tentang pencatatan penduduk ganda. Penduduk tidak dapat tercatat di dalam dua atau lebih wilayah yang berbeda. Namun demikian, dalam perjalanannya sistem dan konten informasi kependudukan yang tertuang di dalamnya masih meninggalkan berbagai macam persoalan.
Pertama, informasi data registrasi berbasis yuridis, yaitu kepemilikan identitas kependudukan. Selama kesadaran penduduk akan pentingnya tertib administrasi kependudukan masih rendah, maka validitas data kependudukannya diragukan. Data jumlah penduduk yang telah tercatat belum mampu menggambarkan secara faktual jumlah penduduk yang benar-benar tinggal di suatu wilayah. Persoalan ini muncul ketika akan merumuskan kebijakan pemerintah yang berbasis pelayanan.
Kedua, informasi data registrasi masih sangat bergantung pada peran aktif masyarakat untuk melaporkan perubahan kondisi demografi yang dialaminya. Di saat masyarakat kurang berperan aktif, maka karakteristik penduduk yang tertuang di dalam Kartu Keluarga (KK) pun tidak terbaharui. Kita tidak bisa mendapatkan gambaran yang rinci serta jelas karena data karakteristik penduduk yang diberikan kurang valid. Sebagai contoh, informasi tentang tingkat pendidikan para anggota keluarga di dalam KK. Data ini sering tidak terbarui dan hanya merujuk pada informasi awal di saat KK dibuat. Berbeda halnya jika ada peristiwa kematian, kelahiran, dan perkawinan di dalam keluarga. Salah satu anggota keluarga mau tidak mau harus memperbarui KK karena akan banyak menyangkut keperluan administrasi lainnya. Namun, apabila tidak ada peristiwa-peristiwa tersebut, maka informasi karakteristik penduduk tidak berubah, tidak update. Pertanyaannya, apakah data ini tepat untuk melakukan perencanaan pembangunan atau selama ini perencanaan pembangunan masih belum sepenuhnya berbasis pada data kependudukan?
Ketiga, sinkronisasi data antarlembaga yang terkait dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (dindukcapil). Sinkronisasi bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan validasi data kependudukan mengingat masih rendahnya peran aktif masyarakat untuk tertib administrasi kependudukan. Di saat para mitra kerja dindukcapil telah siap untuk ikut menggunakan sistem berbasis NIK, maka data kependudukan di dindukcapil juga akan secara otomatis terbarui. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kesiapa sumber daya manusia serta sarana prasarana pendukungnya? Apabila syarat tersebut belum bisa terpenuhi, maka target untuk dapat melakukan sinkronisasi data kependudukan hanyalah mimpi yang tidak kunjung terwujud.
Kesadaran akan pentingnya data kependudukan yang bersifat dinamis harus ada terlebih dahulu baik pada masyarakat maupun lembaga-lembaga. Dindukcapil sebagai institusi yang bertanggung jawab atas data kependudukan pun harus dapat memberikan garansi bahwa data yang disajikan valid serta mampu mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Program-program yang mengarah pada terbangunnya sistem data kependudukan perlu menjadi prioritas. Ada beberapa langkah yang kemudian bisa dilakukan, antara lain:
- Sosialisasi kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya melaporkan setiap perubahan demografi yang dialaminya.
- Sinkronisasi data kependudukan antarlembaga yang diturunkan dalam bentuk kontrak kerjasama serta didukung oleh ketersediaan SDM maupun teknologi yang memadai.
- Political will atau kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil kebijakan, khususnya bupati/walikota atas perbaikan dan peningkatan sistem informasi data kependudukan.
*Sumber foto: jpp.go.id
Yogyakarta, PSKK UGM – Guna membangun, memperkuat, dan mempercepat visi misi Universitas Gadjah Mada, maka diperlukan sinergitas di antara unit-unit yang ada, baik fakultas-fakultas maupun pusat studi.
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Kajian Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menunjukkan, tindakan melukai seseorang secara acak tanpa penyebab atau klitih, merupakan proses mencari keseimbangan atau ekuilibrium yang pas di tengah pesatnya pembangunan.
Termasuk, perkembangan pembangunan di Yogyakarta yang sampai saat ini terus berdiri bangunan vertikal seperti hotel, mal, hingga apartemen.