BONUS DEMOGRAFI: Pentingnya Melihat Persoalan Migrasi Penduduk | Oleh: Agus H. Hadna

07 Maret 2014 | admin
Esai & Opini, Media

Yogyakarta, PSKK UGM  – Isu kependudukan menjadi sorotan banyak pihak belakangan ini. Pemerintah, pengamat, akademisi, serta media massa ramai membincangkan soal laju pertumbuhan penduduk, masih tersentralnya jumlah penduduk di Pulau Jawa hingga peluang Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi.

Akhir Januari lalu, bertempat di Istana Negara, pemerintah meluncurkan buku “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035”. Buku ini disusun mengingat pentingnya informasi tentang kependudukan dalam penyusunan rencana pembangunan. Informasi tersebut, antara lain proyeksi jumlah penduduk baik saat ini maupun yang akan datang, dan proyeksi parameter kependudukan seperti struktur umur penduduk, angka kelahiran total (TFR), serta angka harapan hidup penduduk.

Proyeksi dalam buku ini menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia dalam kurun waktu 25 tahun mendatang akan terus meningkat. Jumlah penduduk sebanyak 238,5 juta pada 2010 akan naik menjadi 305,6 juta pada 2035. Meski begitu, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode tersebut cenderung menurun. Di saat yang sama, Indonesia juga disebut sedang menikmati bonus demografi, masa dimana jumlah dan proporsi penduduk usia produktif terus meningkat. Namun, situasi ini dinilai kurang dipersiapkan oleh pemerintah.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna menilai, pemerintah memang agak terlambat dalam mempersiapkan prasyarat demi memanfaatkan bonus demografi. Bukan hanya investasi di bidang kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dan laju pertumbuhan penduduk, bagi Hadna, pemerintah perlu juga melihat persoalan migrasi penduduk. Selengkapnya, berikut kutipan wawancaranya dengan Radio Idola FM Semarang, Selasa (4/3) dalam program “Panggung Civil Society”.

Menkokesra RI, Agung Laksono mengatakan, besarnya penduduk usia produktif merupakan potensi bagi pembangunan. Tapi di pihak lain, ada pendapat bahwa pemerintah terlambat menyiapkan prasyarat untuk bonus demografi. Kalau menurut Anda, apa sebetulnya prasyarat yang harus kita persiapkan?

Jadi ada empat prasyarat utama agar bonus demografi itu bisa diwujudkan. Pertama, kualitas pendidikan. Kedua, kualitas kesehatan. Lalu ketiga adalah tersedianya lapangan kerja, dan keempat adalah pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Saya sendiri menambahkan lagi satu prasyarat ya, yakni migrasi. Migrasi yang merata karena Indonesia mempunyai wilayah yang luas ya, ada begitu banyak pulau. Kelima prasyarat ini perlu dipersiapkan dari sekarang. Jangan sampai terjadi bencana demografi ya melainkan bonus demografi yang kita harapkan.

Tadi Anda sempat menyebutkan salah satu prasyarat, yakni migrasi. Itu konkretnya seperti apa ya?

Saya melihat persebaran penduduk di Indonesia itu tidak merata. Fokusnya masih berada di Pulau Jawa, bahkan proyeksi sampai 2035 masih menunjukkan konsentrasi penduduk masih di Pulau Jawa. Nah, kondisi ini terlalu berat bagi Jawa. Daya dukung lingkungannya terus menurun. Sementara untuk daerah lain, implikasinya pada pemerataan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selalu saja tertinggal. Ini tidak baik bagi terwujudnya bonus demografi. Soal bonus demografi, kita bicara tentang Indonesia, bukan bicara tentang Jawa atau satu provinsi saja.

Kita mengharapkan migrasi sukarela, begitu saya lebih suka mengatakannya. Jika ini bisa terwujud maka pembangunan tidak hanya terfokus di Jawa tetapi juga di wilayah luar Jawa. Harapannya, akan ada titik-titik pertumbuhan ekonomi yang merata di seluruh Indonesia. Baru saya kira, masyarakat akan sukarela misalnya pergi ke Kalimantan, ke Sulawesi, bahkan mungkin ke Papua, dan lain sebagainya.

Baik, lalu mengenai tingkat pendidikan serta keterampilan sumber daya manusia. Seberapa cepat menurut Anda, upaya pemerintah dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik yang memiliki keterampilan tinggi?

Saya menghargai, pemerintah sudah berupaya keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kita bisa lihat angka partisipasi pendidikan itu semakin naik. Namun, di satu sisi saya merasa ragu, apakah target-target yang telah ditetapkan pemerintah itu bisa tercapai. Ada persoalan pemerataan di sini yang nampaknya menjadi masalah besar bagi Indonesia. Pemerintah sudah berupaya keras tapi ini tidak diimbangi dengan aspek pemerataan. Saya kira ini masih terlalu berat.

Lalu bagaimana dengan usia produktif? Jika terjadi ledakan jumlah angkatan kerja, idealnya kan berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam pandangan Anda, langkah apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengonversi bonus demografi agar menjadi pengungkit kemakmuran kita?

Iya, ini salah satu variabel yang juga masih memprihatinkan. Saya bicara data berdasarkan Sakernas dulu ya. Angka pengangguran terbuka per Agustus 2013 adalah 6,25 persen ya. Lalu diprediksi pada 2035 akan naik menjadi 11,2 persen. Kok malah naik? Harapan kita kan angka pengangguran bisa ditekan, jangan sampai di atas 6 persen. Hitung-hitungan kasar kita, pemerintah paling tidak harus menyediakan lapangan kerja 50 persen dari yang ada sekarang. Itu minimal ya, baru angka 11 persen itu akan turun.

Sekarang saya akan melangkah ke soal infrastruktur. Kita memahami, infrastruktur adalah salah satu faktor kunci bagi pembangunan ekonomi. Akan tetapi, justifikasi yang kita dengar selama ini, dari pemerintah ya, minim anggaran, terbatasnya kemampuan kita, dan masih banyak alasan ainnya. Kira-kira terobosan politik anggaran seperti apa yang mungkin dilakukan agar persoalan infrastruktur bisa segera teratasi?

Jika pemerintah mengatakan ketersediaan anggaran tidak cukup, kurang, dan sebagainya, ya mari kita berbicara dalam konteks lima tahun ke depan ini. Ini pikiran nakal saya ya, jika benar-benar kurang, bisa tidak sekian persennya dialokasikan hanya untuk infrastruktur, dan mengorbankan sektor yang lain? Saya sebenarnya tidak percaya dengan hal itu. Saya memang bukan ahli keuangan tapi pada umumnya saya melihat kapasitas. Kita mampu kok misalnya, bikin jalan di Papua, jalan yang bisa menghubungkan dari Jayapura ke Wamena, lalu ke Merauke. Saya kira bisa. Tapi, kembali lagi ke political will pemerintah yang dalam kacamatanya melihat alokasi anggaran itu harus diratakan untuk semua sektor. Bagi saya, dalam politik anggaran kita tidak selalu bisa bicara tentang pemerataan. Kita bicara tentang visi ke depan.

Baik, lalu kira-kira persiapan lain apa saja yang perlu segara dilakukan agar kita tidak sampai kehilangan momentum bonus demografi?

Salah satu yang utama adalah laju pertumbuhan penduduk. Saya mengharapkan, rezim pemerintah ke depan mampu menekan laju pertumbuhan penduduk seminimal mungkin. Prediksi pemerintah total fertility rate atau TFR capai 1,9 dan itu angka yang optimis. Saya sendiri termasuk yang pesimis terhadap angka prediksi tersebut. Bisa saja naik menjadi 2 sekian persen. Nah, itu yang menurut saya harus ditekan karena kunci dari semua sektor-sektor tadi, baik itu pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan sebagainya, ada pada laju pertumbuhan penduduk. Misalnya, ada sekian puluh juta kelahiran maka ada sekian puluh juta pula yang perlu diberi pendidikan, makanan, kesehatan, pekerjaan. Implikasinya bisa saja pada masalah sosial, bahkan lingkungan.

Melalui acara ini saya menghimbau pula kepada masyarakat ya. Jangan pilih partai politik yang tidak pro terhadap persoalan-persoalan kependudukan. [] Media Center PSKK UGM

 *Sumber: Rekaman wawancara Radio Idola FM, Semarang | Sumber foto: Istimewa