Yogyakarta, PSKK UGM — Bagi sebagian orang, Susi Pudjiastuti merupakan sosok yang kontroversial, terutama saat namanya disebut-sebut sebagai calon menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Sosoknya banyak dibincangkan baik oleh masyarakat maupun media massa. Mulai dari tato burung merak di tubuh, kebiasaan merokok, keputusan untuk drop out dari SMA, kehidupan pernikahan hingga kiprahnya dalam bisnis perikanan dan penerbangan.
Susi Pudjiastuti memang bukan gambaran tentang perempuan pada umumnya. Karakter maupun ekspresi yang ditunjukkan olehnya justru sangat maskulin. Susi adalah sosok pekerja keras, petarung, pemberontak, jenius, visioner, pemberani, ambisius, berpikir out of the box, inovatif, sekaligus juga peduli terhadap lingkungan, humanis, dan jujur. Itu digambarkan oleh rekan bisnis, pejabat publik, teman, pengasuh, guru bahkan keluarga dalam buku berjudul “Untold Story Susi Pudjiastuti: Dari Laut ke Udara, Kembali ke Laut” terbitan Penerbit Buku Kompas.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Basilica Dyah Putranti, Ph.D. (cand) saat membedah buku tersebut di Perpustakaan UGM, Kamis (26/2) lalu mengatakan, nilai-nilai patriarki merupakan nilai yang mainstream, dianggap wajar dan diamini oleh sebagian besar masyarakat. Gambaran perempuan misalnya, biasa ditunjukkan sebagai sosok yang lemah lembut, bukan sosok yang berani, cakap, maupun agresif. Susi justru berada di luar pola-pola penggambaran semacam itu atau dapat dikatakan antimainstream.
“Ekspresi dan karakter Susi bisa dilihat sebagai proses dekonstruksi atau yang membongkar nilai-nilai patriarki tadi. Dia menunjukkan, perempuan tidak harus selalu berlaku feminim. Perempuan juga bisa memiliki kualitas yang maskulin,” kata Basilica.
Tak jarang, orang cenderung untuk melihat secara serampangan, kemudian langsung memberikan penilaian. Melalui buku biografi ini, Basilica mengajak pembaca untuk melihat secara imbang, membaca dengan bijak. Karakter Susi yang maskulin tidak muncul begitu saja, melainkan dibentuk oleh beragam pengalaman hidupnya.
“Buku ini memberikan gambaran yang cukup mengapa Susi memiliki karakter seperti itu. Meski dari keluarga berada, dia mau terjun ke dalam bisnis perikanan yang sangat maskulin. Nol pengalaman di bidang itu, dia menghadapi persaingan usaha yang cukup keras. Pengalaman membentuknya sehingga memiliki kualitas seperti sekarang,” kata Basilica lagi.
Selama ini, stereotip gender menekankan bahwa ruang publik merupakan dominasi dari kaum laki-laki. Perempuan cenderung diarahkan pada ruang privat. Ruang publik terlebih seperti industri perikanan dan industri penerbangan adalah bidang yang sangat maskulin. Saat sosok perempuan seperti Susi hadir, tak heran banyak yang meragukannya. Apalagi, saat dia didaulat menjadi menteri.
Basilica menambahkan, memang masih banyak yang menilai ide maupun gagasan perempuan itu kurang valid, tidak akurat. Meski sudah terjun ke ruang atau wilayah publik, masih ada anggapan bahwa perempuan itu kurang kompeten. Tapi, Susi bisa menunjukkan kemampuannya.
Pada tahun 2000-an misalnya, Susi ikut bergerak menentang proyek sodetan Sungai Citanduy bernilai 76 juta dolar AS. Jika terus dilaksanakan, sodetan akan mengakibatkan pengendapan di muara sungai dan mengganggu pembibitan ikan secara alami. Akhirnya, berdampak negatif pada produktivitas di laut. Selain itu, sodetan juga akan mengarahkan sampah ke daerah Pangandaran.
Susi datang untuk memaparkan fakta-fakta dan kajian ke Kementerian Lingkungan Hidup bahkan di hadapan para ahli ADB agar mengevaluasi dan mengkaji kembali proyek tersebut. Baginya, tidak perlu ada sodetan, namun perbaikan secara menyeluruh dari hulu baik penghijauan maupun pengerukan sungai. Dua tahun kemudian, proyek batal dilaksanakan.
Selain kiprah di dunia bisnis, kehidupan pribadi Susi turut menjadi sorotan. Kegagalan dalam membina rumah tangga menjadi suara minor pemberitaan tentang dirinya. Bagi Basilica, ini sebetulnya perlu dilihat sebagai bentuk aktualisasi diri perempuan di dalam ruang privat, dalam hal ini institusi perkawinan. Jika perkawinan gagal, maka tidak bisa langsung dilihat sebagai kesalahan pihak perempuan. Ada beragam latar belakangnya.
Dalam konteks kehidupan Susi, perkawinannya tidak bisa dilanjutkan karena masing-masing pihak merasa secara substansi tidak bisa bersatu lagi. Susi memiliki karakter yang kuat. Hal itu diakui Yoyok Yudisuaryo dalam testimoninya di buku. Susi terlalu tangguh sehingga dia tak bisa mengimbangi. Perceraian adalah jalan keluar yang dinilai baik.
“Perempuan selama ini dianggap sebagai secondary bread winner atau pencari nafkah tambahan. Susi adalah salah satu sosok perempuan yang menunjukkan itu tak selalu benar. Dia bisa sukses, berpenghasilan tinggi, bahkan mampu memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan,” jelas Basilica.[] Media Center PSKK UGM