ANTI RADIKALISME DAN PROSPEK DEMOKRASI | Oleh: Muhadjir Darwin

04 Juni 2012 | admin
Esai & Opini, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Radikalisme adalah fanatisme atau pemutlakan terhadap suatu keyakinan dan sikap tidak mau kompromi dalam mempertahankan keyakinannya atau melawan keyakinan pihak lain (seringkali dengan menggunakan cara-cara kekerasan). Praktek radikalisme yang sarat kekerasan secara jelas dipertontonkan oleh sejumlah ormas Islam radikal, ketika lembaga itu melakukan ancaman kepada UGM untuk melakukan kekerasan jika UGM tidak melarang tampilnya Irsyad Manji dalam seminar di SPS UGM, dan katika ormas itu pada akhirnya melakukan aksi kekerasan di LKiS ketika LSM tersebut memberi ruang alternatif bagi tampilnya Manji. 

Sementara itu, demokrasi adalah aturan main dalam bernegara dan bermasyarakat yang mengedepankan prinsip kebebasan dan hak asasi individu.  Demokrasi menjadi ruang yang terbuka bagi berkembangnya sikap toleran dan penghormatan terhadap hak-hak individu, bagi tumbuhnya gagasan-gagasan baru. Pada saat yang sama, iklim demokrasi memberi ruang lebar bagi berkembangnya gerakan-gerakan radikal, dalam konteks ini radikalisme agama, meskipun gerakan ini secara terang-terangan mengusung agenda anti-demokrasi. Inilah kehebatan tetapi sekaligus ironi demokrasi.

Gerakan radikal tidak dapat hidup di zaman Orde Baru yang otoriter, tetapi kemudian menemukan ruang yang terbuka untuk hadir dan menguasai panggung politik justru setelah Indonesia mengalami demokratisasi. Kenapa demikian? Demokrasi mensyaratkan adanya toleransi. Penguasa di era demokrasi terpenjara oleh kebutuhan untuk menjaga citra sebagai sebagai pemimpin atau penguasa yang demokrat dengan bersikap toleran terhadap penggunaan kebebasan oleh individu atau kelompok, termasuk toleran terhadap perilaku radikal. Kaum moderat juga cenderung toleran dengan bersikap diam, meskipun sebenarnya mereka tidak setuju pada aksi kaum radikal ini.  Sudah barang tentu ada juga kaum moderat yang diam-diam menyetujui perilaku kaum radikal, karena mereka melihat apa yang dilakukan oleh kaum radikal ini sejalan dengan kepentingan atau nilai mereka. Kaum radikal dengan cerdik memanfaatkan kesempatan ini dengan mengusung agenda-agenda anti kebebasan, anti pluralisme, dan anti-demokrasi melalui propaganda di berbagai forum dan media, dan melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap simbol-simbol kebebasan dan pluralisme, seperti diskusi Irshad Manji, Pentas seni Lady Gaga, penerbitan majalah Playboy, kelangsungan ibadah pengikut Ahmadiyah atau Syiah, pendirian gereja dan sebagainya.

Radikalisme tidak bisa dijawab dengan politik moderasi atau politik toleransi. Mereka tidak mengenal bahasa moderat dan tidak bisa melunak oleh tutur kata halus. Radikalisme membutuhkan jawaban yang radikal. Apa yang perlu dilawan dari praktek radikalisme di Indonesia bukannya gagasan radikalnya, tetapi cara-cara radikal yang mereka lakukan, yaitu melakukan kekerasan. Di negara demokratis, menjadi hak dari setiap individu untuk bersikap radikal terhadap keyakinan yang diyakini, sejauh perjuangan nilai tersebut ditempuh secara damai, tidak dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Misalnya, KAMMI dan PII mempunyai sikap radikal dalam memperjuangkan Islam, tetapi tidak melakukan cara-cara kekerasan seperti yang dilakukan FPI. Sikap damai dari KAMMI dan PII ini harus dihormati. Tetapi sikap radikal yag sarat kekerasan seperti yang ditunjukkan oleh ormas semacam FPI tidak dapat ditoleransi. Terhadap radikalisme seperti ini, kaum demokrat dan pluralis harus menjawabnya secara radikal dengan melahirkan gerakan anti-kekerasan secara radikal. Gerakan anti-radikalisme atau anti kekerasan adalah jawaban radikal terhadap radikalisme. Artinya, sebagai reaksi dari mekarnya radikalisme, harus tumbuh di Indonesia gerakan anti-radikal yang juga bersifat radikal. Kaum anti-radikal ini mensikapi nilai-nilai demokrasi, seperti kebebasan, hak-asasi, pluralisme, secara radikal dengan melakukan perlawanan terhadap praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh kaum radikal agama. Sikap kaum feminis yang tidak mau menyerah ketika acaranya digagalkan di UGM, dengan meneruskan acara yang sama di LKiS, kemudian tetap bertahan di tempat (tidak melarikan diri, tetapi juga tidak melakukan kekerasan), ketika acara tersebut diserbu oleh kelompok radikal dengan merusak barang dan bangunan dan memukuli sebagian peserta diskusi, adalah contoh counter-radicalism yang radikal. Sikap ini merupakan contoh baik bagaimana menghadapi kaum radikal.

Ketika dua kekuatan radikal ini muncul, penguasa yang terpenjara oleh mitos “toleransi” gamang dalam mensikapi konflik antar dua pihak tersebut, kemana harus berpihak. Mereka seperti ingin mengambil jarak dari konflik wacana ini. Tetapi perlu diingat, negara tidak mungkin mengambil jarak dengan bersikap diam. Mau tidak mau, disadari atau tidak, mereka pasti, dan harus berpihak. Misalnya, dalam konteks diskusi Manji atau pertunjukan musik Gaga, negara tidak bisa bersikap netral. Ketika negara tidak memberi izin terhadap terselenggaranya acara-acara tersebut, kemudian aparat negara tidak mau bertindak terhadap pelaku kekerasan, negara sebenarnya sudah berpihak berpihak kepada kelompok radikal. Kemudian, seandainya negara memberi izin terhadap penyelenggaraan kegiatan tersebut dan melindungi para pesertanya dari ancaman kelompok radikal, negara sudah berpihak kepada kelompok anti radikal. Tidak ada kesempatan untuk berada di tengah. Mau tidak mau negara harus memilih. Jika demokrasi adalah nilai dan sistem yang harus dipertahankan di negara yang berdasar Pancasila ini, negara tidak bisa lain kecuali harus berpihak kepada para pembela demokrasi. Di sinilah dituntut keberanian pemimpin untuk mengambil sikap yang tegas. Jika tidak, mereka justru menjadi bulan-bulanan publik dan kehilangan kepercayaan (trust) publik.

Demokrasi tidak identik dengan netralitas. Demokrasi adalah nilai yang pasti: equality, liberty, and fraternity. Penguasa demokrat harus berpihak kepada perjuangan terhadap nilai-nilai tersebut. Demokrasi dapat dilawankan dengan tirani, tetapi demokrasi juga lawan dari sikap anti-kebebasan dan sikap anti-pluralisme. Pada tingkat tertentu, kehadiran kelompok radikal yang kritis terhadap penggunaan kebebasan perlu untuk menjadi kekuatan kontrol dari praktek demokrasi. Tetapi kontrol yang berlebihan dari kaum radikal ini, yaitu dengan melakukan kekerasan kepada pihak yang dianggap berseberangan, pada gilirannya akan dapat merusak demokrasi. Agar demokrasi tidak rusak, dibutuhkan kehadiran kaum radikal yang sebaliknya: radikal humanis, radikal kebebasan berpikir, radikal pluralis. Mereka harus diberi ruang untuk berekspresi, agar kehadiran dari kaum radikal tersebut pertama tadi tidak sampai merusak demokrasi. Negara harus juga radikal dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, yaitu menegakkan hukum. Tanpa itu, negara telah berpihak pada kaum radikal anti kebebasan dan anti-pluralisme tersebut. Negara tidak boleh membiarkan demokrasi dibajak oleh kaum radikal. Jika yang dilakukan adalah politik pembiaran, demokrasi akan mati, berganti menjadi tirani massa. [] Muhadjir Darwin, Guru Besar FISIPOL UGM, dan Peneliti PSKK UGM.

*sumber foto: istimewa