Yogyakarta, PSKK UGM – Yogyakarta dengan komposisi masyarakat yang beragam kulturnya bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, bisa menjadi kekuatan atau potensi bagi pembangunan sosial dan ekonomi. Namun, di sisi lain bisa menjadi pemicu konflik jika tidak ditopang oleh kekuatan modal sosial yang memadai. Hal itu disampaikan oleh Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM saat Workshop Draft Hasil Penelitian Dinamika Perubahan Sosial dan Potensi Konflik di DIY, Senin (16/12) kemarin di Ruang Seminar, Rose In Hotel.
Di dalam workshop yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi DIY tersebut, Hadna mengatakan, hingga saat ini Yogyakarta belum memiliki sejarah konflik yang mengkhawatirkan. Namun, itu tak berarti Yogyakarta bebas dari kemungkinan terjadinya konflik sosial yang destruktif. Apalagi Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan dinamika sosial yang cukup signifikan. Peluang terjadinya konflik pun semakin besar.
Hal serupa juga disampaikan oleh Agung Supriyono, SH, Kepala Badan Kesbanglinmas Provinsi DIY. Jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, kasus-kasus yang terjadi di Yogyakarta memang belum sampai pada kategori dapat mengganggu stabilitas nasional serta menghambat pembangunan nasional. Meski begitu, hal tersebut sudah cukup menganggu kenyamanan masyarakat di Yogyakarta. “Pemprov DIY melalui Badan Kesbanglinmas sangat perhatian terhadap persoalan ini sehingga perlu ada penelitian untuk memetakan konflik sosial Yogyakarta sekaligus menjadi bahan pertimbangan kira-kira apa yang harus dilakukan ke depan.”
Kita bisa merasakan perubahan-perubahan tersebut baik perubahan pada dimensi ekonomi, sosial politik, maupun budaya. Pada dimensi ekonomi, kita bisa melihat menjamurnya pasar serta ritel modern yang pada akhirnya berimbas terhadap tersingkirnya sektor informal seperti pasar tradisional. Lalu mulai banyak hunian-hunian eksklusif, hotel, serta pengembangan lokasi wisata atau ekonomi yang tidak berbasis komunitas. Perubahan-perubahan ini bisa menjadi cermin perebutan sumber daya ekonomi yang kemudian bisa tercipta kesenjangan sosial, kecemburuan sosial sehingga rawan konflik.
Pada dimensi politik, iklim dan semangat demokrasi semakin menguat. Kesadaran masyarakat akan hak-hak politiknya semakin menguat sehingga mempengaruhi tuntutan atas transparansi dan partisipasi penyelenggaraan pemerintah. Selain itu, kesempatan membangun afiliasi dengan partai politik atau membentuk organisasi kemasyarakatan pun semakin terbuka.
“Jika masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah, tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan, maka bisa memunculkan potensi konflik horizontal, yakni antarkelompok masyarakat, maupun konflik vertikal, yakni antara pemerintah dengan masyarakat,” ujar Hadna.
Sementara pada dimensi sosial budaya, konflik terjadi saat relasi sosial antar kelompok masyarakat semakin renggang. Ada bentuk eksklusivitas kelompok-kelompok masyarakat tertentu, stereotype atau label negatif terhadap kelompok tertentu, hingga rendahnya tingkat penerimaan terhadap kelompok masyarakat yang berbeda suku dan agama atau kepercayaannya.
Hadna menegaskan, Pemerintah Provinsi DIY mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengantisipasi dan mengelola konflik sosial. Maka, pemerintah dituntut untuk mampu mengembangkan kebijakan publik yang berkeadilan, berperspektif multikultur serta peka terhadap berbagai potensi konflik yang ada.
“Penelitian ini tak hanya memetakan pontensi konflik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Lebih jauh, penelitian ini dikembangkan juga untuk menghasilkan output, masukan atau rekomendasi yang bisa dijadikan basis pengembangan kebijakan Pemprov DIY,” ujar Hadna lagi. [] Media Center PSKK UGM.