KOMPAS – Janji mendirikan negara kesejahteraan (welfare state) pernah disampaikan salah satu ketua partai politik terbesar dan tertua di Indonesia ketika ia mengunjungi Universitas Gadjah Mada pada masa kampanye Pemilu 2014.
Ia menyatakan, andai partainya menjadi pemenang dan dirinya terpilih menjadi presiden, ia akan mewujudkan mimpi menjadi negara kesejahteraan dalam waktu 30 tahun, yaitu pada tahun 2045. Ia akan mewujudkan mimpi itu dengan cara membangun daerah pinggiran, daerah perdesaan yang berbasis pertanian. Namun, partainya bukan jadi pemenang dan dia juga tidak terpilih sebagai presiden sehingga sulit menagih janji tersebut.
“Mimpi” mengharapkan kehadiran negara kesejahteraan pada tahun 2045 juga disampaikan Sulastomo, salah saeorang yang memberikan jasa besar dalam pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dalam artikelnya, “Mimpi Negara Kesejahteraan” di Kompas (26/10). Tahun 2045, baginya, menjadi periode penting karena Indonesia telah membangun perekonomiannya genap selama 100 tahun. Bagi Sulastomo, mimpi itu bisa diwujudkan karena Indonesia telah menjalankan SJSN.
Mimpi politisi dan Sulastomo akan kehadiran negara kesejahteraan merupakan refleksi keinginan banyak pihak untuk mendirikan negara kesejahteraan. Namun, cukupkan membangun negara kesejahteraan hanya dengan membangun negara dari pinggiran dan dengan cara menjalankan SJSN? Seberapa jauh komitmen pemerintah dari zaman Presiden Soekarno sampai Joko Widodo pada upaya mewujudkan mimpi tersebut?
Wajah ideal negara kesejahteraan
Mimpi tentang negara kesejahteraan merupakan harapan yang rasional karena warga negara yang tinggal di negara tersebut memiliki hidup yang sejahtera dan bahagia. Di antara sekian banyak negara kesejahteraan yang berada di kawasan Eropa, Amerika, dan Australia, negara yang dianggap paling berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya adalah Denmark dan Swedia.
Hal itu ditandai dengan fakta bahwa dua negara ini selalu menempati urutan tertinggi dalam pencapaian indeks kebahagiaan (happiness). Indeks kebahagiaan tersebut mencakup pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahaan, keseimbangan kerja dan kehidupan sosial, keamanan, jaringan sosial, kepuasan hidup, serta pelibatan masyarakat (civic engagement).
Ini terjadi tak secara kebetulan karena negara ini punya komitmen besar dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya yang ditunjukkan dengan alokasi jumlah anggaran yang besar untuk membiayai program-program kesejahteraan dalam bentuk perlindungan sosial. Dalam tiga tahun terakhir, misalnya, Denmark mengeluarkan anggaran rata-rata setiap tahunnya sebesar 28.93 persen dan Swedia setinggi 27.06 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan negara kesejahteraan lain, seperti Australia dan Amerika yang masing-masing hanya 18,53 persen dan 18,57 persen.
Dengan anggaran sebesar itu, Pemerintah Denmark dan Swedia mampu membiayai beberapa bentuk program perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan, pensiun, dan tunjangan pengangguran. Perlindungan sosial itu diberikan kepada semua warga negara secara cuma-Cuma tanpa membedakan status sosial-ekonomi mereka.
Ini semua mungkin terjadi karena sistem politik dan ideologi yang berlaku mendukung realisasi kebijakan sosial tersebut. Perkembangan kebijakan sosial di Denmark dan Swedia sangan ditentukan kedekatan hubungan antara partai politik dengan petani dan buruh. Afiliasi politik di antara mereka memungkinkan gerakan politik-ideologi untuk memperjuangkan kesejahteraan di semua kelas sosial tanpa ada perbedaan.
Proses menjadi negara kesejahteraan di dua negara itu memerlukan waktu panjang. Pemerintah Denmark telah menjalankan program pension pada tahun 1891 dan Pemerintah Swedia merealisasikan program asuransi kesehatan pada tahun yang sama. Jauh sebelum itu, pada awal 1700-an di Swedia telah berkembang upaya peningkatan kesejhateraan sosial yang dilakukan organisasi-organisasi gereja.
Sejarah paling panjang pengembangan negara kesejahteraan terjadi di Inggris. Cikal bakal negara kesejahteraan di Inggris telah muncul lebih dari 400 tahun lampau, yakni melalui pengesahan aturan hukum yang menjadi basis distribusi kesejahteraan pada tahun 1601. Melalui aturan itu, Pemerintah Inggris mendistribusikan perlindungan sosial berupa bantuan pangan, sandang, dan tempat tinggal untuk masyarakat miskin.
Membangun negara kesejahteraan
Model negara kesejahteraan yang dipraktikkan Denmark dan Swedia merupakan wajah negara kesejahteraan yang paling ideal. Dalam waktu dekat, Indonesia belum akan mampu mewujudkan mimpi menjadi negara kesejahteraan seperti yang dipraktikkan di kedua negara tersebut karena perbedaan kondisi ekonomi, politik-ideologi, dan latar belakang kelembangaan dalam distribusi kesejahteraan.
Problem yang paling sederhana, di aspek ekonomi misalnya, kapasitas finansial Indonesia masih sangat terbatas dalam membiayai program kesejahteraan yang mencakup jaminan kesehatan, pension, tunjangan penggangguran untuk semua warga negara. Dalam pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pemerintah hanya mampu menanggung biaya untuk pegawai negeri, tentara, dan rumah tangga miskin. Pegawai swasta dan pekerja sektor informal tidak miskin tidak ditanggung pemerintah.
Keterbatasan kapasitas finansial ini bertambah rumit karena pemerintah mengalami defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena kesalahan manajemen kepesertaan dalam program BPJS Kesehatan. Pada tahun 2014 defisit mencapai Rp 1,94 triliun dan pada tahun 2015 sebesar 5,85 triliun. Pada tahun ini, defisit itu diperkirakan mencapai lebih dari Rp 7 triliun.
Dari pemerintahan Presiden Soekarno hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata belanja tahunan pemerintah untuk program perlindungan sosial belum mencapai 1 persen PDB. Salah satu persentase tertinggi terjadi pada tahun 2006, dimana persentase tersebut mencapai hampir 1 persen karena pemerintah menjalankan program bantuan langsung tunai (BLT) selama sembilan bulan pada tahun tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat belum begitu tinggi.
Isu politik juga problematik. Selama ini belum terlihat ada kesamaan pemikiran atau kedekatan pandangan ideologis mengenai kesejahteraan di antara partai politik dengan petani dan buruh sehingga belum ada gerakan politik yang kuat yang mampu mendorong terciptanya kebijakan sosial yang berpihak pada kesejahteraan semua lapisan masyarakat, terutama petani dan buruh.
Walaupun wajah ideal negara kesejahteraan di Denmark dan Swedia tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat, belajar dari pengalaman negara itu bisa diketahui bahwa upaya mewujudkan mimpi negara kesejahteraan tidak sesederhana hanya membangun Indonesia dari pinggiran atau mengembangkan SJSN, seperti yang disampaikan ketua partai politik dan Sulastomo. Kompleksitas model negara kesejahteraan juga membuat upaya mewujudkan model negara ini sulit dicapai pada tahun 2045; 98 tahun pasca inisiasi program perlindungan sosial pertama di Indonesia, yaitu tunjangan kecelakaan pada tahun 1947.
Yang sebaiknya dilakukan pemerintah sekarang adalah membangun fondasi yang kuat untuk mewujudkan mimpi hadirnya negara kesejahteraan. Fondasi itu perlu didukung studi-studi mendalam mengenai bentuk negara kesejahteraan, atau lebih tepatnya rezim kesejahteraan (welfare regime) (Sumarto, Kompas, 18/09/2014) yang relevan bagi Indonesia.
Dengan fondasi yang kuat dan dukungan konsep rezim kesejahteraan yang kontekstual, pada saat kondisi ekonomi nasional telah memungkinkan, pemerintah bisa segera mendorong terjadinya transformasi menuju rezim kesejahteraan yang paling ideal bagi Indonesia. []
Mulyadi Sumarto
Dosen dan Peneliti Senior di UGM
World Social Science Fellow di International Social Science Council, Paris
*Sumber: Kolom Opini Harian Kompas (8/11)