Tag: ketenagakerjaan

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia: Sektor Informal, Disabilitas, dan Perempuan

Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM bekerja sama dengan The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (TNP2K) menggelar seminar daring (webinar) bertajuk Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia pada Rabu, 27 Juli 2020 pukul 09.30-12.00 WIB.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen.

Dibanding Maret 2019, peningkatan angka kemiskinan mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 persen dari Maret 2019 yang hanya 9,41 persen.

Hal serupa disampaikan kepala BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Budi Wibowo, saat menjadi pembicara pada seminar PSKK UGM pada Kamis (29/7/2020). Budi menyampaikan tingkat kemiskinan DIY selama pandemi COVID-19 meningkat. Peningkatan angka kemiskinan DIY per Maret mencapai 12,28 persen, naik 0,84 persen dari September 2019 yang berada di angka 11,44 persen.

Menurut Budi, untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini, pemerintah DIY melakukan beberapa upaya, seperti refocusing dan reallocating anggaran daerah, misalnya percepatan perubahan penjabaran APBD DIY 2020, menghentikan seluruh proses pengadaan barang atau jasa yang belum memiliki tanda tangan kontrak per 3 April 2020, kecuali untuk oprasional OPD, bersumber dari dana keistimewaan, dan untuk operasi serta pemeliharaan pelayanan dasar atau publik.

“Perlu diketahui bahwa kita (DIY) sudah membuka beberapa destinasi wisata dan kita akan mencoba lebih perketat lagi implementasinya di destinasi wisata itu karena perlu kami sampaikan bahwa di balik destinasi wisata itu ada ribuan UMKM. Lima puluh satu ribu UMKM yang ada di DIY itu engineering good bagi pertumbuhan ekonomi,” ujar Budi.

Menanggapi permasalahan ekonomi selama COVID-19, kepala PSKK UGM, Agus Joko Pitoyo menekankan dampak COVID-19 terhadap sektor informal. Joko menjelaskan bahwa sektor informal penting untuk dibahas karena mendominasi struktur tenaga kerja di Indonesia.

“Lebih dari 70 juta pekerja berada di sektor informal. Banyaknya tenaga kerja terserap di sektor ini karena sektor informal memang cenderung lebih mudah dimasuki oleh angkatan kerja,” ujarnya.

Sektor informal saat pandemi juga cenderung tidak bisa bertahan. Hal ini setidaknya ditandai dari gangguan produksi, distribusi, dan konsumsi hingga penurunan pendapatan. Sektor informal mengalami keterpurukan saat pandemi juga karena pembatasan aktivitas sosial yang menyebabkan gangguan pada aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) dan supply chains produk.

Data BPS menunjukkan, 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (<1,8 juta) mengaku mengalami penurunan pendapatan. Sementara itu, pandemi COVID-19 juga menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran bagi 56 persen responden yang sebagian besar mengalami peningkatan antara 26-50 persen. Sebagian besar peningkatan terjadi pada pengeluaran bahan pangan (51 persen), hal ini dimungkinkan akibat dari adanya kegiatan Work from Home (WFH) dan School from Home (SFH).

Survei PSKK UGM: Dampak terhadap Pekerja Informal

Agus Joko Pitoyo menyampaikan hasil survei awal PSKK UGM terkait dampak COVID-19 terhadap pekerja informal. Survei ini diikuti oleh 64 pekerja informal di DIY. Survei dilakukan pada awal Juli dan masih berlangsung saat seminar ini digelar. Responden yang berpartisipasi terdiri atas pedagang, PKL, buruh bangunan, ojek online, dan pekerja seni. Hasil survei ini menunjukkan bahwa COVID-19 berdampak pada penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, penurunan konsumen, dan penutupan usaha.

Hasil survei menunjukkan, 31,3 persen responden menyatakan bahwa mereka mulai merasakan dampak pandemi sejak awal April. Hal ini menyusul penerapan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah.

Namun, penurunan pendapatan dan kesulitan yang dihadapi saat pandemi tidak mendorong sebagian besar pekerja informal untuk beralih pekerjaan. Hal ini disebabkan kompetensi yang dimiliki cenderung rendah dan persepsi bahwa tidak ada pekerjaan yang dapat menawarkan kondisi lebih baik. 23,4 persen pekerja informal yang beralih pekerjaan cenderung beralih pada usaha bisnis online. Bahkan kondisi pekerjaan yang buruk akibat COVID-19 tidak menimbulkan keinginan bagi 46,9 persen responden untuk berpindah pekerjaan setelah COVID-19 selesai. Sementara itu, 35 persen masih bimbang atas kondisi di masa setelah COVID-19 pada pekerjaan yang saat ini dimiliki. 17 persen lainnya memiliki keinginan untuk beralih profesi setelah COVID-19.

Selain itu, menurut Joko, COVID-19 juga berdampak pada pekerja kaki lima (PKL) di Kota Yogyakarta. Mayoritas pekerja dan PKL mengalami penurunan pendapatan hingga >50 persen. Penurunan pendapatan disebabkan adanya pembatasan sosial dan penutupan sekolah serta perkantoran.

“Terdapat perbedaan dampak COVID-19 terhadap pekerja dan PKL. Pada pekerja, COVID-19 menyebabkan penurunan jam kerja bahkan PHK. Namun, selama COVID-19 jumlah jam kerja PKL terdapat peningkatan 2-3 jam kerja karena menunggu pelanggan dan menambah jam kerja untuk mempertahankan pendapatan,” jelas Joko.

“Sektor informal berpotensi mengalami pemulihan lebih cepat jika aktivitas masyarakat dibuka kembali, namun masih dalam skala pemulihan yang kecil. Perlu adanya perlakuan khusus, misalnya melalui stimulus ekonomi agar proses recovery berjalan optimal,” pungkas Joko.

Kerentanan Penyandang Disabilitas

Koordinator kebijakan perlindungan sosial TNP2K, Dyah Larasati, menyoroti kelompok rentan lain yang terdampak selama COVID-19, yaitu para penyandang disabilitas. Diperkirakan 15 persen dari populasi penduduk di dunia memiliki disabilitas. Satu dari lima perempuan diperkirakan mengalami kondisi disabilitas selama hidupnya dan satu dari 10 anak-anak adalah anak dengan disabilitas. Sementara itu, sekitar sembilan persen (23,3 juta penduduk) di Indonesia mengalami kondisi disabilitas.

“Disabilitas di Indonesia dan kemiskinan memiliki korelasi yang kuat. Risiko akan lebih besar untuk kelompok disabilitas saat pandemi. Jika kita mempertimbangkan biaya tambahan yang diperlukan penyandang disabilitas, maka angka kemiskinan akan meningkat secara signifikan,” tutur Dyah.

Dyah menyampaikan, pandemi COVID-19 telah meningkatkan risiko dan kerentanan secara langsung maupun tidak langsung pada kelompok disabilitas, seperti 1) Mobilitas yang semakin terbatas akibat kebijakan “tetap di rumah”, baik itu atas rekomendasi atau dimandatkan atau diwajibkan, mengakibatkan kesulitan dalam mengakses layanan dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan; 2) Keterbatasan atau kesulitan mengakses informasi dan fasilitas layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan layanan terkait lainnya selama masa pandemi; 3) Kemungkinan berkurang atau terbatasnya bantuan pendapatan dari anggota keluarga lainnya karena mereka juga mungkin terdampak akibat pandemi ini; 4) Meningkatkan pengucilan dan isolasi sosial yang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, dan ketidakberdayaan, terutama karena kelompok disabilitas serta lansia memiliki kemungkinan kondisi medis atau penyakit bawaan lebih tinggi, sehingga lebih rentan terhadap penyakit ini; dan 5) Kurang dari tiga persen penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan sosial melalui Program ASPD dan PKH. Keterbatasan akses terhadap perlindungan sosial ini membuat mereka lebih rentan untuk bertahan.

Meski risiko dan kerentanan penyandang disabilitas akibat COVID-19 sangat banyak, studi atau data terkait peningkatan kerentanan penyandang disabilitas selama masa pandemi sangat terbatas.

“Sejauh ini, data dan bukti terkait peningkatan risiko akibat COVID-19 masih sangat terbatas dan umumnya hanya dapat ditemukan pada negara-negara berpendapatan tinggi (High Income Countries/HICs). Data dari negara miskin dan berpendapatan menengah (Low and Middle Income Countries/LMICs) masih amat sangat terbatas,” ujarnya.

Studi Dampak Ekonomi COVID-19 pada Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (April 2020) menunjukkan 87 persen pekerja mengalami penurunan pendapatan dan mayoritas mengalami penurunan drastis (50-80 persen dari pendapatan).

Kemudian kerentanan ekonomi penyandang disabilitas selama pandemi COVID-19 juga tinggi. 69 persen responden kemungkinan menjadi miskin atau semakin miskin karena kombinasi rendahnya penghasilan dan tingginya penurunan penghasilan akibat COVID-19. 41 persen penyandang disabilitas “sangat rentan” hampir pasti berada di bawah garis kemiskinan dan 28 persen penyandang disabilitas “rentan” berada di bawah atau sangat dekat dengan garis kemiskinan.

Untuk dapat membantu menyelesaikan masalahan ini, Dyah Larasati merekomendasikan kepada para pemangku kebijakan untuk memperluas cakupan dan memastikan kesesuaian nilai manfaat perlindungan sosial, memastikan perlindungan sosial yang inklusif, komprehensif, dan terintegrasi serta membuat mekanisme atau proses pendaftaran yang sederhana.

COVID-19 dan Marginalisasi Isu Perempuan

Peneliti senior dan pakar gender PSKK UGM, Dewi Haryani Susilastuti, menyoroti adanya marginalisasi isu perempuan di tengah COVID-19. Infografis Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan, terjadi 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan menurut ranahnya, yaitu ranah personal sebesar 75,4 persen (11.105 kasus), ranah komunitas sebesar 24,4 persen (3.602 kasus), dan ranah negara sebesar 0,08 persen (12 kasus). Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan fisik yang mencapai angka 5.548 kasus dengan 4.783 terjadi di ranah personal dan 765 kasus terjadi di ranah komunitas.

“Kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat selama pandemi, tetapi naiknya tingkat kekerasan terhadap perempuan bukan semata-mata karena COVID-19, karena sebelum COVID-19 memang kekerasan itu sudah ada,” tegas Dewi.

Menanggapi isu dampak COVID-19 terhadap sektor informal, Dewi menyampaikan data KPPPA dan BPS, 2018 yang menunjukkan bahwa 61.37 persen perempuan bekerja di sektor informal, sedangkan 23.31 persen berstatus sebagai pekerja keluarga.

Selain itu, terjadi marginalisasi isu perempuan selama pandemi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman kritis tentang perkembangan konstruksi gender di Indonesia dan pemikiran ibuisme negara (state ibuism). “Kalau kita lihat apa yang berlangsung dalam sejarah selama pemerintahan Suharto, ada yang dinamakan state ibuismState ibuism itu adalah definisi negara atau konstruksi negara tentang perempuan yang ideal. Berdasarkan state ibuism, perempuan yang ideal adalah yang domesticated dan dedicated sangat tinggi terhadap suami, keluarga, dan negara. Jadi mereka mengorbankan kehidupan mereka demi suami, keluarga, dan negara tanpa mengharapkan imbalan yang sifatnya personal,” jelas Dewi.

Menurutnya, setelah pemerintahan Suharto memang ada perubahan pemikiran terhadap perempuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa state ibuism itu direproduksi di kalangan masyarakat yang relatif muda bahkan di tatanan para pembuat kebijakan, sehingga dampak COVID-19 yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai masalah sudah sesuai dengan konstruksi gender yang ada.

Dewi menyampaikan, isu perempuan termaginalisasi selama pandemi juga karena kurangnya representasi pemikiran ilmu sosial dalam respons COVID-19. “Pandemi COVID-19 lebih dilihat dari perspektif kesehatan. Kalau kita lihat jurnal-jurnal terutama yang ditulis di bidang kesehatan itu ada dua istilah yang diulang-ulang, yaitu Pharmaceutical Intervention (vaksin) vs Non-Pharmaceutical Intervention. Sementara tidak ada diskusi kultural yang reflektif tentang konteks, tentang ketimpangan struktural,” tegas Dewi.

Dewi menyimpulkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyingkap ketimpangan struktural yang menempatkan perempuan dalam posisi ekonomi, sosial, politik yang tidak menguntungkan, sedangkan respons pemerintah terhadap COVID-19 yang tidak sensitif gender membuat posisi perempuan semakin terpuruk. “Kemudian jika kita pakai bahasa perang, maka perempuan tidak ubahnya seperti collateral damage dalam perang melawan COVID-19,” pungkasnya.

Penulis: Nuraini Ika |  Editor Bahasa: Rinta Alvionita  |  Foto: Alexs_foto (pixabay.com)

Catatan: rekaman lengkap seminar “Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia” dapat disaksikan di saluran YouTube PSKK UGM dan TNP2K Komunikasi. 

 

[Media Archives] Waspadai Ledakan Setengah Pengangguran

Antisipasi Krisis – Tingkatkan Peran Perguruan Tinggi Menelurkan Wirausahawan

KORAN JAKARTA – Bertambahnya jumlah pengangguran terbuka dalam setahun, sebanyak 320 ribu orang (per Agustus 2015), dinilai bukan isu utama ketenagakerjaan di Indonesia. Apabila pemerintah mau terbuka dan jujur mengakui, masalah utama dalam pengelolaan perekonomian nasional adalah jumlah penduduk yang dikategorikan setengah pengangguran yang jumlahnya mencapai 30-40 persen dari total angkatan kerja.

Kelompok setengah pengangguran memiliki tiga indikator, yakni orang yang bekerja kurang dari 8 jam sehari, orang yang bekerja penuh namun mendapat penghasilan di bawah ketentuan upah minimum, dan orang yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang tidak bekerja dan tidak memiliki pekerjaan.

Demikian pendapat peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Sukamdi, saat dihubungi, Jumat (6/11). Sukamdi mengatakan penyumbang kemiskinan terbesar adalah angka setengah pengangguran itu. Hal ini terkait erat dengan visi ekonomi negara sebab angka yang begitu besar tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan yang parsial.

“Makanya sebenarnya ini problem struktural bagaimana fondasi ekonomi kita ditata. Sebab setengah pengangguran itu cermin dari kegagalan pemerintah membangun fondasi ekonomi,” kata Sukamdi.

Seperti dikabarkan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka pengangguran terbuka hingga Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja Indonesia sebanyak 122,4 juta orang. Pada periode yang sama 2014, jumlah pengangguran hanya 7,24 orang atau 5,94 persen. Artinya, angka pengangguran terbuka naik 320.000 orang dari Agustus 2014 ke Agustus 2015. Sedangkan angka setengah pengangguran saat ini mencapai sekitar 50 juta orang.

Kenaikan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengindikasikan kian memburuknya iklim berusaha akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir. Kondisi itu juga mengisyaratkan perekonomian Indonesia sedang mengalami masalah dan tidak mustahil telah memasuki tahapan krisis.

Menurut Sukamdi, jika kebijakan pembangunan nasional secara fundamental menggunakan statistik setengah pengangguran sebagai salah satu basis pengambilan keputusan, pemerintah tentu akan memiliki blueprint yang jelas tentang upaya mengatasi hal itu.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya, Wibisono Hardjopranoto, menilai peningkatan jumlah pengangguran menunjukkan dampak krisis global dan kerawanan fundamental ekonomi nasional masih berlanjut. Perlambatan ekonomi menurunkan kemampuan industri dalam menyerap tenaga kerja sehingga kenaikan pengangguran tak terelakkan.

Daya Saing Lemah

Menurut Wibisono, ancaman ledakan pengangguran tak lepas dari lemahnya daya saing global industri dalam negeri. Selain perlu meningkatkan gairah investasi, pemerintah dirasa masih kurang menciptakan iklim enterpreneurship atau kewirausahaan.

“Peran perguruan tinggi menelurkan wirausahawan perlu didorong lagi. Rasio enterpreneur kita masih rendah, hanya 1,2 persen. Sedangkan di negara maju seperti Singapura sudah mencapai 10 persen. Semakin banyak wirausahawan semakin besar peluang bisnis muncul sehingga akan memacu penyerapan tenaga kerja,” papar dia.

Sukamdi juga memaparkan angkatan kerja terkait dengan tingkat pendidikan dan struktur persaingan ekonomi dunia. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang sensitif dengan peta persiangan ekonomi dunia akan menghasilkan tahapan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang jelas. Tanpa itu, kebijakan akan selalu bersifat parsial dan bahkan hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok atau korporasi besar penguasa ekonomi Indonesia. Ia pun mengingatkan saat ini angkatan kerja dengan pendidikan di bawah SMP masih lebih dari 40 persen. Pertanian menjadi sektor yang menyumbang penyerapan tenaga kerja tertinggi diikuti perdagangan dan industri. []

*Sumber: Koran Jakarta (7/11) | Ilustrasi job fair/print.kompas

[SIARAN PERS] PSKK UGM dan Asia Research Institute, NUS Gelar Diseminasi Penelitian Tentang Pekerja Migran Ponorogo

Yogyakarta, PSKK UGM – Migrasi internasional yang oleh banyak media massa kerap dimaknai sebagai bentuk eksploitasi pekerja dengan berbagai cerita pilu, ternyata mempunyai makna yang berbeda di Ponorogo. Persepsi masyarakat Ponorogo tentang pekerja migran adalah positif. Tak heran, karena bekerja di luar negeri telah lama ada dan dilakukan antargenerasi.

“Masyarakat menyatakan, tidak ada satu pun dusun di Ponorogo yang tidak mempunyai pekerja migran. Menjadi buruh migran di luar negeri telah menjadi gaya hidup masyarakat,” kata Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat Seminar Diseminasi Hasil Penelitian “Migrating out of Poverty” di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Selasa (3/11).

Joko menambahkan, migrasi internasional di Ponorogo bukanlah fenomena baru, tetapi perilaku hidup masyarakat yang telah berlangsung sejak 500 tahun yang lalu. Intensifnya migrasi internasional terbentuk melalui proses internalisasi pada individu semenjak dia kecil, terus berkembang hingga dewasa, bahkan masa tua, sebagai suatu siklus hidup (life cycle). Bagi masyarakat Ponorogo, bekerja ke luar negeri adalah pekerjaan yang diimpikan dengan berbagai variasi negara tujuan.

Dewasa ini, kebijakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri seirama dengan momentum Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA 2105. Adanya MEA 2015 menuntut setiap negara-negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia, untuk membuka peluang pasar tenaga kerja yang terbuka dan luas. Pekerja migran dari negara ASEAN lainnya bisa bekerja di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Namun demikian, jauh sebelum MEA 2015 dicanangkan, masyarakat Ponorogo sudah lebih dahulu menjelajah dunia.

Lebih lanjut, penelitian “Migrating out of Poverty” yang merupakan bentuk kerja sama PSKK UGM dengan Asia Research Institute, National University of Singapore mendapatkan beberapa temuan. Salah satunya adalah soal remitansi atau uang kiriman ke negara asal.

Dr. Silvia Mila Arlini dari Asia Research Institute, NUS dalam kesempatan yang sama menyampaikan, migran perempuan cenderung mengirimkan lebih banyak uang kepada rumah tangga mereka. Berdasarkan jenis pekerjaan, migran perempuan yang bekerja di sektor domestik cenderung mengirimkan uang lebih banyak dibandingkan dengan tiga pekerjaan lainnya yang didominasi oleh laki-laki, misalnya di sektor pertanian, konstruksi, dan produksi.

Sebagian besar remitansi digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari (35 persen) dan juga untuk biaya pendidikan dan keperluan anak-anak (26 persen). Tingginya penggunaan uang kiriman untuk kepentingan sosial bukanlah hal yang mengejutkan karena itulah motivasi utama mereka bermigrasi untuk bekerja. Hanya ada sedikit rumah tangga yang menggunakan uang kiriman untuk investasi fisik seperti lahan pertanian, deposito bank, ternak, alat-alat pertanian maupun bisnis.

“Dalam hal ini, dapat ditunjukkan bahwa migrasi bisa berperan sebagai salah satu strategi penting untuk peningkatan kehidupan yang lebih baik, terutama bagi rakyat miskin,” kata Silvia.

Penelitian yang berangkat dari survei rumah tangga ini merekomendasikan beberapa hal agar bisa menjadi input atau masukan bagi pemerintah. Pertama, mendukung diversifikasi pendapatan. Mila menyampaikan, remitansi telah menjadi komponen penting dan besar bagi sumber pendapatan keluarga migran. Namun, saat migran kembali ke tanah air, remitansi tidak bisa lagi dijadikan andalan bagi sumber pendapatan keluarga. Penelitian menemukan, remintansi tidak diinvestasikan untuk modal agar pendapatan rumah tangga tidak terus bergantung pada uang kiriman.

“Untuk itu, migran dan keluarganya sebaiknya didorong untuk mengurangi ketergantungannya terhadap remitansi. Saat memiliki remitansi yang cukup besar, perlu didorong agar menginvestasikannya pada sektor ekonomi yang produktif,” jelas Silvia.

Kedua, memfasilitasi migrasi yang aman. Migrasi bagi tenaga terampil maupun tidak terampil dapat menjadi salah satu jalan keluar dari masalah kemiskinan di perdesaan. Upaya untuk menghalangi migrasi dikhawatirkan hanya akan membatasi akses ke migrasi legal, sekaligus mengurangi kesempatan masyarakat miskin untuk memperbaiki status sosial ekonominya. Untuk memfasilitasi migrasi yang aman melalui jalur resmi, akses kredit mungkin dapat diupayakan, seperti melalui koperasi simpan pinjam atau pinjaman bank.

“Rekomendasi ketiga adalah menggalakkan pendidikan yang lebih tinggi. Tidak dipungkiri, banyak migran berkeinginan agar anaknya dapat bekerja pada jenis pekerjaan dengan ketrampilan tinggi yang biasanya juga memerlukan standar pendidikan minimal cukup tinggi,” jelas Silvia lagi.

Tentang Riset “Migrating out of Poverty”

Riset MOOP bertujuan untuk meneliti hubungan antara migrasi dan kemiskinan, serta mengidentifikasi faktor-faktor mediasi yang membentuk dampak migrasi terhadap pengentasan kemiskinan. Studi ini focus terhadap hubungan antara migrasi dengan kemiskinan di dua kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Survei ini juga mencoba mencari tahu hubungan antara migrasi dan kemiskinan serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memediasi dan menyebabkan munculnya dampak migrasi terhadap kemiskinan. Karena tipikal penduduk miskin adalah bermigrasi jarak dekat dan untuk jangka waktu yang panjang, maka penelitian ini secara khusus berusaha untuk memahami juga migrasi regional/internasional, termasuk migrasi musiman dan migrasi sirkular. Penelitian juga memasukkan pemahaman bahwa migrasi oleh golongan penduduk tidak miskin berdampak pula pada penduduk miskinnya. Selain itu, karena penduduk miskin tidak mempunyai pilihan atau keistimewaan untuk melakukan migrasi secara legal, penelitian ini juga akan memasukkan topik migrasi tidak teratur.

Pada 2013, survei dilakukan terhadap 1.203 rumah tangga, yang terdiri dari rumah tangga migran (n=903) dan rumah tangga nonmigran (n=300). Survei rumah tangga ini dilaksanakan di Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Jumlah rumah tangga yang disurvei di setiap desa diupayakan agar proporsional terhadap jumlah relatif populasi di desa terhadap populasi di Kecamatan SampungSecara umum definisi migran adalah orang yang pernah menetap di rumah tangga tersebut dan pergi keluar desa/kota dalam sepuluh tahun terakhir dan tidak berada di tempat tinggal atau sengaja tidak pulang setidaknya selama  tiga  bulan  (definisi  diadaptasi  dari  Bilsborrow,  et.  al., 1984: 146). Sementara itu, yang termasuk rumah tangga migran adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya sedang bermigrasi atau telah kembali dari migrasi. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang melakukan migrasi secara lokal di Indonesia ataupun secara internasional.

Pemilihan Kabupaten Ponorogo sebagai daerah penelitian didasarkan  pada  hasil  pendataan  terbaru.  Menurut  Badan  Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),  Kabupaten  Ponorogo  terkenal  dengan  tingginya jumlah pekerja transnasional yang bekerja di luar negeri. Hal itu ditunjukkan oleh fakta bahwa dari semua kota dan kabupaten di Indonesia, Kabupaten Ponorogo menempati peringkat ke-12 (dalam hal jumlah orang-orang yang bekerja di luar negeri). Di samping itu, satu pertiga dari hasil Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan di Ponorogo berasal dari bidang pertanian. Kurangnya keragaman dalam industri dan lapangan kerja nonmusiman di Ponorogo merupakan sebagian faktor yang dapat menjelaskan alasan tingkat migrasi keluar yang tinggi di Ponorogo. [] Media Center PSKK UGM

*Ringkasan Hasil Penelitian “Migrating out of Poverty” bisa Anda unduh di sini

[MEDIA ARCHIVES] Momentum Pacu Industri Padat Karya Nasional

Penanggulangan Krisis I Paket Kebijakan Ekonomi Hanya untuk Melindungi Orang Kaya

KORAN JAKARTA – Ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang saat ini terjadi harus menjadi momentum untuk memperbaiki struktur industri nasional yang fokus pada industri substitusi impor dan lebih berorientasi padat karya serta memiliki kandungan lokal tinggi. Perlambatan ekonomi dan tren deindustrialisasi yang bisa mengarah pada krisis saat ini tidak boleh diremehkan sehingga perlu diantisipasi dengan membuat kebijakan yang cenderung untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang.
Pakar statistik dari ITS Surabaya, Kresnayana Yahya, mengatakan di tengah ancaman gelombang PHK akibat dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus bisa membuat kebijakan untuk kepentingan jangka pendek demi menjaga harapan hidup kebanyakan rakyat.

“Pekerjaan adalah harapan hidup sedangkan PHK berarti kehilangan harapan hidup rakyat. Untuk itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang fokus pada terbentuknya industri padat karya dengan muatan lokal. Industri model ini sangat mungkin, apalagi jika berbasis pangan atau pertanian. Jadi, output industri padat karya dengan muatan lokal ini akan langsung menekan impor pangan dan mengurangi kebergantungan pada valas,” katanya saat dihubungi, Jumat (2/10).

Terkait dengan angka PHK, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) mengungkapkan saat ini secara formal jumlahnya mencapai 45 ribu orang, sedangkan secara informal sudah sekitar 60 ribu orang. Jika satu pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga maka jumlah penduduk yang kehilangan sumber pendapatan mencapai 240 ribu orang.

Dikabarkan sebelumnya, pemerintah harus mendukung sepenuhnya industri yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja agar mereka bertahan, tidak menutup usahanya. Selain itu, pemerintah mesti membela dan memberikan subsidi yang memadai bagi industri padat karya dan memiliki kandungan lokal tinggi.

Menurut ekonom UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, langkah tersebut merupakan upaya jangka pendek paling efektif untuk menghindari efek bola salju PHK dan ledakan pengangguran yang kian terasa. Pemerintah juga mesti menyadari bahwa hari-hari ini merupakan masa puncak deindustrialisasi yang berlangsung sejak satu dekade terakhir. Pada 2013, sumbangan industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) masih mendekati 30 persen, tapi pada 2015 kontribusinya justru terus merosot hingga mendekati 20 persen. Artinya, dalam dua tahun terjadi penurunan sumbangan industri terhadap PDB hampir 10 persen.

“Sektor pertanian sudah dihancurkan oleh impor pan gan. Jangan biarkan industri yang masih bertahan menjadi bangkrut, sebab industri yang sudah tutup tidak bisa bangkit lagi. Dengan rupiah yang mendekati 15 ribu rupiah per dollar AS, hari ini menjadi puncak dari deindustrialisasi,” kata Fahmi.

Melindungi Orang Kaya

Hal senada juga diungkapkan Ekonom UMY Ahmad Ma’ruf. Dia menilai Presiden Joko Widodo tidak punya waktu banyak lagi untuk menghentikan efek bola salju atau snowball perlambatan ekonomi global terhadap ekonomi Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat sebelum gelombang PHK dan ledakan pengangguran merusak tatanan perekonomian nasional dan kegiatan industri terhenti karena pailit.

Kresnayana Yahya menambahkan, kenyataan tentang banyak perusahaan sedang kesulitan karena pasarnya berkurang pertanda krisis sedang terjadi. Kondisinya kian menjadi parah karena banyak juga terjadi pengurangan tenaga kerja.

“Seharusnya paket-paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah mengutamakan korban PHK terlebih dulu. Tapi, kenyataannya malah melindungi kepentingan orang kaya dan segelintir pengusaha,” ujar dia.

Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Sukamdi, mengatakan dari sisi kependudukan, arah industri yang padat impor barang modal dan utang luar negeri telah membawa konsekuensi yang buruk pada kebijakan kependudukan. Angka pengangguran meningkat karena serapan tenaga kerja pada industri berbasis impor sangat kecil.

Dari tahun ke tahun perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja makin kecil. Masalah itu memuncak mulai tahun ini saat dollar AS perkasa dan dana asing kembali ke negara asalnya. “Jadi saat ini memang situasi rumit dan kompleks,” ujar dia.[]

*Sumber: Koran Jakarta | Ilustrasi aktivitas bongkar muat di pelabuhan/goldbank.co.id

[Media Archives] INDONESIA BELUM FOKUS KE MEA: Persoalan Ketenagakerjaan Makin Serius

Jakarta, NERACA – Kalangan akademisi dan pengamat menilai Indonesia menghadapi masalah besar di bidang ketenagakerjaan di tengah kondisi persaingan ketat di kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sementara lembaga penelitian CORE memandang bahwa Indonesia semestinya dapat berperan lebih besar dan lebih konkret dalam mendorong kemajuan ekonomi negara-negara Asia dan Afrika.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Sukamdi membenarkan masih ada kekhawatiran apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi MEA 2015. Sampai saat ini Indonesia masih gamang. Pemerintah belum memiliki perencanaan yang fokus dalam merespon MEA 2015.

Menurut dia, kondisi antarnegara di wilayah ASEAN tidaklah sama. Selain perbedaan tingkat pendapatan negara, ada juga perbedaan jumlah angkatan kerja produktif di masing-masing negara. Ada negara yang defisit tenaga kerja sehingga menjadi negara penerima pekerja migran, ada pula yang surplus dan menjadi negara pengirim tenaga kerja.

“Pengalaman yang pernah dihadapi oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) perlu menjadi pelajaran bagi ASEAN. Di satu pihak memang ada dampak positif secara ekonomi bagi negara-negara Eropa, tetapi inij uga menimbulkan multi persoalan, salah satunya migrasi internasional,” kata Sukamdi dalam laporannya yang diterima Neraca, akhir pekan lalu.

Uni Eropa sudah lebih dahulu menerapkan prinsip kebebasan bergerak bagi modal, barang, dan jasa. Sektor ketenagakerjaannya pun demikian. Para pekerja bebas bergerak lintas negara-negara anggota UE tanpa ada hambatan untuk tinggal dan bekerja. Perkembangannya, situasi ini banyak dimanfaatkan pula oleh pekerja dari luar UE seperti Afrika, Asia, dan Eropa Timur. Kemudahan mobilitas penduduk ini belum disertai aturan-aturan tambahan sehingga arus imigran tidak terkontrol.

Jika melihat berbagai macam argumentasi di dalam dokumen-dokumen mengenai MEA 2015, menurut dia, semuanya bernada positif. MEA merupakan salah satu cara agar negara-negara di ASEAN lebih maju. Lalu, mengapa masih ada tanggapan negatif bahkan terdengar pesimis oleh beberapa kalangan di Indonesia?

Saat ini ASEAN hendak menerapkan prinsip yang sama. Untuk mendukung hal itu, disusunlah kesepakatan saling pengakuan terhadap kualifikasi tenaga kerja profesional dalam Mutual Recognition Arrangements (MRA). Sejak 2005 sudah ada delapan sektor pekerjaan yang disepakati, antara lain engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Tenaga kerja profesional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa secara bebas masuk ke negara anggota ASEAN lainnya.

Indonesia dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang luas. Permintaan (demand) tenaga kerja profesional dan terampil di ASEAN tinggi. Sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja, Indonesia jelas memiliki kesempatan yang besar. Namun, benarkah ini sebagai sebuah kesempatan?

Pendidikan Rendah

Sukamdi mengatakan, ada beberapa persoalan besar ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, angkatan kerja Indonesia sebagian besar berpendidikan rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS menunjukkan, pada 2013 ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Lebih dari 33 juta merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan SD, sekitar 22 juta berpendidikan SMP, dan sekitar 19 juta berpendidikan SMA.

“Persoalan kedua adalah struktur kesempatan kerja kita yang agak aneh. Kita kerap mengeluh banyak orang tidak memperoleh pekerjaan. Di saat bersamaan, jika melihat strukturnya, ada kesempatan kerja yang tidak bisa diisi oleh orang Indonesia karena persoalan kualifikasi atau kompetensi,” ujarnya.

Data Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) yang diolah Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan (Pusdatinaker) menunjukkan ada tiga jenis pekerjaan atau jabatan yang banyak diisi oleh tenaga kerja asing. Penggunaan tenaga kerja asing untuk pekerjaan profesional sebanyak 38.762, konsultan atau advisor sebanyak 18.925, dan manajer sebanyak 15.529. Jika dilihat dari negara asal, tenaga kerja asing dari Tiongkok yang paling tinggi, yakni sebanyak 18.864. Menyusul kemudian tenaga kerja asing dari Jepang (17.444), Korea Selatan (10.195), dan India (6.703).

Data itu menggambarkan, ada yang tidak tersambung antara kualifikasi atau kompetensi angkatan kerja dengan kesempatan kerja di Indonesia. Saat kesempatan kerja pada jenis-jenis pekerjaan tersebut hanya bisa diisi oleh tenaga kerja dari luar negeri, Indonesia menghadapi persoalan serius karena pengangguran terdidiknya akan semakin banyak.

Di sisi lain, lembaga penelitian Center of Reform on Economics (CORE) menilai Indonesia semestinya dapat berperan lebih besar dan lebih konkret dalam mendorong kemajuan ekonomi negara-negara Asia dan Afrika. Di antara peran strategis yang dapat dijalankan oleh Indonesia adalah mendorong kerjasama perdagangan yang lebih berkeadilan (fair trade), yang merupakan langkah penting untuk memperbaiki kondisi perekonomian bagi negara berkembang dan terbelakang di kawasan ini.

Menurut Direktur Penelitian CORE Mohammad Faisal, praktik perdagangan yang tidak adil masih banyak dan sering dilakukan oleh negara-negara maju yang banyak merugikan negara-negara berkembang. Sebagai contoh, pada saat negara berkembang didesak untuk mengurangi hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif, WTO malah membiarkan negara-negara maju menjalan kebijakan proteksionis hingga saat ini.

Seperti subsidi pertanian di negara maju, menurut dia, telah membuat para petani di negara-negara berkembang terutama di kawasan Afrika kesulitan untuk bersaing di pasar global dan juga di pasar domestik negara mereka sendiri. Negosiasi dengan Uni Eropa membuat negara-negara di Afrika dipaksa untuk menghapuskan tarif pada hingga 90% dari perdagangan mereka karena tidak ada aturan yang jelas ada untuk melindungi mereka. []

*Sumber: NERACA | Photo: Sekolah Kejuruan/Berita Daerah

STUDI PERBURUHAN INDONESIA: Identitas Buruh Tidak Harus Selalu Dipahami dalam Konteks Hubungan Produksi

Yogyakarta, PSKK UGM — Adakah cara baru dalam memahami realitas perburuhan atau ketenagakerjaan di Indonesia? Adakah produksi pengetahuan baru di dalam studi-studi perburuhan?

Selalu ada data-data terbaru tentang perburuhan. Melalui media massa, masyarakat kerap dijejali dengan beragam informasi tentang perburuhan. Selain itu, banyak pula studi-studi perburuhan yang telah dilakukan oleh para peneliti maupun aktivis sosial. Semuanya menambahkan informasi baru untuk memperluas pemahaman kita. Namun, apakah hal yang dilakukan oleh peneliti, aktivis sosial, wartawan ataupun media massa itu memproduksi pengetahuan baru?

Staf pengajar School of Humanities and Social Sciences (HASS), The University of New South Wales (UNSW), Nico Warouw, Ph.D. dalam kesempatan mengisi seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengatakan, ada kejenuhan di dalam studi-studi mengenai perburuhan. Tidak ada unsur kebaharuan di dalamnya. Ada begitu banyak produksi data dan informasi dari berbagai sumber, namun hal itu tidak bisa diklaim sebagai bentuk pengetahuan baru pula.

“Ada semacam kebuntuan dalam produksi pengetahuan tentang isu-isu perburuhan. Sebagai peneliti, kita bisa melakukan pemetaan guna menemukan ruang-ruang penelitian yang baru. Jadi, bukan hanya data baru, namun juga ada unsur kebaharuan di dalamnya,” kata Nico dalam seminar bertajuk “KAJIAN PERBURUHAN INDONESIA: Survei Literatur dan Agenda Penelitian” di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Rabu (13/5) lalu.

Mengutip seorang sosiolog dari Eropa, Aage B. Sørensen, Nico menyampaikan tiga pengetahuan besar atau peta untuk dapat memahami secara sederhana beragam data perburuhan yang ada. Pertama, kelas pekerja sebagai klasifikasi nominal (nominal classification). Menurut pandangan ini, kelas pekerja dilihat sebagai kategori demografis demi keperluan klasifikasi kependudukan. Pendekatan ini banyak dilakukan di dalam studi-studi kuantitatif melalui metode survei. Biasanya studi ini tidak sampai pada pertanyaan tentang mengapa terjadi ketimpangan, mengapa upah buruh rendah, dan pertanyaan lainnya yang mengarah pada konsep kesadaran kelas.

Kedua, bukan hanya sebagai kategori demografi, kelas pekerja juga bisa dipandang dari kondisi atau gaya hidupnya (life conditions). Penandanya dari standar hidup dan keanggotaan kelas seseorang, misalnya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, tempat tinggal, keterampilan, dan kepemilikan. Bukan lagi parameter-parameter kuantitatif, melainkan pada gaya hidup atau kondisi hidup para buruh.

Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi studi-studi yang masuk ke dalam kategori kedua ini, Nico menambahkan, biasanya judul studi menggunakan kata kunci coping strategies—“strategi”, “taktik”, “balada”, yaitu dengan melihat bagaimana kelompok sosial tertentu menghadapi persoalan ekonomi, atau bagaimana kelompok sosial tertentu menghadapi tekanan hidup di perkotaan.

Ketiga, kelas pekerja dipandang sebagai obyek eksploitasi (means of exploitation). Pandangan studi ini sebenarnya cukup populer untuk konteks Indonesia dan dekat dengan pendekatan Marxian. Dalam pandangan ini, kelas muncul akibat adanya ketimpangan struktural. Ada perbedaan akses terhadap alat produksi. Pemilik perusahaan mempunyai alat produksi sementara buruh tidak memilikinya.

Studi-studi dalam aras pandangan ketiga ini dinilai problematik karena kerap mengabaikan perhitungan tentang nilai lebih (surplus value) yang seringnya disebabkan oleh terbatasnya akses informasi tentang jumlah keuntungan perusahaan, total biaya produksi, dan sebagainya. Studi ini belum mampu menampilkan hitungan riil sebagai dasar bahwa memang ada eksploitasi terhadap buruh, yang ada eksploitasi pada tingkatan retorika dengan menunjukkan hubungan-hubungan logis saja.

Menurut Nico, tidak terlalu banyak pengetahuan baru yang dihasilkan. Semuanya bisa dipetakan ke dalam tiga aras pengetahuan besar tadi. Kendati demikian, masih ada kecenderungan atau tren lain yang bisa dilihat jika kita kembali memetakan studi-studi perburuhan. Ada sebuah ruang yang bisa menjadi ‘pintu masuk’ untuk mengatakan ada kebaharuan.

Identitas buruh tidak lagi dilihat dalam kaitannya dengan hubungan produksi. Eksistensi buruh justru bisa dilihat di dalam komunitasnya. Kondisi perburuhan industri-industri berat di Cilegon misalnya, menunjukkan kurang relevannya studi jika dikaitkan dengan entitasnya sebagai kelas pekerja. Para pekerja di sana rata-rata memiliki keterampilan, tingkat pendidikan hingga upah yang memadai. Tidak ada yang harus dipermasalahkan dengan perusahaan, bahkan ada rasa bangga terhadap tempat kerjanya.

“Mereka merasa gajinya sudah cukup baik. Ini bukan lagi soal ketimpangan di perusahaan, melainkan ketimpangan yang terjadi di masyarakatnya. Industri di Cilegon misalnya, memang belum mampu menyerap semua tenaga kerja sehingga masih banyak pengangguran dan kemiskinan. Bagaimana kemudian posisi buruh sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari masyarakat dimana dia tinggal? Ini salah satu tawaran yang bisa kita lihat,” jelas Nico [] Media Center PSKK UGM

[Media Archives] Survei UGM: Pemerintah Belum Lindungi Pekerja LGBT

Jakarta, CNN Indonesia — Menjadi pekerja yang memiliki orientasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) berarti berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau menjadi bagian dari arus utama, yakni heteroseksual.

Ketika seorang LGBT berpendidikan tinggi, mereka mempunyai ruang lebih besar untuk menjadi diri sendiri dan menemukan tempat kerja yang sesuai dengan orientasi dan pemikiran mereka. Hal itu disebabkan oleh berkualitasnya kemampuan dan keterampilan mereka sehingga mencari pekerjaan sesuai tidak pernah menjadi masalah.

Hal yang berbeda menimpa pekerja LGBT dari kalangan pendidikan rendah di mana mereka memiliki ruang sempit untuk mengekspresikan diri, di mana urusan mendapat pekerjaan yang bisa mendukung orientasi mereka sulit dicapai. Alhasil, merahasiakan jati diri menjadi satu-satunya pilihan agar bisa mencari nafkah.

Fakta tersebut dirangkum dalam sebuah penelitian berjudul 'Identitas Gender dan Orientasi Seksual: Mempromosikan Hak Asasi, Diversitas dan Persamaan di Dalam Dunia Kerja' yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Berikut ini kutipan wawancara reporter CNN Indonesia, Yohannie Linggasari, dengan peneliti PSKK UGM Dewi Haryani Susilastuti via surel.

Bagaimana riset yang dilakukan ILO dan PSKK UGM tentang pekerja LGBT?

Penelitian ini terdiri dari dua komponen. Pertama, survei yang melibatkan anggota serikat buruh. Kuesioner dalam survei ini bertujuan untuk melihat persepsi dan perilaku anggota serikat buruh di Jakarta terhadap pekerja LGBT. Komponen ke dua meliputi penelitian kualitatif yang melibatkan pekerja LGBT yang tergabung dalam berbagai organisasi LGBT di Yogyakarta, Jakarta, Kupang dan Pontianak.  (Baca Juga: Fokus Catatan Harian Buruh Pelangi)

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman kaum LGBT di dunia kerja. Latar belakang pekerjaan mereka sangat bervariasi. Ada yang bekerja di salon, di restoran, di cafe, di toko swalayan, di bank, di kantor swasta, di lembaga swadaya masyarakat, ada juga pegawai negeri sipil.

Ada disonansi kognitif di kalangan responden dalam kaitan sikap dan perilaku mereka terhadap LGBT. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa mereka cukup toleran terhadap LGBT, tetapi pada tataran perilaku, mereka keberatan mempunyai teman sekerja atau atasan LGBT. 

Apa saja diskriminasi yang dirasakan para pekerja LGBT?

Mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan umumnya tidak ramah terhadap kaum LGBT.

Sudah adakah kesadaran dari pihak perusahaan mengenai kehadiran mereka?

Perusahaan tahu bahwa LGBT itu ada di perusahaan. Akan tetapi mereka memandang LGBT sebagai kelompok yang melenceng dari norma-norma sosial yang ada. Pendekatan yang sering dipakai oleh perusahaan atau organisasi buruh adalah kegiatan yang sifatnya “siraman rohani”, dengan harapan para pekerja LGBT ini akan kembali ke “jalan yang normal”.

Adakah diskriminasi yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja LGBT? Kalau ya, apa saja?

Diskriminasi di dunia kerja terhadap pekerja LGBT itu sangat bervariasi, mulai dari ketika mereka masih mencari dan melamar pekerjaan hingga sudah bekerja. Iklan untuk mencari pekerja sangat diskriminatif terhadap LGBT, misalnya, “Dicari laki-laki dan perempuan”. 

Iklan seperti ini tidak memberi ruang bagi mereka yang berada di luar oposisi biner laki-laki atau perempuan. Upaya mencari kerja di kalangan LGBT juga diperberat dengan terbatasnya pendidikan banyak LGBT. 

Dalam proses rekrutmen, terutama di bagian wawancara, pekerja LGBT harus berhadapan dengan pewawancara. Dalam banyak kasus lamaran mereka ditolak karena mereka pewawancara bisa melihat penampilan mereka, tahu atau menduga bahwa mereka gay, lesbian atau transgender. 

Bagaimana diskriminasi yang dirasakan pekerja LGBT setelah memperoleh pekerjaan?

Diskriminasi yang dirasakan beragam. Misalnya, berupa komentar atau guyonan tentang LGBT. Misalnya: “Kalau enggak kemayu gimana?” Ada pula yang tidak mau duduk berdekatan dengan pekerja LGBT dalam pertemuan di kantor, bahkan tidak mau diajak salaman. Ditemukan pula bullying oleh kolega yang juga LGBT. Karena lapangan kerja untuk LGBT relatif terbatas sehingga tidak jarang kehadiran sesama LGBT membuat LGBT yang lain merasa terancam.

Para LGBT juga mengalami diskriminasi pada tahap evaluasi dan promosi. Pekerja yang diketahui atau dikenal sebagai LGBT sulit memperoleh evaluasi yang positif dan promosi sekalipun masa kerja mereka sudah cukup panjang.

Bagaimana dengan diskriminasi terhadap LGBT berupa kekerasan fisik?

Di kalangan LGBT, transgender yang paling sering menjadi sasaran kekerasan fisik. Jenis diskriminasi yang ekstrem ini salah satunya disebabkan oleh jenis pekerjaan mereka. Karena keterbatasan keterampilan dan tingkat pendidikan mereka, banyak kaum transgender bekerja sebagai pekerja seksual komersial. Sebagai akibatnya, mereka mengalami diskriminasi bertingkat – diskriminasi karena mereka transgender dan diskriminasi karena mereka pekerja seksual komersial.

Di beberapa daerah di Indonesia, pelacuran dianggap sebagai “mengganggu ketenangan” dan sering dijadikan sasaran penertiban Satpol PP. Para transgender pekerja seksual komersial ini takut terhadap penertiban Satpol PP. Ketika ada penertiban Satpol PP, reaksi pertama mereka adalah lari. Berdasarkan data dari grup diskusi, beberapa tahun yang lalu ada transgender yang ketakutan karena adanya penertiban Satpol PP.

Dia tidak bisa berenang akan tetapi karena dia tidak melihat jalan keluar, dia melompat ke sungai Kapuas dan akhirnya dia meninggal karena tenggelam. Kekerasan fisik di beberapa daerah penelitian juga dilakukan oleh anak laki-laki muda. Mereka berteriak-teriak sambil melempar batu kepada kaum transgender yang mejeng di pinggir jalan. Boleh jadi kekerasan fisik ini dipicu dengan semakin banyaknya jumlah, dan semakin bertambahnya visibilitas, kaum transgender. Ada kemungkinan kedua faktor ini dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi heteroseksualitas. 

Apa tantangan terberat para pekerja LGBT?

Pada intinya semua pekerja LGBT merasa bahwa mereka berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau menjadi bagian dari arus utama yang ditandai oleh heteroseksualitas yang kental. 

Mereka yang berpendidikan tinggi memiliki ruang yang lebih lebar untuk menjadi diri sendiri, artinya mereka bisa terbuka tentang orientasi seksual atau identitas gender mereka. Ini karena mereka mempunyai ketrampilan dan atau pendidikan yang memungkinkan mereka untuk pindah pekerjaan ketika mereka merasa bahwa lingkungan pekerjaan mereka tidak nyaman secara psikologis bagi mereka. 

Sebaliknya, kaum LGBT dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah seringkali merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan pekerjaan mereka adalah dengan merahasiakan orientasi seksual atau identitas gender mereka. Akan tetapi ketidakterbukaan mereka tentang orientasi seksual atau identitas gender mereke membuat mereka merasa tertekan karena mereka merasa tidak jujur kepada diri mereka sendiri. 

Sudah adakah perlindungan dari pemerintah terhadap pekerja LGBT?

Belum ada.

Perlukah ada peraturan khusus atau undang-undang untuk para buruh LGBT dalam rangka melindungi dan memenuhi hak mereka? Kalau iya, seperti apa?

Mungkin tidak perlu ada peraturan khusus. Yang diperlukan sekarang ini adalah peninjauan kembali peraturan yang sudah ada karena pada prinsipnya peraturan perburuhan yang sudah ada sekarang ini sifatnya anti diskriminasi, paling tidak semangatnya demikian, walaupun mungkin aplikasinya tidak sejalan dengan semangatnya. [] Yohannie Linggasari

*Sumber: CNN Indonesia

Berimplikasi Besar, Kebijakan Moratorium Dipertanyakan Efektivitasnya

Yogyakarta, PSKK UGM — Pasca diberlakukannya moratorium terkait penghentian pengiriman tenaga kerja ke sejumlah negara pada 2011 lalu, ada kecenderungan penurunan penempatan TKI yang signifikan. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) terbaru menunjukkan jumlah penempatan TKI pada 2011 turun dari 586.802 pekerja menjadi 494.609 pekerja pada 2012. Angka ini sempat naik pada 2013, yakni 512.168 pekerja namun turun kembali pada 2014 menjadi 429.872 pekerja.

Kendati menurun, jumlah pekerja migran perempuan masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan pekerja migran laki-laki. Jumlah pekerja migran perempuan pada 2014 mencapai 243.629 sementara pekerja migran laki-laki mencapai 186.243 pekerja. Feminisasi pekerja migran sesungguhnya sudah dimulai sejak era 1980-an. Selama periode 2002-2007 bahkan lebih dari ¾ pekerja migran adalah perempuan.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, selain penurunan jumlah pekerja migran, moratorium tampaknya juga memengaruhi jumlah penempatan TKI di sektor informal. Data BNP2TKI menunjukkan, penempatan TKI informal dari 2011 sampai 2014 turun, yaitu dari 320.611 pekerja menjadi 182.262 pekerja. Sementara di sektor formal, penempatan TKI pada 2014 lebih banyak daripada di sektor informal, yaitu 247.610 pekerja.

Jika melihat data makro tersebut, Indonesia memiliki “harapan” karena informal menurun dan cenderung bergerak ke arah sektor formal. Meski begitu, Sukamdi menekankan, perlu dilihat kembali apakah fakta-fakta ini berarti positif. Artinya, apakah persoalan ketenagakerjaan kemudian berkurang? Moratorium jelas membawa implikasi yang besar.

“Tenaga kerja perempuan dari Indonesia sebagian besar bekerja sebagai domestic worker. Dari sisi lain, kebijakan tersebut bisa jadi negatif. Perempuan yang tadinya ingin menjadi pekerja internasional kemudian tidak bisa karena moratorium,” kata Sukamdi.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Peneliti SMERU Research Institute, Palmira Bachtiar, M.A. juga mempertanyakan efektivitas dari kebijakan moratorium yang diberlakukan oleh pemerintah. Di tingkat nasional wacana yang berkembang akhir-akhir ini lebih banyak menyoroti tentang dampak negatif dari migrasi. Pemerintah juga cenderung reaktif terhadap kasus-kasus pekerja migran yang terjadi.

“Biasanya jika ada kasus, maka disikapi dengan moratorium. Sayangnya, langkah-langkah untuk perbaikan tata kelola tidak kelihatan dengan jelas. Bahkan, sudah ada kebijakan zero international domestic worker pada 2017 namun sampai saat ini belum ada roadmap atau petunjuknya sehingga kita belum tahu arah kebijakan ini nanti seperti apa,” kata Palmira.

Sejauh ini Indonesia telah menerapkan moratorium terhadap lima negara tujuan TKI, yaitu Malaysia, Kuwait, Yordania, Arab Saudi, dan Suriah. Moratorium terhadap Malaysia dilakukan pada 26 Juni 2009 sebagai respon atas kasus kematian Munti binti Bani. Di tahun yang sama moratorium juga diterapkan untuk negara tujuan Arab Saudi setelah kasus hukuman penggal terhadap TKI bernama Ruyati. Sementara larangan pengiriman TKI untuk Kuwait dan Yordania dilakukan karena usulan kenaikan standar gaji yang ditolak oleh pemerintah setempat. Untuk Suriah, larangan diberlakukan karena persoalan keamanan dan ketidakstabilan politik di negara tersebut.

Data statistik tentang jalur migrasi illegal tidak benar-benar ada sehingga sangat spekulatif jika mengharapkan kebijakan moratorium bisa menghentikan arus migrasi pekerja ke luar negeri. Tidak sedikit pekerja migran yang mampu menemukan caranya sendiri untuk terus datang ke negara-negara tujuan dengan biaya berapa pun. Pasca moratorium, ada dugaan bahwa para pekerja masih bisa ke negara-negara di Timur Tengah melalui Singapura dan Malaysia atau menggunakan visa umroh. Di Yordania bahkan penggunaan visa kedatangan dimungkinkan sehingga moratorium menjadi tidak efektif.

“Masih banyak yang abu-abu terutama penyelesaian kasus-kasus pekerja migran Indonesia. Masih menggantung, belum ada keputusan akhir, dan kondisinya sudah cukup lama seperti itu. Tentunya kita mulai bertanya, apakah moratorium itu efektif tanpa adanya langkah-langkah penanganan kasus sekaligus perbaikan tata kelola tadi?” kata Palmira lagi. [] Media Center PSKK UGM

Indonesia Termasuk Negara dengan Tingkat Perbudakan Tertinggi

NG Indonesia  Indonesia berada di peringkat delapan jumlah korban perbudakan terbanyak dari 167 negara, ungkap sebuah penelitian mengenai perbudakan global modern atau Global Slavery Index.

GSI 2014 dalam laporan tahunan keduanya yang dirilis Senin (17/11) menyatakan, sebanyak 35,8 juta orang di seluruh dunia terjebak dalam berbagai bentuk perbudakan modern.

Penelitian ini di Indonesia dikeluarkan oleh lembaga pegiat buruh Migrant Care. Wahyu Susilo dari Migrant Care menjelaskan perbudakan modern adalah praktik-praktik mirip perbudakan seperti jerat utang, pernikahan paksa, penjualan serta eksploitasi anak-anak, termasuk penyelundupan manusia dan kerja paksa.

"Area dari advokasi ini bukan hanya buruh migran," kata Wahyu menerangkan, "Tapi jugaperbudakan di sektor pekerja anak, bahkan perkawinan paksa anak-anak. Juga upaya untuk mengeksploitasi rantai pasok komoditas, misalnya proses-proses pembuatan minyak kelapa sawit yang ternyata mengeksploitasi buruh, mengeksploitasi perempuan."

Ia menegaskan pula, memperkerjakan pembantu rumah tangga di bawah umur tanpa memberikan hak-hak mereka, juga termasuk perbudakan modern.

Lembaga pegiat hak-hak PRT, Jala PRT pun sudah melakukan berbagai usaha untuk memperjuangkan hak-hak PRT, ujar Lita Anggraini, koordinator Jala PRT.

"Kami sejak tahun 2004 menyampaikan ke DPR tentang perlunya undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga. Dan yang kedua, ketika ILO mengadopsi konvensi 189 tentang situasi kerja layak PRT, kami juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi itu," kata Lita Anggraini.

Tidak ada alternatif

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan akan memperhatikan masalah ini. "Tentu menjadi masukan dan juga evaluasi kita semua baik pemerintah maupun kelompok masyarakat terkait dengan persoalan-persoalan itu. Tentu itu tamparan buat kita dan sekaligus tantangan juga agar ke depan kita bisa membenahi seluruh hal yang terkait dengan ketenagakerjaan," kata Hanif Dhakiri, Senin (17/11) sore.

Namun Arist Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas KPA) menyatakan, masalahnya adalah kemiskinan.

"Orang miskin tidak punya alternatif karena pekerjaan tidak ada, makan tidak ada. Situasi dan statusnya juga tidak jelas secara ekonomi, secara hukum juga tidak terlindungi. Nah, karena itu tentu mereka (anak-anak yang jadi pekerja) tidak punya pilihan," jelas Arist.

Karena itu, Arist berharap agar pemerintah yang baru segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban perbudakan modern ini. []

*Sumber: NG Indonesia