[MEDIA ARCHIVES] Momentum Pacu Industri Padat Karya Nasional

06 Oktober 2015 | admin
Media

Penanggulangan Krisis I Paket Kebijakan Ekonomi Hanya untuk Melindungi Orang Kaya

KORAN JAKARTA – Ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang saat ini terjadi harus menjadi momentum untuk memperbaiki struktur industri nasional yang fokus pada industri substitusi impor dan lebih berorientasi padat karya serta memiliki kandungan lokal tinggi. Perlambatan ekonomi dan tren deindustrialisasi yang bisa mengarah pada krisis saat ini tidak boleh diremehkan sehingga perlu diantisipasi dengan membuat kebijakan yang cenderung untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang.
Pakar statistik dari ITS Surabaya, Kresnayana Yahya, mengatakan di tengah ancaman gelombang PHK akibat dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus bisa membuat kebijakan untuk kepentingan jangka pendek demi menjaga harapan hidup kebanyakan rakyat.

“Pekerjaan adalah harapan hidup sedangkan PHK berarti kehilangan harapan hidup rakyat. Untuk itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang fokus pada terbentuknya industri padat karya dengan muatan lokal. Industri model ini sangat mungkin, apalagi jika berbasis pangan atau pertanian. Jadi, output industri padat karya dengan muatan lokal ini akan langsung menekan impor pangan dan mengurangi kebergantungan pada valas,” katanya saat dihubungi, Jumat (2/10).

Terkait dengan angka PHK, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) mengungkapkan saat ini secara formal jumlahnya mencapai 45 ribu orang, sedangkan secara informal sudah sekitar 60 ribu orang. Jika satu pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga maka jumlah penduduk yang kehilangan sumber pendapatan mencapai 240 ribu orang.

Dikabarkan sebelumnya, pemerintah harus mendukung sepenuhnya industri yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja agar mereka bertahan, tidak menutup usahanya. Selain itu, pemerintah mesti membela dan memberikan subsidi yang memadai bagi industri padat karya dan memiliki kandungan lokal tinggi.

Menurut ekonom UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, langkah tersebut merupakan upaya jangka pendek paling efektif untuk menghindari efek bola salju PHK dan ledakan pengangguran yang kian terasa. Pemerintah juga mesti menyadari bahwa hari-hari ini merupakan masa puncak deindustrialisasi yang berlangsung sejak satu dekade terakhir. Pada 2013, sumbangan industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) masih mendekati 30 persen, tapi pada 2015 kontribusinya justru terus merosot hingga mendekati 20 persen. Artinya, dalam dua tahun terjadi penurunan sumbangan industri terhadap PDB hampir 10 persen.

“Sektor pertanian sudah dihancurkan oleh impor pan gan. Jangan biarkan industri yang masih bertahan menjadi bangkrut, sebab industri yang sudah tutup tidak bisa bangkit lagi. Dengan rupiah yang mendekati 15 ribu rupiah per dollar AS, hari ini menjadi puncak dari deindustrialisasi,” kata Fahmi.

Melindungi Orang Kaya

Hal senada juga diungkapkan Ekonom UMY Ahmad Ma’ruf. Dia menilai Presiden Joko Widodo tidak punya waktu banyak lagi untuk menghentikan efek bola salju atau snowball perlambatan ekonomi global terhadap ekonomi Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat sebelum gelombang PHK dan ledakan pengangguran merusak tatanan perekonomian nasional dan kegiatan industri terhenti karena pailit.

Kresnayana Yahya menambahkan, kenyataan tentang banyak perusahaan sedang kesulitan karena pasarnya berkurang pertanda krisis sedang terjadi. Kondisinya kian menjadi parah karena banyak juga terjadi pengurangan tenaga kerja.

“Seharusnya paket-paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah mengutamakan korban PHK terlebih dulu. Tapi, kenyataannya malah melindungi kepentingan orang kaya dan segelintir pengusaha,” ujar dia.

Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Sukamdi, mengatakan dari sisi kependudukan, arah industri yang padat impor barang modal dan utang luar negeri telah membawa konsekuensi yang buruk pada kebijakan kependudukan. Angka pengangguran meningkat karena serapan tenaga kerja pada industri berbasis impor sangat kecil.

Dari tahun ke tahun perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja makin kecil. Masalah itu memuncak mulai tahun ini saat dollar AS perkasa dan dana asing kembali ke negara asalnya. “Jadi saat ini memang situasi rumit dan kompleks,” ujar dia.[]

*Sumber: Koran Jakarta | Ilustrasi aktivitas bongkar muat di pelabuhan/goldbank.co.id