Tag: Keluarga Berencana

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

Menuju SDGs 2030, Indonesia Dinilai Memiliki Banyak Tantangan untuk Peningkatan Derajat Kesehatan

CPPS UGM – Kesehatan merupakan salah satu dimensi utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) bersama dua dimensi lainnya, yaitu ekonomi dan pendidikan. Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu gaya hidup (lifestyle), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan memengaruhi status kesehatan seseorang.

Dalam rangka memeriahkan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap 17 April, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan acara Live PopCorn (Population Corner) bertajuk “Tantangan Peningkatan Derajat Kesehatan di Indonesia” dengan menghadirkan Dr. Umi Listyaningsih, M.Si. (Peneliti PSKK UGM) sebagai pembicara serta Citra Sekarjati, M.P.A. (Asisten Peneliti PSKK UGM) sebagai pembawa acara.

Umi menjelaskan bahwa Indonesia ditargetkan bisa menekan MMR hingga 70 persen pada 2024, namun hal ini akan sulit tercapai karena penyebab kematian ibu pascapersalinan masih banyak diakibatkan oleh gangguan hipertensi dan pendarahan.

“Banyak ibu yang datang ke fasilitas kesehatan, namun kebanyakan tidak melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan). Meskipun di data Riskesdas itu sebetulnya jumlah ibu yang sudah melakukan pemeriksaan cukup banyak, tetapi kita masih punya tugas sekitar 15 persen ibu hamil yang tidak melakukan antenatal care. Itulah sebabnya angka kematian ibu itu masih menjadi tugas bersama,” ujar Umi.

Ia berpendapat bahwa pemerintah telah berupaya untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satunya dengan membuat program Rumah Singgah untuk ibu hamil yang rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan. Rumah Singgah ini dapat menjadi tempat sementara bagi ibu yang telah masuk masa kehamilan tua. Permasalahannya, menurut Umi, sejauh ini Rumah Singgah bukan hanya ditempati oleh ibu yang akan melahirkan, tetapi juga ada yang membawa sanak saudara. Kemudian hal ini menjadi tantangan lain bagi pemerintah.

Selain itu, Selain itu, ada program Generasi Berencana (GenRe) yang dilaksanakan BKKBN dengan slogan “Katakan tidak untuk pernikahan usia dini, seks pra nikah, dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)”.  Menurut Umi, program ini cukup membanggakan, mengingat salah satu target SDGs pada poin keempat adalah mengurangi kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Umi memaparkan bahwa setidaknya ada lima strategi jitu, yaitu meningkatkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS); meningkatkan penganekaragaman dan keamanan pangan (termasuk olahan); meningkatkan pelayanan medis, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial; dukungan dari masyarakat bagi penderita gangguan jiwa; serta meningkatkan aksebilitas dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Penulis: Nuraini Ika |  Editor Bahasa: Rinta Alvionita  |  Foto: PSKK UGM/Affen Irhandi

 

Desain Ulang Kependudukan | KOMPAS

Wacana Pelonggaran Kelahiran Berisiko Besar

Jakarta, KOMPAS – Pertumbuhan penduduk Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Karena itu, wacana mengkaji ulang program dua anak perlu dicermati hati-hati. Perencanaan salah akan membuat Indonesia masuk dalam jebakan negara dengan pendapatan menengah.

Penduduk akan tumbuh seimbang jika angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang menunjukkan jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur mencapai 2,1 anak. Itu berarti jumlah penduduk yang lahir dan meninggal sama. Struktur penduduk seimbang diperkirakan dicapai Indonesia pada 2025. Pada 2015, TFR Indonesia mencapai 2,28 anak setelah sejak 2001-2012 stagnan di 2,6 anak.

“Perencanaan penduduk ke depan tidak cukup hanya menggunakan data angka kelahiran total (TFR),” kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna, ketika dihubungi, Minggu (30/7). Persoalan migrasi, kemampuan memenuhi pangan, energi, hingga daya dukung lingkungan harus diperhitungkan.

Sebelumnya, dalam peringatan Hari Kependudukan Dunia, 11 Juli, di Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan pertanyaan Presiden Joko Widodo apakah program dua anak masih relevan? Bagaimana pula dampaknya bagi persaingan ekonomi ke depan?

Pemerintah khawatir, saat 100 tahun merdeka pada 2045, Indonesia akan bernasib sama seperti negara-negara maju, yaitu melonjaknya penduduk tua dan kurangnya angkatan kerja produktif. Karena itu, perlu dipikirkan memperpanjang bonus demografi dan menjaga agar TFR stabil di 2,1 karena muncul kecenderungan turunnya keinginan keluarga Indonesia untuk punya anak banyak.

Memperpanjang bonus demografi bisa dilakukan dengan menjaga TFR tetap tinggi. Semula puncak atau jendela peluang bonus demografi Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020-2030. Namun, karena TFR selama lebih satu dekade bertahan di 2,6, puncak bonus diperkirakan mundur pada 2020-2040.

Panjangnya puncak bonus demografi belum tentu menguntungkan karena investasi pemerintah untuk penduduk usia muda akan tetap besar. Itu membuat investasi untuk penduduk usia produktif dan lansia sulit bertambah signifikan. Konsekuensinya, upaya mendorong angkatan kerja dan lansia produktif di masa depan sulit dilakukan hingga bonus demografi bisa berubah jadi bencana demografi.

Berbasis wilayah

Meski secara nasional TFR masih tinggi, TFR di tujuh provinsi pada 2015 sudah di bawah 2,1 yaitu DI Yogyakarta (1,74), Jawa Timur (1,79), DKI Jakarta (1,89), Bali (1,92), Jawa Tengah (2,06), serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (2,09).

Agus menambahkan, belum waktunya bagi Indonesia melonggarkan kebijakan kebijakan pengendalian penduduk dengan program dua anak cukup. Meski TFR turun, kekhawatiran Indonesia akan seperti negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang kekurangan angkatan kerja dinilai berlebihan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal. Meski kebutuhan membesarkan anak makin mahal seperti di negara maju, dukungan keluarga besar (extended family) akan membuat keinginan keluarga Indonesia punya anak tetap tinggi. Bahkan, di sebagian komunitas, tetangga juga bisa diperbantukan guna menjaga dan merawat anak. “Di negara maju, beban itu hanya ditanggung keluarga inti,” katanya.

Sekretaris Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan, Dwini Handayani menambahkan, meski TFR di sejumlah provinsi sudah di bawah 2, bukan berarti kebijakan pengendalian penduduk pun bisa dilonggarkan. “KB harus dimaknai bukan sekedar pengendalian penduduk, apalagi penggunaan alat kontrasepsi, melainkan menciptakan penduduk berkualitas,” katanya.

Untuk membuat penduduk berkualitas, tantangan yang dihadapi pemerintah masih sangat berat. Berbagai infrastruktur dasar di sektor pendidikan, kesehatan, papan, hingga sanitasi masih jadi persoalan besar di banyak daerah. (MZW/NAD).

*Harian Kompas (31/7) | Foto. Pelayanan KB/DP3AKB Kab. Bojonegoro

REDESAIN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: Pemerintah Jangan Melonggarkan Upaya Pengendalian Jumlah Penduduk

Yogyakarta, PSKK UGM – Menanggapi berita the Jakarta Post, Rabu (12/7/2017) tentang keinginan pemerintah untuk mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi demi peningkatan produktivitas penduduk, tim peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang terdiri atas Dr. Sukamdi, M.Sc., Dr. Agus Hadna, M.Si., dan Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si. atas nama lembaga memberikan pendapatnya sebagai berikut:

  1. Program Keluarga Berencana (KB) seringkali hanya dikaitan dengan isu pengendalian jumlah atau kuantitas penduduk. Padahal, konsep ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian yang seringkali mengedepankan isu HAM dan demokrasi. Pada kondisi demikian program KB seharusnya dimaknai dalam konteks upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk yang berbasis pada hak (right-based approach) serta bersifat sukarela (voluntary).
  2. Cakupan KB sebetulnya jauh lebih kompleks dan luas dari sekedar pengendalian pertumbuhan penduduk. KB memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai indikator kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Sebagai contoh, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, yakni 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran (Survei Penduduk Antar Sensus, 2015) sebagian besar disebabkan faktor perdarahan akibat usia ibu yang masih terlalu tua, terlalu tua, jarak kehamilan yang terlalu rapat, atau karena terlalu banyak anak. Di sinilah kemudian arti pentingnya program KB. Atas dasar ini PSKK UGM menekankan bahwa pemahaman tentang konsep keluarga berencana bukan hanya soal kuantitas penduduk, tetapi isu kualitas penduduk harus dijadikan dasar bagi pemerintah untuk menyusunan kebijakan kependudukan di Indonesia.
  3. Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa saat ini angka fertilitas kita sudah terlalu rendah sehingga membutuhkan redesain program KB dengan menambah jumlah anak. Ada kekhawatiran sementara pihak bahwa program KB yang sudah berlangsung sejak akhir 1970-an dinilai sudah tidak lagi tepat karena menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk usia produktif di saat negara justru memerlukannya guna mencapai bonus demografi secara maksimal. Muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan seperti Jepang dengan jumlah penduduk lansia sangat tinggi, sedangkan jumlah penduduk usia produktifnya rendah.
  4. PSKK UGM tidak sejalan dengan pendapat itu. PSKK UGM menilai bahwa secara alamiah sebetulnya jumlah penduduk lansia memang akan meningkat, mengingat semakin baiknya tingkat kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Ada peningkatan angka harapan hidup. Namun begitu, angka kelahiran harus tetap dikendalikan agar jumlahnya tidak meningkat lebih tinggi lagi. Melonggarkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk hanya akan menjauhkan Indonesia dari kesempatan untuk dapat menikmati bonus demografi lebih lama.
  5. Pemerintah sebetulnya dapat melakukan diversifikasi kebijakan (assymetric policy) kependudukan yang sesuai dengan kondisi di masing-masing wilayah. Tidak lagi dengan menerapkan kebijakan tunggal yang berlaku sama mulai dari pusat hingga daerah seperti saat ini. Kondisi TFR Indonesia dapat dibagi ke empat kelompok, yaitu provinsi dengan TFR sangat rendah, provinsi dengan TFR rendah di bawah 2,1, provinsi dengan TFR sudah 2,1 serta provinsi dengan TFR masih tinggi. Data Bank Dunia menunjukkan, angka kelahiran total Indonesia (TFR) pada 2014 adalah 2,46, sedangkan target untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang adalah TFR 2,1 pada 2025. Angka kelahiran ini diprediksi akan terus mengalami penurunan dan masing-masing provinsi akan sangat bervariasi kondisinya. Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, pada 2035 diproyeksikan masih memiliki angka kelahiran paling tinggi (3,1) diikuti oleh Maluku (2,8) dan Sulawesi Barat (2,7), sedangkan terendah akan terjadi di DKI Jakarta (1,6) dan DI Yogyakarta (1,7). Dengan demikian, jika kita mau mengatur angka kelahiran dalam rangka menurunkan TFR, maka konsentrasilah pada provinsi-provinsi dengan TFR masih tinggi, sedangkan provinsi yang sudah mempunyai TFR rendah, kebijakan yang diterapkan di sana tentu harus berbeda. Bukan dengan melonggarkan program KB, melainkan dengan program peningkatan kualitas penduduk.
  6. TFR perlu dipertahankan di angka 2,1. Jika dilonggarkan, bisa jadi proyeksi bahwa Indonesia akan tampil sebagai salah satu negara maju seperti yang pernah diprediksi oleh beberapa lembaga internasional tidak akan pernah terjadi akibat beban jumlah penduduk serta ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas penduduk. Negara bisa mempertahankan TFR 2,1 dengan harapan bonus demograsi bisa diperpanjang karena dalam proyeksi PSKK di satu sisi suplai usia produktif tetap akan terjamin dan di sisi lain tetap akan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk (penduduk tumbuh seimbang).
  7. Kekhawatiran pemerintah akan tren penduduk yang menginginkan sedikit atau tidak menginginkan anak seperti yang terjadi di negara-negara maju sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Kultur Indonesia berbeda karena keluarga di Indonesia berbasis komunal dan bukan individualisme sebagaimana di negara-negara maju dan di Barat. Pada kultur demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa keluarga akan memiliki sedikit anak atau bahkan tidak berniat memiliki anak karena pengasuhan anak dalam keluarga tidak hanya akan ditopang oleh keluarga inti tetapi juga oleh extended family.
  8. Konsistensi TFR pada angka 2,1 bisa tercapai jika strategi pengendalian penduduk selalu ditempatkan dalam konteks membangun keluarga yang berkualitas sesuai konteks daerah masing-masing dengan tujuan memaksimalkan hasil bonus demografi.

Ilustrasi keluarga berencana/getty images

HARI KEPENDUDUKAN DUNIA 2017: Mendorong Keterlibatan Aktif Laki-Laki dalam Program KB

Yogyakarta, PSKK UGM – Program Keluarga Berencana (family planning) bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan. Isu pemberdayaan perempuan di dalam program KB perlu dipahami dengan benar agar tidak terjadi pandangan yang bias gender.

Bagaimanapun, keterlibatan serta kemitraan penuh di antara perempuan dan laki-laki adalah hal yang penting di dalam upaya pengendalian penduduk maupun peningkatan kualitas hidup. Isu ini kemudian menjadi isu utama dalam rangka Hari Kependudukan Dunia yang jatuh pada 11 Juli tahun ini.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada yang juga memiliki perhatian terhadap isu-isu gender dan kesehatan reproduksi, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A. menyampaikan, upaya peningkatkan kapasitas perempuan di dalam mengambil keputusan bagi dirinya, khususnya dalam hal seksualitas dan reproduksi perlu terus didorong. Namun, meningkatkan keterlibatan laki-laki juga perlu dilakukan demi keberhasilan program kependudukan jangka panjang.

“Di dalam praktek rumah tangga, perempuan seringkali tidak punya cukup otoritas di dalam pengambilan keputusan. Contoh yang menonjol misalnya di dalam hubungan seks, pemilihan dan penggunaan alat kontrasepsi hingga keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri kehamilan,” kata Muhadjir.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan masih rendahnya partisipasi laki-laki di dalam penggunaan metode kontrasepsi. Penggunaan metode kontrasepsi oleh laki-laki masih sangat terbatas di antara pasangan suami istri di Indonesia. Di antara laki-laki berstatus kawin usia 15-54 tahun, yang melaporkan pemakaian kontrasepsi kondom hanya 3 persen dan senggama terputus 1 persen. Sementara untuk metode kontrasepsi seperti sterilisasi sangat kecil, hanya kurang dari 1 persen.

Masih berdasarkan sumber data yang sama, jumlah perempuan berstatus kawin usia 15-54 tahun yang menggunakan kontrasepsi adalah sebanyak 62 persen. Sebagian besar dari mereka menggunakan metode kontrasepsi modern (58 persen) seperti suntikan KB (32 persen), pil KB (13,6 persen), IUD (4 persen), susuk KB (3,3 persen), dan sterilisasi perempuan (3,2 persen). Untuk metode suntik KB paling banyak digunakan oleh perempuan di bawah usia 30 tahun. Sementara pada kelompok perempuan dengan usia yang lebih tua (30-44 tahun) selain suntikan, memakai pil dan metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD, implan, dan sterilisasi perempuan.

Seperti pada kelompok laki-laki yang belum menikah, data tentang penggunaan kontrasepsi pada perempuan yang belum menikah juga terbatas. Keterbatasan data tersebut berkelindan pula dengan persoalan akses yang dihadapi oleh kelompok usia subur yang belum menikah. Bukan hanya akses terhadap informasi tentang kesehatan reproduksi yang benar melainkan juga akses terhadap alat kontrasepsinya sendiri.

“Akses dan alat kontrasepsi itu sebetulnya hak siapa? Kalau di Indonesia, hal itu masih menjadi hak pasangan yang terikat dalam hubungan perkawinan. Padahal, kehamilan juga berpotensi terjadi pada mereka yang belum menikah, namun telah aktif secara seksual (premarital),” kata Muhadjir lagi.

Terlepas dari persoalan moral, baik dan buruk, Muhadjir menambahkan, hubungan seksual di luar pernikahan harus diakui ada bahkan angkanya cukup tinggi. Sayangnya, kelompok ini masih berada di luar target program KB. Ada kekhawatiran apabila masuk menjadi target program, pemerintah akan disebut seperti melegalkan perbuatan zina.

“Ketiadaan akses informasi dan pelayanan untuk kontrasepsi mendorong terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Padahal, aborsi kerap terjadi pada kehamilan yang tidak dikehendaki. Aborsi dilarang, akses terhadap kontrasepsi ikut dihilangkan. Ini ambigu,” terang Muhadjir.

Ada beberapa NGO/LSM yang giat melakukan advokasi terhadap persoalan keterbatasan akses informasi dan pelayanan kontrasepsi. Namun, seberapa jauh topangan pemerintah terhadap upaya-upaya tersebut masih jadi pertanyaan. Pemerintah khususnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebetulnya dapat bersinergi dengan NGO/LSM untuk menjangkau mereka yang tidak masuk dalam target program KB.

Tantangan radikalisme

Selain soal akses informasi dan pelayanan kontrasepsi, isu-isu kependudukan juga menghadapi tantangan lainnya, yakni tren radikalisme. Di Indonesia, pandangan agama cukup berpengaruh terhadap terbentuknya pendapat publik untuk isu seperti keluarga berencana.

Muhadjir menegaskan, pemerintah seharusnya dapat lebih pro aktif menangkal keberadaan kelompok serta paham-paham radikalnya. Upaya-upaya deradikalisasi perlu dilakukan untuk mereduksi paham radikal sehingga menjadi moderat kembali dengan kultur tanpa kekerasan yang mengedepankan toleransi serta dialog.

Dalam konteks KB, kelompok-kelompok radikal secara terang-terangan melalui media informasi yang mereka miliki, aktif menganjurkan orang untuk tidak melakukan KB, bahkan mendorong orang untuk memiliki banyak anak. Penggunaan alat kontrasepsi dinilai oleh mereka sebagai hal yang haram.

“Indonesia perlu belajar dari apa yang terjadi di Mesir saat ini dimana kelompok-kelompok ekstrim radikal gencar melancarkan aksi teroris. Mereka itu anti terhadap apa saja. Jika radikalisme semakin kuat, maka semua program pemerintah akan mental. KB hanya salah satunya saja,” tegas Muhadjir lagi. [] Ilustrasi keluarga berencana/the health site

KULIAH UMUM SURYA CHANDRA: BKKBN Berkomitmen Dorong Revolusi Mental Melalui KKBPK

Yogyakarta, PSKK UGM – Kembali, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, dr. Surya Chandra Surapatty, MPH, Ph.D. menyampaikan pentingnya penduduk ditempatkan sebagai titik sentral di dalam pembangunan. Penduduk bukan semata-mata obyek pembangunan, melainkan subyek pembangunan. Ada partisipasi aktif yang dibangun di sana.

“Maka, pembangunan berwawasan kependudukan (PBK) atau people centered development perlu terus didorong. Penduduk mulai dilibatkan dari tahap perencanaan, implementasi, hingga pemantauan dan evaluasi pembangunan,” kata Surya dalam KULIAH UMUM: Politik Kebijakan Kependudukan di Indonesia, Selasa (21/3) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Terkait hal tersebut, BKKBN sebagai salah satu lembaga pemerintah yang mendapat mandat untuk mengelola isu kependudukan di Indonesia, mengusung program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Menurut Surya, program ini berkaitan erat dengan 9 Agenda Prioritas Pembangunan Pemerintah “Nawa Cita”, khususnya agenda prioritas yang kelima, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Menjalankan komitmennya, BKKBN berperan untuk mendorong revolusi mental berbasis keluarga melalui program KKBPK.

Dalam program kependudukan dan keluarga berencana, BKKBN mencermati betul angka fertilitas total (TFR) Indonesia yang masih stagnan di angka 2,6. Setidaknya masih perlu turun 0,5 lagi guna mencapai target TFR 2,1. Dengan target tersebut, kondisi penduduk tumbuh seimbang dimungkinkan untuk bisa tercapai dan pemanfaatan bonus demografi bisa lebih optimal. Program KB kemudian direvitalisasi. Melalui kampanye Generasi Berencana, BKKBN menyasar kaum muda untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya perencanaan jumlah anak bagi keluarga serta dampak negatif dari pernikahan dini, seks pranikah, dan obat-obatan terlarang.

“Hasil yang diharapkan tentu saja kaum muda ini bisa menjadi generasi emas. Generasi yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, pola hidup sehat, aktif dalam kehidupan masyarakat, kompetitif dalam lingkungan pekerjaan, dan menikah secara terencana,” kata Surya.

Meski tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, namun Surya optimis bahwa mentalitas kaum muda harus dibangun dari sekarang agar positif menuju Indonesia yang lebih sejahtera dengan kualitas manusia yang unggul. Dalam konteks KB, mentalitas positif diturunkan dalam sikap yang tegas untuk mengendalikan jumlah anak, minimal pada dirinya sendiri.

Selain isu TFR, BKKBN juga menyoroti soal tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan naiknya AKI yang cukup signifikan, yaitu dari 228 (tahun 2007) menjadi 359 (tahun 2012) per 100.000 kelahiran hidup. Banyak pihak menilai, melonjaknya AKI sebetulnya menunjukkan lemahnya sistem kesehatan ibu dan reproduksi serta kurang efektifnya program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang dijalankan oleh pemerintah.

Untuk itu, BKKBN terus mengkampanyekan program Menghindari 4 T, yakni terlalu muda memiliki anak yang berkaitan erat dengan pendewasaan usia pernikahan, kemudian terlalu banyak memiliki anak (punya anak lebih dari dua), terlalu rapat jarak kelahiran antaranak (kurang dari tiga tahun), dan terlalu tua usia memiliki anak.

Sementara itu, Peneliti Senior PSKK UGM, Prof. Dr. Muhadjir Darwin yang dalam kesempatan tersebut menjadi moderator turut menyampaikan bahwa setiap kebijakan hingga turunannya berupa program-program pemerintah merupakan hasil atau output dari politik. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa proses kebijakan tersebut bisa jadi sangat politis. Oleh karena itu, untuk bisa menyukseskan program KKBPK sebetulnya diperlukan komitmen politik yang kuat.

Di masa Soeharto misalnya, beliau memang dikenal otoriter, namun ada komitmen politik yang kuat untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Angka fertilitas yang begitu tinggi di masa lalu bisa turun secara signifikan. Tidak heran karena program KB di masa itu begitu gencar.

“Pengaruhnya pun bisa kita rasakan dalam waktu sebentar lagi, yaitu bonus demografi. Tinggal bagaimana pemerintah saat ini punya komitmen politik yang kuat atau tidak untuk mengoptimalkan bonus demografi,” kata Muhadjir. [] Media Center PSKK UGM.

Kepala BKKBN: Kualitas SDM Dibangun Lewat Program KB | Humas UGM

Yogyakarta, Humas UGM – Program Keluarga Berencana (KB) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan para ibu dan anak atau menekan pertambahan jumlah penduduk. Namun, program KB ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas penduduk lewat penyiapan keluarga yang sehat dan sejahtera. “KB harus direvitalisasi dan digaungkan kembali. Program ini kita selaraskan dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia yang dicanangkan pemerintah,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, dalam kuliah umum yang bertajuk Politik Kebijakan Kependudukan Indonesia, Selasa (21/3), di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.

Ia menyampaikan Indonesia saat ini menghadapi bonus demografi dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Oleh karena itu, diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan berkarakter. Untuk mendapatkan SDM yang diinginkan tersebut, imbuhnya, peran keluarga sangatlah penting. Pasalnya, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang beperan dalam memenuhi kebutuhan fisik dan mental. Bahkan, dari lingkungan keluarga menjadi tumpuan untuk menumbuhkembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggota keluarga. “Itulah tantangan kita meningkatkan kualitas SDM dan perubahan itu semua ada dalam setiap keluarga,” katanya.

Sementara untuk mengendalikan kuantitas jumlah penduduk, pemerintah tetap gencar mensosialisasikan program kependudukan dan KB, seperti menekan angka kematian ibu dan anak dengan mengampanyekan agar para remaja menikah minimal pada usia 21 tahun, mengatur jarak kelahiran minimal 3 tahun, tidak memiliki anak lebih dari dua dan menghindari kelahiran di atas umur 35 tahun. Yang tidak kalah penting, menurut Surya, pemenuhan gizi makanan anak yang terpenuhi. “Apabila pemenuhan susu dan gizi yang baik maka tumbuh kembang otak anak sejak dari konsepsi sampai anak umur 2 tahun menjadi baik. Ia akan menjadi orang hebat pada 1.000 hari pertama kehidupannya,” katanya.

Selain itu, BKKBN juga memiliki program menyiapkan generasi berencana (GenRe) yang menyasar berbagai kelompok remaja dan anak muda yang belum menikah, mahasiswa, keluarga dan kelompok masyarakat peduli remaja. Hasil yang diharapkan dari program tersebut agar nantinya para anak muda ini mendapatkan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak dan kompetitif, menikah secara terencana, aktif dalam kehidupan masyarakat dan melaksanakan pola hidup sehat sehari-hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)


*Sumber: Humas UGM

BKKBN Bersama PSKK UGM Gelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan

Yogyakarta, PSKK UGM – Selama empat hari, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada menggelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Adapun para pesertanya terdiri dari para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN serta para Ketua Pusat Studi Kependudukan dari seluruh Indonesia.

Rangkaian kegiatan workshop dibuka oleh Kepala BKKBN. Dr. Surya Chandra Surapatty, MPH., Ph.D. Dalam arahannya, Surya menyampaikan tentang rencana program “Kampung KB” yang telah mendapat restu dari Presiden RI, Joko Widodo. Program ini khusus ditujukan bagi wilayah-wilayah yang kumuh, miskin, dan padat penduduknya seperti di kampung-kampung nelayan. Melalui program ini, BKKBN hadir untuk menyampaikan dan menggerakkan KKBPK atau Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga.

Untuk menunjang itu, diperlukanlah data-data mengenai keluarga dan BKKBN telah memulainya. Terhitung akhir Mei 2015, BKKBN telah selesai melakukan Pendataan Keluarga (PK) 2015 di seluruh wilayah Indonesia. Data yang dihasilkan tersebut diharapkan valid dan terpercaya karena akan menjadi basis bagi pengambilan keputusan (evidence based) maupun kebijakan yang pro rakyat. Terlebih lagi untuk bisa memberi solusi guna mencapai peluang bonus demografi yang diidam-idamkan oleh Indonesia.

“Pendataan Keluarga ini sejalan dengan salah satu tugas BKKBN untuk mengembangkan sistem informasi keluarga. Tidak berhenti di tahun ini saja, kita akan menugaskan lagi para petugas KB, penyuluh KB untuk melakukan pemutakhiran data kependudukan. Data ini bisa menjadi pembanding data-data lain yang dikeluarkan oleh BPS,” kata Surya, Rabu (7/10) malam lalu.

Selain tantangan bonus demografi, Indonesia juga menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diberlakukan mulai 2016. Surya mengingatkan, bukan hanya barang dan jasa yang bisa keluar serta masuk ke Indonesia, namun juga tenaga kerja.

Setidaknya ada delapan sektor pekerjaan yang telah disepakati dalam penerapan MEA 2015, yakni engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Para tenaga kerja professional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa bebas masuk dan bekerja di negara-negara anggota ASEAN lainnya.

“Para bidan, dokter maupun perawat dari Bangladesh, Filipina, maupun negara-negara ASEAN lainnya bisa bekerja di sini. Dunia kerja akan semakin kompetitif dan sebetulnya kita patut khawatir karena rata-rata lama sekolah di Indonesia dilaporkan hanya 7,5 tahun. Artinya, sebagian besar hanya tamatan sekolah dasar,” kata Surya lagi.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada 2013 lalu yang menunjukkan, angkatan kerja Indonesia memang sebagian besar berpendidikan rendah. Ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Sebanyak 33 juta lebih merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), kemudian 22 juta berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sekitar 19 juta berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menyampaikan, masalah kependudukan merupakan hal yang penting sehingga harus ditempatkan kembali sebagai “arus utama” pembangunan. Untuk itulah rangkaian workshop ini dilakukan.

Beberapa sesi workshop, antara lain penjelasan tentang Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK), latihan analisis hasil Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK), konsep analisis kebijakan, latihan merumuskan masalah kebijakan kependudukan, teknik pengembangan alternatif dan kriteria kebijakan kependudukan, penyusunan rekomendasi kebijakan kependudukan, sampai policy dialog tentang kebijakan kependudukan. [] Media Center PSKK UGM | Photo. dok PSKK UGM

Pers Rilis: Seminar Nasional MDGs 2015 PSKK UGM

Yogyakarta, PSKK UGM – Selasa, 18 Juni 2013, pukul 08.00 WIB, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengadakan Seminar Nasional “Pergeseran dari MDGs ke SDGs: Tantangan dan Masalah yang Dihadapi”. Seminar yang berlangsung di Ballroom, Hotel Royal Ambarrukmo ini dihadiri oleh lebih kurang 250 peserta yang berasal dari berbagai instansi pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, LSM/NGO, serta institusi pendidikan.

“Seminar ini diselenggarakan juga sebagai puncak acara untuk menyambut lima windu PSKK UGM yang jatuh pada 1 April 2013 lalu. Menginjak usia 40 tahun ini, PSKK UGM sepakat untuk mengejar mimpi atau visi, “Menjadi Sumber Referensi Kebijakan Kependudukan Pada Tingkat Nasional”, ujar Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala PSKK UGM saat menyampaikan pidato sambutannya.

Menurut Hadna, isu MDGs menjadi sangat relevan untuk menjadi topik diskusi dalam kesempatan seminar kali ini. Pertama, mandat MDGs bagi negara-negara di dunia untuk mencapai delapan tujuan hampir berakhir, yakni pada 2015 yang akan datang. Beberapa target sudah ada yang bisa dicapai namun ada pula yang pesimis bahwa target-target tersebut bisa dicapai pada 2015 khususnya oleh negara-negara berkembang.

“Indonesia sendiri masih memiliki raport merah, antara lain masih tingginya angka kematian ibu, yakni 108 dari 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Kemudian penyebaran HIV/AIDS, dan malaria yang belum terbendung, serta persoalan lingkungan hidup yang berkaitan dengan efek rumah kaca,” ujar Hadna lagi.

Kedua, dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya telah mendorong munculnya isu-isu baru yang seharusnya direspon oleh semua bangsa di dunia karena dampaknya bersifat global. Sayangnya, isu-isu seperti human right, human trafficking, illegal logging, energy, kedaulatan pangan, isu pemerataan dan keadilan antar kelompok, lansia, dan sebagainya, belum direspon oleh MDGs. Isu baru inilah yang akan menjadi tantangan berikutnya dari MDGs. Oleh karena itu, sangat penting dalam seminar ini untuk memperbincangkan konsep pasca MDGs.

Ketiga, tugas mewujudkan MDGs merupakan tugas bersama dari semua komponen bangsa dan negara. Ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Kerjasama di antara semua komponen baik pemerintah maupun non pemerintah, khususnya sektor privat dan civil society akan menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan pembangunan.

Seminar yang didukung sepenuhnya oleh BKKBN DIY, Koalisi Kependudukan DIY, dan IPADI DIY ini dibagi ke dalam tiga sesi diskusi. Sesi pertama membahas tentang berbagai program pemerintah, dan capaian yang telah dicapai semenjak MDGs ditetapkan. Sesi kedua membahas tentang pengembangan konsep dan kerangka kerja dari SDGs sebagai sebuah kemungkinan pengembangan lanjut tujuan pembangunan pasca MDGs 2013. Sementara pada sesi ketiga, pembahasan tentang bagaimana berbagai komponen non pemerintah harus berperan dalam SDGs sehingga terwujud tanggung jawab bersama.

1371544534_foto-3-sesi-1-seminar_dr-tubagus-staf-ahli-menkokesra-saat-menyampaikan-materi

Pada sesi pertama, hadir para pembicara, antara lain Drs. Tavip Agus Rayanto, M.Si., Kepala BAPPEDA Provinsi DIY selaku perwakilan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, lalu Dr. dr. Tubagus Rahmat Sentika, Sp.A., Staf Ahli Bidang Pencapaian Tujuan Millenium, KEMENKOKESRA, serta Prof. Dr. Fasli Djalal, PhD, Sp.GK., Kepala BKKBN Nasional. Sesi yang berlangsung selama 1,5 jam ini dimoderatori oleh Dr. Sukamdi, M.Sc., Peneliti Senior PSKK UGM.Tubagus dalam sesi diskusi ini menyampaikan, waktu pencapaian target MDGs sangatlah singkat. Waktunya tinggal 1 tahun, 6 bulan jelang 1 Januari 2015. Padahal, masih ada empat target MDGs yang sulit tercapai, antara lain angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka fertilitas total (FTR), serta air bersih dan sanitasi.

“Delapan tujuan dari MDGs seluruhnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas sosial ekonomi yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup manusia sebagai human capital untuk kesejahteraan. Maka, perlu adanya koordinasi untuk mempercepat target-target yang sulit dicapai melalui pelibatan seluruh pemangku kepentingan, baik dunia usaha, CSR/PKBL, akademisi, tokoh agama, profesional dan akademisi seperti PSKK UGM, dan pemerintah di pusat dan daerah menuju penguatan modal sosial untuk MDGs,” jelas Tubagus.

Sementara itu, masih dalam sesi yang sama, Fasli Djalal juga memaparkan tentang kebijakan KKB (Kependudukan dan Keluarga Berencana) dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs di Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, program KB dinilai stagnan. Hal ini terlihat dari melemahnya komitmen pemerintah pusat, dan daerah, lemahnya struktur kelembagaan dan kualitas SDM pengelolaan program KB, keterpaduan layanan KB dengan sektor lainnya termasuk dengan swasta mengalami penurunan.

1371544959_foto-1-seminar-nasional-mdgs-pskk-ugm

“Selain itu, jumlah dan kualitas petugas lini lapangan mengalami penurunan besar, yakni hampir 50 persen dibandingkan akhir tahun 1990-an. Lalu infrastruktur program keluarga berencana dan keluarga sejahtera yang sebelumnya pernah berkembang, kini tidak terpelihara dengan baik,” jelas Fasli.Pembahasan menyeluruh mengenai masalah dan tantangan realisasi MDGs dalam seminar nasional ini diharapkan akan memberikan peta atau gambaran yang bisa dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan. Referensi ini kemudian untuk mengembangkan strategi praktis mencapai tujuan MDGs dalam waktu yang terbatas. Di saat yang sama, kajian SDGs juga diharapkan dapat memberi gambaran umum tentang berbagai langkah strategis untuk menyiapkan realisasi konsep SDGs di Indonesia.

“Jika ini adalah sebuah paradigma baru tujuan pembangunan yang akan dikenalkan pada dunia, maka sudah seharusnya paradigma ini mampu merespon berbagai perkembangan terbaru dalam tatanan dunia yang mulai berubah dengan cepat. Paradigma ini setidaknya harus memiliki syarat mudah diukur, mampu mencerminkan outcome, memperhitungkan isu keadilan dan pemerataan, dan menjadi tanggung jawab bersama dari semua negara dunia baik negara maju, negara berkembang maupun negara yang masih terbelakang,” ujar Hadna. []

 

——–

Informasi lebih lanjut bisa menghubungi:

Dr. Agus Heruanto Hadna
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
Gedung Masri Singarimbun, Jalan Tevesia, Bulaksumur, Yogyakarta
Hp: 0811253099

Pers Rilis HUT 40 Tahun PSKK UGM

YOGYAKARTA – Rabu (27/3) pukul 08.00 WIB, bertempat di Ruang Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan konferensi pers dalam rangka HUT 40 TAHUN PSKK UGM. Hadir sejumlah rekan-rekan media baik dari media cetak, televisi, radio, maupun online.

Peringatan ini dirancang bukan hanya menjadi ritual tahunan melainkan dapat menjadi titik tolak sebagai upaya PSKK memberikan kontribusi nyata dalam kajian dan penyusunan strategi pencapaian MDGs. Serangkaian kegiatan pun telah dipersiapkan seperti orasi ilmiah tentang MDGs oleh Prof. Nila F. Moeloek selaku Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs, peluncuran beberapa buku hasil penelitian PSKK, seminar nasional bertema “Menggagas MDGs ke SDGs: Peran Politik, Swasta, dan Civil Society” serta berbagai kegiatan lomba dan bakti sosial.

Di awal sambutannya, Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Kepala PSKK UGM menyampaikan profil serta kiprah lembaga. Sebagai sebuah lembaga riset, PSKK terus berupaya menjalankan visi sebagai sumber referensi kebijakan kependudukan di Indonesia. “Kita ketahui, pasca reformasi 1998, isu-isu kependudukan semakin kompleks dan dinamis tapi perhatian pemerintah justru semakin berkurang. Di lain sisi, isu tentang pro natalis atau setuju terhadap tingginya jumlah penduduk juga semakin menguat. Ini tentu tidak benar. Paradigma kami melihat, penting sebenarnya untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia, dan bukan jumlah penduduknya.”

Hadna menambahkan, pada usia ke 40 tahun ini PSKK mengangkat slogan “Riset untuk Edukasi dan Mengabdi”. Slogan ini berlandaskan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, serta pengabdian. Sebagai pusat studi di perguruan tinggi, PSKK memiliki fungsi utama riset. Riset-risetnya lalu diarahkan untuk memperkuat proses pendidikan dan pengabdian masyarakat. Untuk kontribusi bagi edukasi, PSKK memiliki sekolah Magister Studi Kebijakan dan Doktor Studi Kebijakan. Selain itu, lembaga juga memiliki divisi trainning yang kerap mengadakan pelatihan serta seminar.

Untuk bidang pengabdian, PSKK juga melakukan program KKN (kuliah kerja nyata), pendampingan, serta advokasi kebijakan. “Advokasi kebijakan sudah sering kami lakukan, terutama di tingkat pemerintah daerah dan melalui berbagai macam program termasuk corporate social responsibility. Di tingkat nasional, kami juga sering diminta untuk membuat grand desaign tentang kependudukan, dan pembangunan yang lain,” ujar Hadna.

Selain profil lembaga, Hadna juga memaparkan beberapa isu kependudukan di Yogyakarta yang saat ini menjadi perhatian. Yogyakarta tidak hanya menjadi barometer pendidikan tetapi juga barometer kependudukan nasional. Beberapa indikator kependudukan menunjukkan, Yogyakarta selalu lebih rendah dibandingkan dengan level nasional. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan adanya peningkatan angka total kelahiran di Yogyakarta, yakni dari 1,93 menjadi 2,1. Sama halnya dengan tingkat nasional, juga meningkat dari 2,41 menjadi 2,6. Hal ini dinilai sebagai bentuk kegagalan dari program KB (keluarga berencana) dan akan menjadi beban berat bagi pemerintah.

Isu kependudukan lain yang tidak kalah menarik untuk dicermati adalah, meningkatnya jumlah lansia (lanjut usia) di Yogyakarta. Jumlah lansia pada 2010 sebesar 9,5 persen dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Artinya, angka harapan hidup di Yogyakarta termasuk paling tinggi di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah sudah tersedia kebijakan pemerintah yang pro pada lansia? Menurut Hadna, kebijakan untuk pelayanan kepada lansia belum cukup memadai. Kebijakan kependudukan yang ada saat ini lebih memberikan perhatian kepada anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah mulai memikirkan bagaimana respon kebijakan bagi lansia.

“Berikutnya adalah persoalan kemiskinan. Topik ini juga menjadi salah satu perhatian studi lembaga kami. Data nasional menunjukkan angka kemiskinan di Yogyakarta paling tinggi di Jawa. Padahal, seperti banyak orang tahu, Yogyakarta merupakan pusatnya perguruan tinggi di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Yogyakarta pun nomor tiga di tingkat nasional. Selain itu, jumlah penduduknya yang rentan terhadap kemiskinan pun juga cukup banyak,” ujar Hadna.

Tingginya angka kemiskinan di DIY bisa saja terjadi karena ada beberapa indikator yang kurang tepat untuk mengukur. Oleh karena itu, Hadna menambahkan, hingga kini PSKK bersama Badan Pusat Statistik (BPS) masih terus melakukan kajian kasus kemiskinan di DIY yang tergolong unik ini. []