SKPA II KUALITATIF: Butuh Kemampuan Lebih untuk Menggali Informasi

16 September 2013 | admin
Kegiatan, Media, Pelatihan / Lokakarya

Yogyakarta, PSKK UGM – Survei Kualitas Pendidikan Anak atau SKPA kini memasuki tahap kedua atau midline. Pada Maret sebelumnya, survei berkonsentrasi pada pengumpulan data awal dengan mengidentifikasi sasaran dari program BSM atau Bantuan Siswa Miskin. Sementara untuk tahap kedua, survei fokus terhadap monitoring dari distribusi kartu BSM dan KPS (Kartu Perlindungan Sosial). Ada dua metode survei yang dijalankan, yakni kuantitatif dan kualitatif.

“Kualitatif itu berbeda dengan kuantitatif. Di dalam penelitian kualitatif dibutuhkan kemampuan lebih untuk melakukan lobbying, menggali informasi dan data secara lebih mendalam. Jika tidak pandai, informasi yang didapat mungkin akan dangkal,” ujar Dr. Sukamdi, Penanggung Jawab Utama Survei (PI) saat TOT (training for trainers) SKPA II Kualitatif, Kamis (5/9) lalu.

Bertempat di LPP Convention Hotel, Yogyakarta, Pelatihan SKPA II Kualitatif berlangsung selama lima hari, yakni mulai 7 sampai 11 September 2013. Survei melibatkan 20 orang tenaga asisten lapangan. Mereka bertugas melakukan survei dengan mendatangi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Agama, PT. Pos Indonesia, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), sekolah-sekolah dengan jenjang pendidikan SD dan SMP, serta rumah tangga di masing-masing sampel yang telah ditentukan. Adapun metode kualitatif yang digunakan adalah wawancara mendalam atau indepth interview serta diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD).

Sukamdi menambahkan, ada satu hal penting yang perlu diingat dalam proses penelitian, yakni output atau hasil akhir dari pengumpulan data dan informasi. Oleh karena itu, proses apapun yang dilakukan, mestinya harus dalam rangka mencapai tujuan tersebut. “Tidak harus di ruangan ini. Saat di luar ruangan pun kita bisa berdiskusi karena memang pemahaman kita terhadap instrumen serta konteks yang akan diteliti menjadi sangat penting dalam mencapai keberhasilan penelitian ini.”

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Melva Purba, Program Officer Pokja Pengendali Program Bantuan Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengatakan, harapannya survei ini bisa memberi gambaran secara garis besar tentang pokok permasalahan BSM di lapangan. Mulai dari perekapan kartu, pemahaman sekolah tentang manfaat kartu, hingga respon Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Agama terhadap program BSM yang telah lama digulirkan.

BSM merupakan program nasional dengan melakukan pemberian uang tunai langsung kepada anak-anak usia sekolah untuk semua jenjang, yakni mulai SD sampai SMA. Untuk periode 2013 -2014 BSM ditujukan kepada 16,6 juta anak usia sekolah yang berasal dari 15,5 juta rumah tangga penerima KPS. Namun, menurut Melva, selama ini ketepatan sasaran program BSM untuk SD dan SMP ternyata hanya mampu menjangkau rumah tangga miskin dan rentan sebanyak 4 persen. Bahkan, ada ditemui rumah tangga yang seharusnya tidak memperoleh BSM namun ikut merasakan manfaat dari program ini.

“Program BSM sebelumnya berbasis sekolah. Jadi, penentuan siapa saja penerima BSM ditentukan oleh sekolah. Tapi, kebanyakan tidak ada kriteria sehingga subyektivitasnya menjadi sangat besar. Nah, kita mencoba untuk mengubah mekanismenya dari basis sekolah ke basis rumah tangga,” jelas Melva.

Perubahan mekanisme tersebut menggunakan BDT atau basis data terpadu dengan kriteria serta variabel yang lebih jelas. Melva menambahkan, dengan data berbasis rumah tangga, akhirnya bisa ditentukan bahwa anak ini memang termasuk kategori miskin dan rentan atau tidak. [] Media Center PSKK UGM