Yogyakarta, PSKK UGM – Pengukuran Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK) di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menunjukkan, Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada peringkat pertama dengan nilai indeks, 0,61. Menyusul kemudian Bali dengan nilai indeks 0,59 lalu Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Jambi dengan nilai indeks yang sama, yaitu 0,56. Total, ada 17 provinsi yang nilai indeksnya di atas rata-rata nasional (0,50).
Hasil pengukuran indeks ini juga menunjukkan, provinsi-provinsi dengan IPBK tinggi merupakan wilayah-wilayah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau HDI – Human Development Index) yang juga tinggi. Peningkatan pada IPBK akan berpengaruh pula pada peningkatan IPM. DKI Jakarta misalnya, dengan IPBK 0,56 juga memiliki IPM tertinggi pada 2010, yaitu 77,35.
Mengapa bisa demikian? Dalam konsep pembangunan manusia, IPM merupakan indikator untuk mengukur hasil atau output dari pembangunan. IPM memudahkan berbagai pihak dalam menilai keberhasilan pembangunan di masing-masing wilayah. Di waktu yang sama diperlukan pula indikator untuk memantau dan mengevaluasi proses atau jalannya pembangunan. IPBK adalah indikator untuk mengukur proses tersebut.
“Ini merupakan salah satu prinsip yang penting dalam penyusunan IPBK. Sebab, IPBK hanya dapat digunakan apabila memiliki korelasi dengan IPM,” kata Peneliti PSKK UGM, Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. saat menjelaskan tentang proses penyusunan, pengukuran, dan hasil IPBK Tahun 2013 yang dilakukan oleh PSKK UGM, bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Ada lima dimensi dalam pengukuran IPBK. Pertama, dimensi partisipasi, baik partisipasi di bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Dimensi ini berangkat dari salah satu prinsip pembangunan berwawasan kependudukan bahwa penduduk adalah subyek atau pelaku pembangunan.
“Jika penduduk sebagai subyek, pelaku atau penggerak dari pembangunan, maka nilai luhur subyek tadi adalah partisipasi. Indikator penilaian terhadap partisipasi, kepedulian, dan keaktifan penduduk inilah yang perlu untuk diturunkan ke dalam variabel-variabel penyusun IPBK,” kata Joko lagi.
Kedua, dimensi keberlangsungan yang disarikan dari prinsip pembangunan berkelanjutan. Penting untuk memahami bahwa sumber daya dan lingkungan memiliki keterbatasan kapasitas. Oleh karena itu, keberlanjutan mensyaratkan kondisi penduduk yang stabil (stable population). Maka, kebijakan kependudukan pun harus menjadi elemen sentral dari pembangunan ekonomi.
“Akses terhadap ekonomi, kesehatan, pendidikan hingga terjaganya daya dukung lingkungan tidak hanya berlaku untuk hari ini, tetapi juga untuk hari esok. Jadi, anak dan cucu kita berikutnya juga harus mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya tersebut,” jelas Joko.
Ketiga, dimensi pemihakan atau pro rakyat. Apakah negara berpihak terhadap rakyat atau tidak? Variabel yang diukur dalam dimensi ini adalah persentase Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pendidikan dan kesehatan. DIY menempati urutan pertama untuk persentase APBD bagi pendidikan dengan nilai 45,63. Sementara Papua Barat dan Gorontalo di dua urutan akhir dengan nilai masing-masing 11,05 dan 11,02. Untuk persentase APBD kesehatan, DKI Jakarta menempati urutan pertama (20,50) sementara Maluku Utara di urutan terakhir (0,74).
Keempat, dimensi integrasi yang mewakili prinsip bahwa data-data kependudukan adalah dasar utama bagi perencanaan kependudukan dan harus menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan. Kelima, dimensi kesetaraan untuk melihat apakah pembangunan sudah mengusung kesetaraan kepentingan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Salah satu variabel yang dilihat pada dimensi ini, yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan. Untuk variabel ini, Bali menempati urutan pertama dengan nilai 68,71 dan Kalimantan Timur di urutan terakhir dengan nilai 34,55.
Joko kembali mengatakan, angka IPBK nasional (0,5) sebetulnya belumlah maksimal. Suatu indeks dapat disebut bagus apabila nilainya mendekati angka 1. Artinya, pembangunan berwawasan kependudukan di Indonesia juga belum optimal, masih dinilai setengah-setengah.
“Mulai tahun ini Badan Pusat Statistik yang bertugas untuk mencari data-data baru yang diperlukan untuk menghitung IPBK. Rencananya, indikator-indikator di dalamnya akan dilihat setiap dua tahun sekali.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, ada tujuh prinsip dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. Dua di antaranya adalah integrasi kependudukan dalam pembangunan, yaitu 1) kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan dan 2) pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Kemudian disahkanlah Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2014 yang mengharapkan agar setiap kabupaten, kota maupun provinsi membuat GDPBK atau Grand Design Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Ini bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana pembangunan di suatu wilayah telah berwawasan kependudukan. Adapun peraturan perundang-undangan ini tak lain untuk menegaskan bahwa konsep pembangunan berwawasan kependudukan merupakan konsep penting yang perlu dipahami oleh semua pihak. [] Media Center PSKK UGM