Yogyakarta, PSKK UGM – Potensi pelibatan anak untuk bekerja di sektor perkebunan di Temanggung, Jawa Tengah dinilai cukup besar. Data Profil Pendidikan Kabupaten Temanggung 2013-2014 menunjukkan, ada 142.541 penduduk usia 7 sampai 18 tahun yang berpotensi menjadi angkatan kerja. Jumlah ini merupakan 19,43 persen dari total jumlah penduduk Temanggung.
Selain itu, Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Temanggung 2013 juga menunjukkan ada 285.447 anak usia kurang dari 15 tahun yang bekerja dengan berbagai alasan. Jumlah ini tergolong besar dan tersebar cukup merata di semua wilayah kecamatan di Temanggung. Beberapa wilayah yang memiliki lahan perkebunan tembakau yang luas bahkan menunjukkan data pekerja anak yang besar. Di Ngadirejo misalnya, ada 33.778 orang pekerja anak, kemudian di Pringsurat ada 33.393 orang, di Parakan ada 25.711 orang, dan di Kranggan ada 20.100 orang.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Novi Widyaningrum, S.I.P., M.A. mengatakan, data tersebut mencerminkan persebaran dan tingginya anak yang berpotensi untuk terlibat dalam kegiatan di sektor perkebunan tembakau di Temanggung.
Menurut Novi, pelibatan pekerja anak tidak bisa lepas dari tata kelola lahan dan manajemen perkebunan tembakau. Para petani tembakau menggantungkan hidup pada lahan-lahan tembakau, di sisi lain ada keterbatasan tingkat ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan mereka untuk menyewa jasa penggarap lahan. Maka, untuk menekan biaya produksi, anggota keluarga termasuk anak-anak turut dilibatkan dalam menggarap lahan, baik lahan milik pribadi maupun lahan milik orang lain.
“Selain karena tenaga yang bisa dihargai lebih murah, anak-anak terutama yang berusia sekolah dasar juga banyak yang telah putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sehinga menganggur,” kata Novi saat menceritakan Studi Kualitatif Kasus Pekerja Anak Perkebunan di Kabupaten Temanggung yang pernah dilakukannya pada 2014 lalu.
Hasil studi kualitatif tersebut menunjukkan, hampir separuh dari informan yang merupakan pekerja anak di perkebunan tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Penghasilan yang mereka dapat dari kebun tembakau dirasa dapat memenuhi kebutuhan hidup. Bagi mereka, masa depan akan terjamin saat telaten bekerja di kebun tembakau sehingga tak mengherankan bila ada dari mereka yang yakin untuk tidak meneruskan sekolah dan memilih bekerja.
Novi menambahkan, dari 24 informan pekerja anak yang diwawancarai, sepuluh orang di antaranya tidak lagi bersekolah. Dua anak berusia sekolah dasar, enam anak berusia sekolah menengah pertama, dan dua anak berusia sekolah menengah atas. Jika melihat alasannya, 70 persen pekerja anak yang tidak lagi bersekolah tersebut sudah tidak mau lagi memikirkan materi pelajaran sekolah (malas belajar). Sementara 30 persennya karena ketidakmampuan keluarga untuk membiayai.
“Selain rendahnya minat belajar pekerja anak, pemakluman dari orang tua menjadi persoalan tersendiri. Semua informan mengatakan, para orang tua tidak bermasalah bila anak bekerja di kebun tembakau, sebaliknya senang karena bisa ikut menyokong ekonomi keluarga,” kata Novi lagi.
Pemakluman orang tua tersebut dipicu oleh dua hal, yakni faktor ekonomi dan faktor budaya. Faktor ekonomi adalah ketidakmampuan keluarga untuk menyokong kebutuhan pendidikan anaknya, sementara faktor budaya adalah kasus putus sekolah adalah hal yang biasa terjadi di lingkungannya.
Sementara bagi orang tua dari pekerja anak yang tetap bersekolah, pendidikan tidak boleh ditinggalkan oleh anaknya. Hanya saja, pekerja anak ini mengeluh mengantuk dan kurang konsentrasi saat di sekolah, terutama bila di malam sebelumnya masih bekerja. Ada yang tidak mengerjakan tugas karena membantu di masa panen atau membolos karena tidak tidur semalaman. Biasanya karena menunggu proses merajang daun tembakau untuk kemudian digragag—aktivitas mencampur-campur tembakau yang berwarna kuning, hijau, dan atau cokelat—oleh sang anak. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pekerja anak di perkebunan tembakau/wordpress