Perubahan Komposisi Penduduk, Jumlah Remaja DIY Naik Tiga Kali Lipat

14 Juli 2014 | admin
Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Daerah Istimewa Yogyakarta akan memasuki fase pertama dalam bonus demografi. Hal ini ditandai dengan peningkatan penduduk usia produktif. Dr. Sukamdi, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat seminar pengukuhan pengurus IPADI cabang DIY dengan tema “Revitalisasi Peran Keluarga untuk Mengatasi Persoalan Remaja di DIY” mengatakan, meski sudah terlambat, perubahan komposisi penduduk DIY perlu diantisipasi sejak saat ini. DIY hanya memiliki waktu tiga sampai empat tahun persiapan sebelum mencapai windows of opportunity (jendela kesempatan).

“Angka pertumbuhan penduduk DIY sebenarnya termasuk rendah. Posisinya terendah keempat setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat. Namun, ada beberapa persoalan kependudukan yang penting di DIY terutama mengenai perubahan komposisi penduduk menurut umur,” ujar Sukamdi.

Pada 2017, dependency ratio atau angka ketergantungan di DIY diperkirakan akan mencapai 45,017 persen. Artinya, setiap 100 penduduk produktif menanggung 45 penduduk non produktif seperti anak-anak, dan lansia. Di tahun yang sama, jumlah lansia diprediksi akan mencapai 351,6 ribu, dan terus meningkat menjadi 607,8 ribu pada 2035. Jumlah penduduk lanjut usia—berusia di atas 65 tahun—meningkat dua kali lipat selama periode 2010-2035. Sementara itu, jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun pun diprediksi terus meningkat dari 767,7 ribu pada 2010 menjadi 816,3 ribu pada 2017, dan kembali menurun menjadi 810,7 ribu pada 2035.

Perubahan komposisi penduduk menurut umur ini menurut Sukamdi akan membawa implikasi yang lain terutama peningkatan jumlah penduduk usia remaja. Persentase remaja DIY akan mencapai 24,13 persen dengan pertumbuhan tiga kali lipat (3,24 persen) dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk.

Jumlah remaja di DIY meningkat karena dampak dari meningkatnya pula derajat kesehatan penduduk sehingga angka kematian bayi, dan anak pun menurun. Selain itu perubahan jumlah penduduk remaja DIY juga tidak bisa dilepaskan dari migrasi masuk ke DIY.

“Migrasi neto untuk laki-laki maupun perempuan pada usia 15 sampai 19 tahun, dan 20-24 tahun diperkirakan positif tinggi. Tidak heran karena Yogyakarta merupakan salah satu daerah tujuan pendidikan yang favorit bagi remaja di seluruh Indonesia,” jelas Sukamdi lagi.

Jumlah penduduk remaja yang besar sesungguhnya bisa menjadi potensi pembangunan DIY. Akan tetapi hal itu hanya bisa terjadi jika jumlah penduduk usia remaja yang besar didukung oleh kualitas yang memadai. Tidak hanya soal fisik seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi saja, kualitas yang memadai juga menyangkut kualitas non fisik seperti sikap, dan perilaku.

Di lain sisi, tidak bisa dipungkiri, dinamika remaja rentan menuai beragam persoalan. Dalam kesempatan yang sama, Dr. Budi Wahyuni, Ketua Pengurus Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY memaparkan tentang persoalan yang dihadapi remaja khususnya di Yogyakarta. Pada usia remaja biasanya terjadi peningkatan terhadap dorongan seks. Bahkan, tidak sedikit pula para remaja yang berperilaku seks aktif (sexually active).

“Saya berasumsi, persoalan remaja masih didominasi oleh persoalan-persoalan perilaku seksual. Remaja secara seksual adalah aktif, namun situasi ini tidak diimbangi dengan pengetahuan atau informasi seksualitas yang memadai. Banyak orang berpandangan, pendidikan seks itu sama seperti mengajari orang untuk berhubungan seksual. Padahal tidaklah sesempit itu,” jelas Budi.

Kecenderungan aktivitas seksual pranikah lalu menyebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki di kalangan remaja. Persoalan ini seringkali ikut memunculkan persoalan baru, antara lain pernikahan dini, putus sekolah, aborsi, menjadi orang tua di usia belia (teenage parenthood), ibu lajang (single mothers), serta konsekuensi lainnya dalam hal psikologis, maupun sosial-ekonomi.

Budi mengatakan, persoalan remaja itu sebenarnya persoalan orang dewasa yang terjebak pada tubuh anak. Bicara tentang hubungan seks adalah persoalan orang dewasa, bukanlah anak-anak. Cara pandang seringkali membuat kita sulit untuk melakukan intervensi terhadap persoalan remaja.

“Namun, saya tekankan, bekal informasi yang memadai mengenai proses reproduksi yang sehat sangatlah penting bagi remaja. Sudah saatnya isu kesehatan reproduksi jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak dan remaja sehingga bisa terwujud kehidupan yang sehat secara fisik, psikis, dan sosial,” ujar Budi lagi. [] Media Center PSKK UGM