PERS RILIS: Australia Perlu Ambil Kebijakan yang Adil

21 Februari 2014 | admin
Berita PSKK, Kegiatan, Media, Seminar, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Hubungan antara Indonesia dan Australia kembali memanas. November lalu, kasus penyadapan terhadap sejumlah nomor ponsel pejabat publik di Indonesia terjadi. Belakangan, aktivitas penyadapan oleh intelijen Australia kembali dilakukan. Kali ini, penyadapan dilakukan terhadap Mayer Brown, sebuah firma hukum Amerika Serikat yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk menangani dua gugatan Amerika Serikat, yakni tentang impor udang dan pelarangan penjualan rokok.

Kasus penyadapan membuat geram Pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa bahkan sampai mengeluarkan pernyataan, Australia harus tegas mengambil sikap, apakah menganggap Indonesia sebagai sahabat atau musuh. Hingga kini, belum ada itikad baik dari Australia untuk dapat duduk bersama serta mengakui kegiatan intelijen yang dilakukannya.

Selain kasus penyadapan, isu imigran gelap yang mencari suaka pun tak kunjung selesai. Sejak Desember 2013, Angkatan Laut Australia dikabarkan telah enam kali melanggar teritorial dengan memasuki wilayah perairan Indonesia. Ini dilakukan untuk menghalau pencari suaka agar tidak masuk ke wilayah Australia. Bahkan, sekoci penyelamat sengaja disediakan untuk menampung dan melepaskan pencari suaka kembali ke Indonesia.

Terkait isu tersebut, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menyelenggarakan seminar bulanan bertema “Australian Refugee Policy and the Indonesia/Australia Relationship”. Seminar berlangsung pada Kamis, 20 Februari 2014 di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur. Hadir Associate Professor Alexander Reilly, Ph.D., Pakar Hukum Migrasi dan Pengungsi, Universitas Adelaide, Australia sebagai pembicara.

Reilly mengatakan, Australia selalu menjadi daerah tujuan bagi pengungi dan pencari suaka. Sejak Perang Dunia II, lebih dari 700 ribu pengungsi telah ditampung di Australia. Melalui kebijakan humanitarian visas, rata-rata 13.500 pengungsi telah memasuki Australia setiap tahun. Jika melihat data Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia (DIMIA), jumlah pencari suaka dengan menggunakan kapal naik sangat signifikan.

“Jumlah pencari suaka dengan menggunakan kapal tidak banyak pada periode 2002-2003. Namun, mulai periode 2008-2009 jumlahnya semakin banyak. Hingga akhir Mei 2013, tidak ada kedatangan menggunakan jalur udara. Semuanya menggunakan kapal menuju Australia. Jumlahnya tinggi, mencapai lebih dari 22 ribu,” ujar Reilly.

Membludaknya jumlah pencari suaka menjadi persoalan berat bagi Australia. Sejak 2001 sudah lebih dari 1.500 pencari suaka yang meninggal, dan masih banyak lagi yang tinggal di penampungan dalam masa yang panjang dan tanpa batas waktu, termasuk anak-anak. Perdana Menteri Australia, Tonny Abbot akhirnya mengambil kebijakan yang tidak populer. Stop the boats, semua kapal dihentikan dan didorong kembali ke wilayah perairan Indonesia.

Reilly menambahkan, logika kebijakan yang diterapkan oleh Australia adalah jika berhasil menghentikan kapal dengan penolakan yang tegas, maka kasus penyelundupan manusia dan pencari suaka tidak akan terjadi lagi. Saat ini, kebijakan yang diambil memang memicu ketegangan di antara kedua negara tetapi tidak untuk ke depannya.

Namun, apakah benar demikian? Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Peneliti Senior PSKK UGM mengatakan, Indonesia seperti mendapat “getah” dari kebijakan Australia. Jika ditampung, Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menerima imigran gelap seperti pencari suaka tersebut. Jikapun dikembalikan ke negara asal, tentu membutuhkan biaya. Siapa yang akan menanggung biaya tersebut?

“Saya menyoroti soal fairness policy ya. Kebijakan yang diambil Australia itu tidak adil bagi Indonesia. Australia sepertinya hanya mengatasi masalahnya sendiri tetapi membiarkan masalah itu terjadi di negara lain. Itu jelas tidak adil. Apalagi, Australia sama sekali tidak memberi solusi ketika Indonesia menghadapi masalah saat pencari suaka itu didorong balik ke sini,” ujar Muhadjir.

Australia harus mengambil langkah diplomatik. Perlu ada kesepakatan bersama yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh Australia. “Kebijakan yang diambil justru yang konfrontatif, ditambah lagi melakukan spionase, melewati batas teritori, dan lain sebagainya. Itu kan jelas sudah mengganggu dan melanggar kedaulatan negara tetangga. Ini jelas tidak bisa diterima,” tambah Muhadjir.

Muhadjir menegaskan lagi, Australia haruslebih terbuka dalam menyelesaikan masalahnya. Buka dialog yang sejajar dengan Indonesia untuk menemukan solusi yang adil. Selain itu, karena ini merupakan masalah migrasi internasional, sudah saatnya PBB juga turun tangan dalam penyelesaian masalah ini. [] Media Center PSKK UGM