Pemuda Sendirian Hadapi Globalisasi | KOMPAS

31 Oktober 2017 | admin
Arsip Media, Berita PSKK, Main Slide, Media

Investasi Pembangunan Pemuda Tidak Efektif

JAKARTA, KOMPAS – Lemahnya peran pemerintah membuat pemuda Indonesia harus sendirian menghadapi globalisasi. Sebagian berhasil, tetapi jauh lebih besar jumlah anak muda yang gagal dan berusaha sendiri untuk tetap bertahan hidup.

“Pembangunan pemuda yang tak efektif dan tidak tepat memicu banyak masalah sosial dan politik,” kata Kepala Lembaga Demografi, Universitas Indonesia, Turro Selrits Wongkaren di Jakarta, Minggu (29/10).

Sesuai definisi pemuda dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia kini memiliki 44 juta pemuda berusia 15-24 tahun. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, ada 64 juta pemuda berusia 16-30 tahun.

Pemuda Indonesia kini memiliki tingkat pendidikan dan mutu kesehatan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Mayoritas pemuda tinggal di perkotaan. Namun, dari total 7 juta penganggur pada 2017, sebanyak 4 juta orang ialah pemuda 15-24 tahun.

Dengan aspirasi mereka yang besar, banyaknya penganggur berlatar pendidikan dan kesehatan baik rentang memicu banyak persoalan sosial politik. menguatnya intoleransi, berita bohong atau hoaks, hingga kegaduhan sosial politik bisa dipicu mereka.

“Pemerintah berinvestasi untuk membangun pemuda yang lebih baik. Namun, itu tidak efektif dan efisien,” ucap Turro.

Selain tujuan pembangunan kepemudaan tak jelas, pembangunan pemuda tersebar di berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Namun, itu berjalan tanpa koordinasi sehingga soal yang dihadapi pemuda dari tahun ke tahun selalu sama.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi menilai, akses pemuda Indonesia untuk mengembangkan diri terbatas. Pola pendidikan yang menekankan aspek kognitif (pengetahuan) membuat banyak pemuda tak punya kecakapan sosial memadai untuk bersaing dengan pemuda dari negara lain.

Di sisi lain, banyak anak muda berprestasi, punya kompetensi, dan kreatif kurang dihargai. Akibatnya, banyak anak pintar memilih berkarya di luar negeri. “Pemerintah perlu campur tangan agar potensi mereka bermanfaat bagi bangsa,” kata Sukamdi.

Namun, itu hanya kondisi kelompok anak muda yang punya bekal lebih baik. Ada jauh lebih banyak anak muda bertahan seadanya di tengah globalisasi. Banyak pemuda tak bisa melanjutkan pendidikan menengah ke atas.

Pendidikan berkelanjutan

Hal itu diperparah terbatasnya pendidikan berkelanjutan bagi mereka yang tanpa pendidikan formal memadai. Akibatnya, mereka yang tinggal di kota harus mengisi pasar kerja informal bergaji rendah dan minim perlindungan sosial atau bekerja sesuai pekerjaan orangtuanya bagi yang tinggal di desa.

Tewasnya sejumlah anak muda pada kebakaran dan meledaknya pabrik mercon di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis, menjadi contoh kecil banyak anak muda terpaksa bekerja dengan risiko besar dan sulit mengakses kehidupan lebih baik.

Jika ada anak muda berhasil melanjutkan ke pendidikan tinggi, terbatasnya kesempatan kerja dan rendahnya kaitan pendidikan dan kebutuhan pasar kerja membuat mereka jadi penganggur terdidik. “Jika pemerintah ingin kian banyak anak muda jadi wirausaha, pola pendidikan harus diubah,” kata Sukamdi.

Turro mengingatkan, jika pemerintah pusat dan daerah tidak segera membenahi paradigma pembangunan pemuda, bonus demografi bisa terancam. Keinginan melompat menjadi negara maju dengan ekonomi kuat bisa jadi hanya mimpi karena Indonesia terjebak dalam negara berpendapatan menengah.

Selain perbaikan mutu pendidikan formal dan nonformal, Sukamdi menilai perlu penguatan fungsi keluarga. Hanya dari keluarga tangguh bisa muncul pemuda kuat dan berkarakter.

Namun, keluarga Indonesia kian pragmatis mengejar kepentingan ekonomi sehingga abai pada pewarisan nilai dan budaya. “Penguatan keluarga hanya bisa dilakukan jika pemerintah mendukungnya lewat berbagai kebijakan,” ujarnya. (MZW)

*Sumber: Harian Kompas, Senin 30 Oktober 2017 | Foto: Peringatan Hari Sumpah Pemuda di halaman Istana Merdeka, Jakarta (28/10)/setkab.go.id