JAKARTA, KOMPAS — Kedaulatan pangan sebenarnya bukan hal yang sulit untuk diwujudkan di Indonesia yang memiliki tanah subur dan sumber daya pangan melimpah. Kebijakan yang berpihak ke sektor pangan menjadi syarat terwujudnya hal itu.
”Sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk mengimpor pangan,” kata Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto saat berkampanye di Gedung Serba Guna, Jember, Jawa Timur, Kamis (20/3).
Para pendiri bangsa Indonesia telah mewariskan kemerdekaan dan pesan supaya membangun negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ”Selama 69 tahun kita merdeka, belum sepenuhnya mewujudkan cita-cita itu, apalagi tentang kedaulatan pangan,” tutur Wiranto.
Ketua Bidang Kehutanan dan Perkebunan DPP PDI-P M Prakosa menuturkan, kebijakan liberalisasi sektor pertanian yang antara lain dengan membuka keran impor produk pangan telah menekan produktivitas pertanian. Padahal, untuk membangun kedaulatan pangan, produktivitas sektor pertanian harus ditingkatkan. Produktivitas sektor pertanian dapat meningkat jika kepentingan petani terlindungi.
”Jika berkuasa, PDI-P akan mengoreksi kebijakan liberalisasi sektor pertanian,” kata Prakosa.
Ketua Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman menegaskan, partainya akan mendorong agar anggaran berpihak pada sektor pangan. Menurut perhitungan Kementerian Pertanian, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 100 triliun untuk membantu produksi pangan dalam negeri. Anggaran produksi pangan pada saat ini baru sekitar Rp 20 triliun. ”Ini yang jadi kendala. Karena itu, PKS akan terus berjuang agar politik anggaran berpihak untuk produksi pangan,” ujar dia.
Sementara itu Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie menyatakan, kedaulatan pangan seharusnya menjadi cita-cita bangsa, bukan sekadar cita-cita partai. Namun, mewujudkan kedaulatan pangan yang pencapaiannya berupa sikap mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat tidak semudah membalikkan tangan.
Salah satu tantangan dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah pembangunan yang tidak berkelanjutan. Setiap berganti pemerintahan, pembangunan harus selalu dimulai dari nol. Pemerintahan baru kerap enggan melaksanakan rencana-rencana yang sudah baik yang dibentuk oleh pemerintahan sebelumnya. Seolah-olah semua yang dihasilkan pemerintah sebelumnya dianggap buruk dan penuh kolusi. Tidak ada sinergi dan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Kepentingan sepihak
Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yasin Ardhy mengatakan, PBB memandang kedaulatan dan ketahanan pangan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki Indonesia. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, sebenarnya tidak sulit karena Indonesia adalah negeri subur dengan sumber daya pangan melimpah.
Menurut Yasin, penyebab Indonesia menjadi negara pengimpor pangan adalah adanya kepentingan-kepentingan sepihak dari para pejabat di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, tidak ada aturan yang terpadu yang mendukung ketahanan pangan.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpendapat, penyempitan lahan pangan menjadi salah satu masalah serius dalam membangun kedaulatan pangan. Selama ini lahan pangan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Penyempitan ini akibat pertumbuhan penduduk dan industri yang berpusat di Jawa dan Sumatera.
Kedaulatan pangan ini juga terkait erat dengan pemerataan pembangunan.
”Indonesia sebenarnya mampu memproduksi kedelai, beras, bawang merah, gula dengan baik apabila memang ada niat politik. Tanpa niat politik, Indonesia akan terus mengimpor,” tutur Ketua Bidang Ekonomi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Jimmy E Jambak.
Jimmy menyatakan, PKPI akan memperjuangkan subsidi hasil pertanian, seperti beras, bawang merah, gula, dan kacang kedelai. ”Harga jual dari petani akan disubsidi sehingga rakyat konsumen tidak harus membeli dengan harga tinggi, tetapi petani tidak harus menjualnya dengan harga rendah,” katanya.
PKPI juga akan menunjang ekspor dan mendorong penggunaan teknologi pengawetan modern. ”Menjaga tahan lamanya hasil pertanian dapat membuat produk tersebut bermanfaat untuk pasar luar negeri dan tahan lama di pasar dalam negeri,” kata Jimmy. [] (A08/FAJ/A05/ONG/SIR/FER/NTA/OSA/JON/FAJ)
*Sumber: Harian KOMPAS, Jumat 21 Maret 2014 | Sumber foto: ROL