Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah memiliki banyak program guna mengentaskan kemiskinan, namun belum cukup berhasil mendorong rumah tangga miskin untuk lebih sejahtera. Kurang efektifnya program bisa jadi juga karena kurangnya pengetahuan pemerintah tentang perilaku konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Program-program pengentasan kemiskinan memang memberikan dampak positif, namun seberapa positif dampak tersebut juga masih dapat diperdebatkan. Adanya gap atau celah pengetahuan tentang perilaku konsumsi rumah tangga menjadikan desain kebijakan yang ada tidak mampu menyentuh langsung pokok-pokok permasalahan.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Evita Hanie Pangaribowo, MIDEC, Staf Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada saat Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM “Permintaan Pangan Rumah Tangga Indonesia dan Implikasi Kebijakannya”, Kamis (29/10). Bertempat di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Evita memaparkan hasil penelitiannya yang berangkat dari kajian empiris data Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) Tahun 1997, 2000, dan 2007.
Pola perilaku konsumsi rumah tangga adalah indikator yang paling diandalkan dari pembangunan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara. Agar dapat memahami perilaku konsumsi rumah tangga, khususnya yang paling miskin, ada aspek penting yang perlu dilihat, yakni respon mereka terhadap perubahan harga dan perubahan pendapatan.
Berdasarkan data Sakerti, pengeluaran konsumsi rumah tangga paling miskin untuk makanan pokok seperti beras adalah yang paling besar. Sementara pengeluaran pangan terbesar kedua adalah untuk kategori daging, ikan atau sumber protein hewani lainnya. Untuk produk seperti susu yang umumnya memiliki kandungan nutrisi lebih baik, rumah tangga paling miskin cenderung tidak dapat membelinya karena harga yang tidak terjangkau.
Evita mengatakan, saat pendapatan naik, rumah tangga cenderung meragamkan pilihan pangannya sekaligus meningkatkan konsumsi makanan yang lebih bernutrisi. Hal sama ternyata juga dilakukan oleh rumah tangga paling miskin. Saat pendapatannya bertambah, proporsi konsumsi untuk produk susu dan olahannya juga bertambah.
“Artinya, sebenarnya ada keinginan untuk mengonsumsi kebutuhan pangan yang lebih baik nutrisinya, tidak hanya bergantung pada makanan pokok atau staple food seperti beras,” kata Evita.
Namun menariknya lagi, perubahan pendapatan juga berpengaruh terhadap proporsi konsumsi rumah tangga paling miskin untuk adult goods seperti rokok dan alkohol. Ini perlu dilihat bersama karena potensi rumah tangga paling miskin untuk mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi adult goods juga tinggi.
“Rumah tangga paling miskin turut mengalokasikan tambahan pendapatannya untuk barang-barang yang tidak meningkatkan human capital mereka, tidak melakukan human capital investment. Padahal, mengkonsumsi makanan bergizi adalah salah satu bagian dari investasi kesehatan,” kata Evita lagi.
Sementara jika terjadi perubahan harga, rumah tangga paling miskin hanya responsif untuk beberapa komoditas tertentu seperti produk daging dan ikan, produk susu dan olahannya, serta alkohol dan rokok. Studi ini menemukan apabila ada kenaikan harga terhadap produk daging dan ikan sebesar 10 persen, maka akan meningkatkan konsumsi makanan pokok sebesar 2,3 persen. Hal ini menunjukkan, rumah tangga miskin cenderung akan memotong biaya pengeluaran untuk konsumsi pangan bernutrisi seperti sayuran hijau, daging, ikan dan kemudian beralih ke sumber kalori yang lebih murah seperti beras.
Evita kembali menegaskan, memahami perilaku konsumsi rumah tangga miskin dan seberapa jauh respon mereka terhadap perubahan harga dan pendapatan sangatlah penting. Perilaku konsumsi akan mempengaruhi efektivitas program subsidi pangan pemerintah. Oleh karena itu, perilaku konsumsi harus ikut diperhitungkan saat program-program tersebut dirancang guna menghindari dampak yang tidak diinginkan atau merugikan.
Selain itu, untuk memaksimalkan sosialisasi tentang manfaat nutrisi, intervensi seperti pendidikan gizi juga perlu dipertimbangkan. “Misalnya, saat penyaluran bantuan raskin, ada pendamping yang memberikan informasi tentang pentingnya mengkonsumsi makanan sehat agar rumah tangga miskin juga memiliki informasi yang cukup baik tentang pentingnya gizi pangan,” jelas Evita. [] Media Center PSKK UGM.