YOGYAKARTA, PSKK UGM – Senin (1/4) pukul 08.00 WIB, Prof. Nila F. Moeloek, dr.SpM (K), Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs hadir menyampaikan orasi ilmiahnya. Tema yang diangkat, “Hambatan dan Tantangan dalam Pencapaian MDGs di Indonesia”. Bertempat di Ruang Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, acara merupakan bagian dari serangkaian kegiatan HUT 40 Tahun PSKK UGM.
“PSKK UGM berdiri sejak 1 April 1973, dan merupakan pusat studi paling tua memang di UGM. Hingga kini, kami telah banyak bekerja sama dan bermitra dengan pemerintah pusat, kementerian serta lembaga-lembaga baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tema orasi ilmiah kali ini adalah soal MDGs. Jadi kita ingin mengetahui apa kebijakan pemerintah serta capaiannya, kemudian apa tantangan serta hambatannya selama kita mengimplementasikan MDGs,” ujar Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Kepala PSKK UGM.
Dalam pembukaan rangkaian kegiatan Indonesia Millenium Development Goals (MDGs) Awards, beberapa waktu lalu di Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tiga pilihan tentang agenda pembangunan untuk melanjutkan MDGs yang berakhir pada 2015. Pertama, tetap mempertahankan sekaligus mempertajam indikator-indikator dari kedelapan sasaran MDGs. Kedua, menambah target atau sasaran MDGs, dan ketiga adalah merombak secara keseluruhan sasaran dalam MDGs.
Hadna menambahkan, ada wacana mengenai Sustainable Development Goals (SDGs), yakni sasaran pembangunan berkelanjutan yang mulai dibicarakan. Ini tentu akan menjadi tantangan besar bagi semua pihak pasca MDGs. “Kami dari PSKK UGM juga berkomitmen bahwa MDGs harus kita capai. Hanya saja, ada beberapa catatan besar terkait persoalan kependudukan yang perlu kita cermati. Angka fertility rate kita baik nasional maupun Yogyakarta menunjukkan kenaikan. Artinya, pertambahan jumlah penduduk yang cukup banyak tentu menimbulkan implikasi besar pula. Maka komitmen kami adalah pada pembangunan manusia, pendidikan, dan kesehatan.”
Orasi Ilmiah MDGs Oleh Prof. Nila F. Moeloek
Tahun 2015 merupakan tenggat waktu bagi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Hingga kini, pencapaian MDGs di Indonesia memang menunjukkan kemajuan yang signifikan. Human Development Indeks atau HDI Indonesia misalnya, naik dari peringkat 124 di 2011 menjadi peringkat 121 di 2013. Meski demikian, semua pihak masih harus bekerja ekstra keras untuk pencapaian MDGs terutama dalam penurunan angka kematian ibu, penanggulangan HIV/AIDS, serta akses terhadap air bersih dan sanitasi layak.
Waktu pencapaian tujuan MDGs kurang dari tiga tahun. Pada 1 Juli 2012 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian membentuk High Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development yang memiliki tiga orang co-chairs. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu co-chairs selain Perdana Menteri Inggris, David Cameron, dan Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf. Ketiganya bertugas untuk merumuskan agenda pembangunan dunia pasca MDGs 2015.
“Kini dunia mulai berpikir apa yang bisa dilakukan lagi. Sebenarnya saya pun mengkritik PBB. Komitmen ini kita ketahui bersama, tidak pernah ada yang selesai. Mungkin kita pun masih ingat soal health for all atau education for all (EFA). Apakah selesai? Apakah semua penduduk di dunia saat ini telah bersekolah? Tidak juga. Pasca MDGs, saya menganggap persoalan kita masih di seputar ini juga, tak akan jauh berbeda. Ya, kita semua ingin sejahtera. Tidak ada manusia yang tidak ingin sejahtera,” ujar Nila.
Sebenarnya pemerintah tidak dapat mengerjakan semua program-program capaian. Pemerintah itu lebih bersifat top down, melakukan regulasi dan kebijakan. Maka, masyarakat yang berada di basis juga perlu untuk bergerak. Nila dalam orasi ilmiahnya kemudian menekankan soal peran populasi dalam mewujudkan human capital yang unggul untuk pembangunan menuju bangsa cerdas. Fakta menunjukkan, tanpa sumber daya manusia, populasi, dan tenaga kerja di bidang formal maupun informal yang berkualitas, niscaya peningkatan pembangunan ekonomi serta bidang lainnya tidak mungkin dicapai sesuai harapan.
“Human capital ditentukan oleh faktor pengungkit awal yang dapat memberi percepatan pembangunan, yakni kesehatan dan perempuan. Kesenjangan dalam bidang kesehatan diakui menjadi faktor penghambat kemajuan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat domestik, regional, bahkan global. Kesehatan pun harus dimulai dari hulunya, yakni ketahanan pangan dan perempuan berpengetahuan,” ujar Nila.
Pendidikan harus dipersiapkan, dan diutamakan bagi kaum perempuan. Nila menambahkan, kaum perempuan harus berpengetahuan; tahu cara mendidik anak, tahu menjaga kesehatan anak, dan dirinya sendiri, serta paham perencanaan keluarga seperti menata keuangan keluarga dengan efisien dan efektif, selain turut serta membangun lingkungan hidup agar pembangunan menjadi berkelanjutan. [] Media Center PSKK UGM