Menata Kawasan Pinggir Sungai, Masyarakat Harus Dilibatkan

22 Oktober 2016 | admin
Berita PSKK, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Permukiman di kawasan tepi sungai, terutama yang berada di perkotaan masih memerlukan perhatian yang lebih serius. Permukiman di kawasan ini identik dengan hunian yang padat, sarana sanitasi dan sumber air bersih yang terbatas, akses dan sarana jalan yang tidak memadai, hingga status tanah yang bermasalah. Beragam kompleksitas persoalan tersebut menjadikannya kawasan yang kumuh (slum).

Belakangan, pemerintah sedang giat melakukan penataan dan pengembangan kawasan sungai. Melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera), pemerintah mencanangkan sebuah program ambisius dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-1019 dengan target 100-0-100. Artinya, 100 persen akses air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Program diturunkan sehingga mendorong pemerintah daerah setempat menyusun rencana penataan kawasan agar ke depan tidak ada lagi permukiman kumuh.

Di Kota Yogyakarta, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 216 Tahun 2016, ada 229 RW yang masuk dalam kategori kampung kumuh. Kampung-kampung kumuh tersebut tersebar hampir di seluruh kelurahan, seperti Gedongkiwo, Sorosutan, Suryatmajan, Prawirodirjan, Pringgokusuman, Kricak, Karangwaru, Ngupasan, dan lainnya.

Sementara untuk total luas lahan yang dikategorikan sebagai kawasan permukiman kumuh mencapai 264,9 hektar. Wilayah dengan kawasan permukiman kumuh paling luas berada di Kecamatan Umbulharjo (75,2 hektar), Kecamatan Tegalrejo (35,18 hektar), dan Kecamatan Mantrijeron (20,65 hektar).

Pakar Kebijakan Publik, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Triyastuti Setianingrum, SIP, M.Sc. menyampaikan, hal penting yang tentu saja tidak bisa dilupakan dalam program penataan adalah keterlibatan masyarakat. Sebagai subyek aktif, masyarakat yang tinggal di kawasan sungai bisa memberikan masukan sekaligus pengaruh signifikan dalam program ini.

“Partisipasi atau keterlibatan menjadi aspek yang perlu dibangun agar komitmen dan kesepakatan tidak hanya datang dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat yang menghuni kawasan tepi sungai,” kata Triyas dalam Diskusi Terfokus (FGD) “Penataan dan Pengembangan Kawasan Sungai Kota Yogyakarta” yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat serta penggiat sungai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA), Rabu (19/10) lalu.

Triyas menambahkan, suara dari bawah penting didengar agar penataan benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengindahkan pula aspek-aspek lingkungan di sungai. Bagaimanapun, kita sudah tidak bisa lagi menutup mata bahwa sungai sudah mengalami penurunan fungsi yang luar biasa mulai dari pendangkalan, menurunnya keanekaragaman hayati (biodiversitas), hingga pencemaran limbah.

Peristiwa banjir lahar dingin 2010 adalah pelajaran sekaligus pengingat bagi masyarakat. Sungai-sungai yang melewati Kota Yogyakarta berhulu dari Gunung Merapi sehingga berpotensi meluap sembari membawa material vulkanik (batu, lumpur, pasir) apabila hujan deras turun pasca erupsi.

Selain itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua FKWA, Endang Rohjani menyampaikan, masyarakat khususnya di tepi Sungai Winongo sudah memahami betul akan pentingnya penataan guna menciptakan permukiman yang lebih baik, manusiawi, dan laik huni. Masyarakat pun sepakat untuk melaksanakan konsep M3K (mundur, munggah, madep kali) di lingkungan tempat tinggalnya.

Bagi Endang, masyarakat itu sebetulnya manut, mau ditata asalkan langkah-langkah program tersebut haruslah jelas. Masyarakat atau komunitasnya pun dilibatkan. Sekarang yang ditunggu sebetulnya adalah upaya serius pemerintah untuk menyiapkan lahan, rumah atau permukiman yang laik.

“Kami kerap ditanya, mampu tidak menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang mungkin timbul karena penataan. Sebagai komunitas, FKWA siap untuk mengawal dari bawah, tapi pemerintah punya keinginan kuat tidak untuk menyelesaikan ini?”

Kesiapan masyarakat Winongo terhadap program penataan terlihat dari data-data yang telah dimiliki. Misalnya, peta kawasan untuk melihat beragam status tanah yang ditempati. Secara umum, ada tiga status tanah di sepanjang Sungai Winongo, yakni milik negara, milik Kraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan milik pribadi (SHM). Selain itu, ada pula data tentang persoalan, kebutuhan, hingga potensi tiap kampung sesuai dengan karakteristiknya. Data-data ini penting untuk menentukan langkah-langkah tepat penataan.

Mengkaji aspirasi masyarakat tepi sungai

Forum-forum FGD ini merupakan rangkaian kegiatan dari Kajian Ekonomi Sosial Budaya Kawasan Permukiman Kumuh Kota Yogyakarta 2016 yang dilakukan oleh PSKK UGM bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta. Kajian ini dilakukan untuk memberikan pedoman teknis penataan kawasan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta dengan menggunakan masukan yang berasal dari aspirasi masyarakat penghuninya serta upaya membangun komitmen bersama atas penataan tersebut.

Pendekatan kualitatif digunakan dalam kajian ini, yakni dengan menyelenggarakan forum-forum diskusi terarah (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview) bersama para pihak yang terkait langsung dengan penataan permukiman kumuh di bantaran sungai. Rangkaian FGD sudah dilakukan tiga kali dan masih akan terus berlangsung. [] Media Center PSKK UGM