Jakarta, NERACA – Kalangan akademisi dan pengamat menilai Indonesia menghadapi masalah besar di bidang ketenagakerjaan di tengah kondisi persaingan ketat di kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sementara lembaga penelitian CORE memandang bahwa Indonesia semestinya dapat berperan lebih besar dan lebih konkret dalam mendorong kemajuan ekonomi negara-negara Asia dan Afrika.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Sukamdi membenarkan masih ada kekhawatiran apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi MEA 2015. Sampai saat ini Indonesia masih gamang. Pemerintah belum memiliki perencanaan yang fokus dalam merespon MEA 2015.
Menurut dia, kondisi antarnegara di wilayah ASEAN tidaklah sama. Selain perbedaan tingkat pendapatan negara, ada juga perbedaan jumlah angkatan kerja produktif di masing-masing negara. Ada negara yang defisit tenaga kerja sehingga menjadi negara penerima pekerja migran, ada pula yang surplus dan menjadi negara pengirim tenaga kerja.
“Pengalaman yang pernah dihadapi oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) perlu menjadi pelajaran bagi ASEAN. Di satu pihak memang ada dampak positif secara ekonomi bagi negara-negara Eropa, tetapi inij uga menimbulkan multi persoalan, salah satunya migrasi internasional,” kata Sukamdi dalam laporannya yang diterima Neraca, akhir pekan lalu.
Uni Eropa sudah lebih dahulu menerapkan prinsip kebebasan bergerak bagi modal, barang, dan jasa. Sektor ketenagakerjaannya pun demikian. Para pekerja bebas bergerak lintas negara-negara anggota UE tanpa ada hambatan untuk tinggal dan bekerja. Perkembangannya, situasi ini banyak dimanfaatkan pula oleh pekerja dari luar UE seperti Afrika, Asia, dan Eropa Timur. Kemudahan mobilitas penduduk ini belum disertai aturan-aturan tambahan sehingga arus imigran tidak terkontrol.
Jika melihat berbagai macam argumentasi di dalam dokumen-dokumen mengenai MEA 2015, menurut dia, semuanya bernada positif. MEA merupakan salah satu cara agar negara-negara di ASEAN lebih maju. Lalu, mengapa masih ada tanggapan negatif bahkan terdengar pesimis oleh beberapa kalangan di Indonesia?
Saat ini ASEAN hendak menerapkan prinsip yang sama. Untuk mendukung hal itu, disusunlah kesepakatan saling pengakuan terhadap kualifikasi tenaga kerja profesional dalam Mutual Recognition Arrangements (MRA). Sejak 2005 sudah ada delapan sektor pekerjaan yang disepakati, antara lain engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Tenaga kerja profesional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa secara bebas masuk ke negara anggota ASEAN lainnya.
Indonesia dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang luas. Permintaan (demand) tenaga kerja profesional dan terampil di ASEAN tinggi. Sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja, Indonesia jelas memiliki kesempatan yang besar. Namun, benarkah ini sebagai sebuah kesempatan?
Pendidikan Rendah
Sukamdi mengatakan, ada beberapa persoalan besar ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, angkatan kerja Indonesia sebagian besar berpendidikan rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS menunjukkan, pada 2013 ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Lebih dari 33 juta merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan SD, sekitar 22 juta berpendidikan SMP, dan sekitar 19 juta berpendidikan SMA.
“Persoalan kedua adalah struktur kesempatan kerja kita yang agak aneh. Kita kerap mengeluh banyak orang tidak memperoleh pekerjaan. Di saat bersamaan, jika melihat strukturnya, ada kesempatan kerja yang tidak bisa diisi oleh orang Indonesia karena persoalan kualifikasi atau kompetensi,” ujarnya.
Data Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) yang diolah Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan (Pusdatinaker) menunjukkan ada tiga jenis pekerjaan atau jabatan yang banyak diisi oleh tenaga kerja asing. Penggunaan tenaga kerja asing untuk pekerjaan profesional sebanyak 38.762, konsultan atau advisor sebanyak 18.925, dan manajer sebanyak 15.529. Jika dilihat dari negara asal, tenaga kerja asing dari Tiongkok yang paling tinggi, yakni sebanyak 18.864. Menyusul kemudian tenaga kerja asing dari Jepang (17.444), Korea Selatan (10.195), dan India (6.703).
Data itu menggambarkan, ada yang tidak tersambung antara kualifikasi atau kompetensi angkatan kerja dengan kesempatan kerja di Indonesia. Saat kesempatan kerja pada jenis-jenis pekerjaan tersebut hanya bisa diisi oleh tenaga kerja dari luar negeri, Indonesia menghadapi persoalan serius karena pengangguran terdidiknya akan semakin banyak.
Di sisi lain, lembaga penelitian Center of Reform on Economics (CORE) menilai Indonesia semestinya dapat berperan lebih besar dan lebih konkret dalam mendorong kemajuan ekonomi negara-negara Asia dan Afrika. Di antara peran strategis yang dapat dijalankan oleh Indonesia adalah mendorong kerjasama perdagangan yang lebih berkeadilan (fair trade), yang merupakan langkah penting untuk memperbaiki kondisi perekonomian bagi negara berkembang dan terbelakang di kawasan ini.
Menurut Direktur Penelitian CORE Mohammad Faisal, praktik perdagangan yang tidak adil masih banyak dan sering dilakukan oleh negara-negara maju yang banyak merugikan negara-negara berkembang. Sebagai contoh, pada saat negara berkembang didesak untuk mengurangi hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif, WTO malah membiarkan negara-negara maju menjalan kebijakan proteksionis hingga saat ini.
Seperti subsidi pertanian di negara maju, menurut dia, telah membuat para petani di negara-negara berkembang terutama di kawasan Afrika kesulitan untuk bersaing di pasar global dan juga di pasar domestik negara mereka sendiri. Negosiasi dengan Uni Eropa membuat negara-negara di Afrika dipaksa untuk menghapuskan tarif pada hingga 90% dari perdagangan mereka karena tidak ada aturan yang jelas ada untuk melindungi mereka. []
*Sumber: NERACA | Photo: Sekolah Kejuruan/Berita Daerah