Refleksi atas paradigma pembangunan dimulai dari isu dominan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator dasar keberhasilan pembangunan hingga dasawarsa 1970an, kemudian bergeser kepada paradigma pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup layak. Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan sebagai unsur keberlangsungan kehidupan, tetapi pembangunan manusia dan demokrasi dalam konteks pembangunan nasional justru lebih penting. Ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi sebagai ide dominan telah menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang sangat besar antara kelompok yang jauh lebih besar jumlahnya, tetapi miskin. Telah terjadi pula kesenjangan kesejahteraan di daerah perkotan-perdesaan, antara daerah Jawa dan luar Jawa, daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) maupun daerah bukan pesisir dengan daerah pesisir dan daerah pedalaman di Indonesia (BPS, Bappenas, dan UNDP, 2001).
Indonesia sebagai negara maritim yang ditandai dengan jumlah pulau sekitar 17.300 dan garis pantai sekitar 81.200 km dengan luas lautan 5,8 juta km² merupakan keunggulan komparatif dalam potensi sumber daya perikanan dan kelautan serta transportasi air. Menurut Faisal Basri (2008), karakteristik geografis Indonesia seperti ini serta struktur dan tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia. Kenyataan ini tidak serta merta menjadikan pembangunan sektor kelautan dan kemaritiman sebagai primadona dan andalan Indonesia sebagai negara maritim, namun justru sebaliknya. Peluang dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) belum tergarap secara optimal dalam bidang ekonomi, transportasi laut, sosial budaya, teknologi, hukum, dan aspek sosial dasar lainnya. Adalah wajar jika Indonesia telah menjadi negara maritim yang miskin dan merana karena tidak didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan dan kemaritiman. Laporan BPS, Bappenas, dan UNDP (2004) dan perkembangan kemiskinan absolut yang dilaporkan oleh BPS sejak 1990 hingga 2002 menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar di daerah pesisir jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah bukan pesisir.
Kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, kekurangan energi kronis, dan morbiditas dialami sebagian besar penduduk Indonesia dan penduduk di daerah pesisir. Kondisi ini jauh lebih parah dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedemikian miskinnya penduduk pesisir sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu-tunggu bahkan harus rela antre berjam-jam. Nasi aking dengan lauk ikan asin menjadi santapan mewah sehari-hari. Barisan antre minyak goreng, minyak tanah, serta penerima raskin dan sembako semakin bertambah panjang hampir sampai ke bibir pantai. Kemiskinan yang sangat kronis jelas lebih tampak di wilayah pesisir dibandingkan dengan wilayah lainnya. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan pendekatan yang terintegrasi antara berbagai elemen termausk dukungan politik. Jalan pintas untuk dapat keluar dari kemiskinan dan kelaparan adalah mengubah gaya kepemimpinan yang peduli terhadap pembangunan daerah pesisir, utamanya sumber daya manusia yang berkualitas agar dapat mengelola secara optimal sumber daya alam di daerah pesisir yang cukup melimpah (Kristiadi, 2008).
Pelaksanaan desentralisasi telah mengubah tanggung jawab atau tugas dan wewenang sebagian besar kegiatan pembangunan yang dilimpahkan ke kabupaten. Pertanyaannya adalah siapkah pejabat di daerah mempromosikan pembangunan manusia di daerah mereka sendiri? Apa program yang harus dilakukan dan indikator apa saja yang digunakan sebagai alat untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia. Tidak mudah untuk memilih indikator tersebut sebab konsep pembangunan manusia sangatlah luas dan hampir mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan gender, kesempatan kerja dan produktivitas kerja, pangan dan gizi anak, pendidikan dan tempat tinggal, serta aspek lain yang merupakan kebutuhan dasar.
UNDP tahun 1990 dalam laporan tahunannya untuk yang pertama kalinya menerbitkan parameter keberhasilan pembangunan manusia yang lebih popular dinamakan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI). Indikator ini hanya mengukur pembangunan manusia yang lebih sempit atau suatu ringkasan dari pembangunan manusia. Belum dapat mencerminkan sebagian besar aspek kehidupan manusia, namun cukup berguna untuk mengetahui berbagai kemajuan yang telag dicapai atau seberapa jauh ketertinggalan yang masih dialami.
Terlepas dari berbagai keterbatasan yang ada pada IPM, titik perhatian pekerjaan pejabat di daerah harus diletakkan lebih pada konsep pembangunan manusia daripada nilai indeks itu sendiri. Setiap aspek pekerjaan pejabat di daerah harus mendahulukan manusia dengan menganggap bahwa manusia bukan sebagai sarana, tetapi tujuan pembangunan. Indeks pembangunan sebagai petunjuk ketertinggalan yang dapat digunakan dalam penyusunan program untuk meningkatkan nilai indeks terkini dengan 100. Tipologi IPM akan sangat membantu penyusunan program aksi peningkatan kesejahteraan. Pada giliran berikutnya, peningkatan IPM akan diikuti pula penurunan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dengan dimensi yang berbeda. Konsep kemiskinan manusia lebih ditujukan untuk mengukur ketertinggalan atau ketidakberdayaan pada pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup layak dan ketertinggalan dalam mengakses pelayanan dasar. Dengan demikian, semakin tinggi nilai IKM daerah tersebut maka semakin tertinggal dari aspek kehidupan penduduk di daerah tersebut.
Perkembangan kemiskinan manusia di daerah pesisir dengan menggunakan indikator IPM dan IKM merupakan tema yang sangat menarik untuk didalami. Diperkirakan daerah pesisir dengan berbagai kondisi sarana dan prasarana pelayanan publik yang tidak sebaik daerah bukan pantai akan mempunyai perkembangan yang lambat. Latar belakang pendidikan yang rendah, kesempatan kerja yang dipengaruhi oleh musim, akses terhadap air bersih yang terbatas, dan persediaan pangan yang rentan merupakan daerah kantung kemiskinan. Melalui dua pertanyaan berikut, yaitu IPM yang relatif rendah dan IKM yang tinggi, diperkirakan akan berdampak pada ketertinggalan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan kemaritiman untuk peningkatan kesejahteraan penduduk pesisir.
Data yang digunakan adalah data sekunder di 113 kabupaten dan kota yang memiliki daerah pesisir atau pantai. Data sekunder ini sebelumnya adalah data promer yang dikumpulkan melalui survei secara berkala yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Sumber pokok data untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) serta Pertumbuhan Penduduk diambil dari:
- Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan dua kali setiap tahu.
- Sensus Penduduk 1990 dan 2000.
- Laporan dari BPS 2001 dan 2004 tentang IPM dan IKM dan laporan tahunan IPM hingga 2008.
- Pendataan dari departemen maupun instansional, terutama data yang relevan dengan tujuan analisis sumber daya manusia daerah pesisir.
Untuk analisis IPM, peneliti hanya menghimpun data dari Laporan Pembangunan Manusia 2001 yang merujuk referensi waktu 1996 dan 1999. Referensi waktu 1996 diasumsikan merujuk keadaan sebelum krisis moneter di Indonesia dan 1999 merujuk setelah terjadinya krisis moneter. Untuk analisis dinamika waktu, digunakan data dari Laporan Pembangunan Manusia 2004 yang merujuk waktu 1996, 1999, dan 2002 oleh BPS. Karena tidak disediakan data IKM, ketertinggalan dan kemajuan untuk daerah pesisir hanya menggunakan IPM. Dengan demikian, referensi waktu yang digunakan adalah 1996, 1999, dan 2002. Sebetulnya akan digunakan data dari Laporan Pembangunan Manusia 2007, tetapi banyak kabupaten/kota hasil pemekaran akan mengganggu analisis.
Untuk analisis IKM, peneliti tetap menggunakan sumber data yang sama, yakni yang dihimpun oleh BPS, namun referensi waktu sedikit bergeser, yaitu 1998 dan 2002; bukan 1996 dan 1999 karena data IKM 1996 tidak tersedia. Pergeseran referensi waktu yang relatif agak panjang adalah data pertumbuhan penduduk 1990-2000 dan bukan 1996-2000. Pertumbuhan penduduk 1990-2000 merupakan hasil pendataan sensus lengkap, sedangkan di luar titik waktu tersebut, seperti 1996-1999-2002, hanya jumlah penduduk estimasi dari sebuah proyeksi yang hasilnya belum tentu mendekati kenyataan yang ada di lapangan.[]
Sebuah pendahuluan dari makalah yang pernah disampaikan oleh Tukiran pada seminar di Hang Tuah, Surabaya, 2009. Artikel diterbitkan lagi di dalam buku “Akses Penduduk Miskin terhadap Kebutuhan Dasar” oleh PSKK UGM, Juli 2010. | Ilustrasi kampung nelayan/panoramio