JAKARTA, KOMPAS — Konversi lahan pangan menjadi permukiman melanda sejumlah daerah, termasuk di kawasan hutan sagu di Papua. Sementara seiring pertambahan penduduk, kebutuhan pangan terus meningkat.
Alih fungsi lahan terjadi karena tak ada konsistensi pemerintah pusat dan daerah membangun ketahanan pangan. ”Konversi lahan sagu di Papua ketika pergantian kepala daerah,” kata Freddy Numberi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga pemerhati sagu, pada diskusi ”Pengembangan Industri Sagu Berbasis Inovasi Teknologi untuk Membangun Ketahanan Pangan Nasional”, di Jakarta, Rabu (26/3).
Perhatian pemerintah dalam ketahanan pangan dimulai pada 1979 lewat Keppres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Pengembangan Pangan Alternatif dalam Rangka Ketahanan Pangan. Keputusan itu diperkuat keluarnya Perpres No 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Ditambahkan Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Listyani Wijayanti, UU No 18/2012 tentang Pangan pun telah mengamanatkan penyelenggaraan pangan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan.
Tingkat konsumsi beras Indonesia, menurut Listyani, mencapai 130 kilogram per kapita per tahun. Ini lebih tinggi daripada konsumsi beras dunia yang rata-rata 60 kg/kapita/tahun. Untuk mengatasi, ia berpendapat, perlu mengembangkan sumber pangan lokal, antara lain sagu.
Luas hutan sagu Indonesia yang 1,25 juta hektar, sekitar 1,2 juta ha terdapat di Papua. Luas lahan sagu di Papua yang telah dibudidaya baru 14.000 ha. Sekitar 120.000 ha tersebar di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.
Menurut Freddy, pembangunan ketahanan pangan, di antaranya bisa melalui pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Nasional yang bertanggung jawab kepada Presiden. Itu diikuti pembentukan lembaga yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten.
Melalui lembaga itu dipetakan potensi sagu untuk kemudian ditetapkan lahan sagu abadi yang diperkuat peraturan daerah. ”Lahan sagu ini tidak dapat berubah fungsi karena ada dasar hukumnya. Penggunaannya hanya untuk budidaya,” ujarnya.
Hal yang sama dapat diterapkan di daerah lain yang memiliki potensi sumber daya pangan pokok lain, seperti singkong, jagung. ”Dengan begitu terbentuk ketahanan pangan di tiap daerah berbasis sumber daya lokal. Cara ini juga mengurangi ketergantungan pada beras,” kata Freddy. (YUN)
*Sumber artikel: Harian Kompas, 27 Maret 2014 | Sumber foto: www.ppk-kp3k.kkp.go.id