YOGYA (KR) – Jumlah penduduk Indonesia pada 2035 menurut proyeksi Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) akan mencapai 304,9 juta jiwa. Angka itu meningkat dari 238,5 juta jiwa pada 2010. Bertambahnya jumlah penduduk menimbulkan tantangan besar di masa depan, yaitu terpenuhinya ketersediaan pangan dan energi.
Dengan mengetahui gambaran jumlah penduduk dalam kurun 20 tahun mendatang, pemerintah bisa mulai menyusun suatu kebijakan di berbagai sektor termasuk pangan.
“Bagaimana menyiapkan ketersediaan pangan bagi sekian juta penduduk? Lalu dengan adanya keterbatasan lahan, jumlah produksi yang menurun, bagaimana kebijakan yang akan disusun tersebut? Tentu kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan impor,” kata pakar kependudukan UGM, Agus Joko Pitoyo, MA, dalam Seminar “Proyeksi Penduduk dan Kebutuhan Pangan di Indonesia”, di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur UGM, Kamis (22/5).
Pakar Ekonomi Pertanian UGM Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec., mengatakan, pangan adalah salah satu faktor penting setelah penduduk. Meski teknologi sudah maju, manusia bahkan sudah bisa menginjakkan kakiknya di bulan, hingga saat ini belum ada satu pun teknologi yang mampu menghasilkan pangan sintetis.
“Presiden RI pertama, Ir. Soekarno pernah mengatakan, pangan merupakan masalah mati hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan terjadi malapetaka,” ujarnya.
Jangkung menuturkan, salah satu faktor yang menentukan ketersediaan pangan adalah produktivitas. Kemampuan produksi beras domestik terancam menurun akibat laju alih fungsi lahan pertanian yang masif. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam setahun ada sekitar 100.000 hektare lahan pertanian yang dikonversi ke sektor non-pertanian.
“Kebanyakan yang dikonversi adalah lahan yang subur padahal investasi pemerintah di lahan itu sudah demikian besar. Pertumbuhan impor beras pada 2009-2012 juga cenderung tinggi. Ini warning (peringatan) bagi kita sebagai bangsa. Kalau tidak hati-hati, kita akan jadi negara pengimpor beras yang besar lagi,” ungkap Jangkung.
Selain itu, Joko menambahkan, selama periode 25 tahun ke depan akan terjadi penambahan sekitar 50 juta angkatan kerja baru. Potensi bonus demografi Indonesia akan dimulai oada 2020 sampai 2030, yakni saat jumlah penduduk produktif tinggi dan rasio atau beban ketergantungan berada pada posisi terendah. Artinya, pada saat itu jumlah angkatan kerja sangat besar namun menanggung beban kelompok usia nonproduktif yang kecil.
Pada periode tersebut Indonesia berpotensi menjadi negara sejahtera (welfare state). Tapi di sisi lain, ada persoalan serius yang perlu diantisipasi, yakni meningkatnya jumlah lansia. Penduduk lansia akan meningkat 100 persen dari 2010 hingga 2035, yakni dari 11,878 juta jiwa (4,9 persen) menjadi 32,11 juta jiwa (10,8 persen). Kelompok usia pascaproduktif ini bisa menjadi potensi sekaligus beban,” jelas Joko. [] Bro-k
*Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2014 | Foto: Itoday