INDEKS KEBAHAGIAAN MASIH LEMAH: Pengukuran Cenderung Gunakan Indikator Kekayaan Materi | Oleh: Agus H. Hadna

10 Juni 2014 | admin
Esai & Opini, Media

Yogyakarta, CPPS – Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang kemudian dikenal dengan Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2013. Secara umum studi ini menunjukkan, masyarakat Indonesia rata-rata hidup cukup bahagia. Dari skala 0 hingga 100, Indeks kebahagiaan Indonesia mencapai 65,11.

Ada sepuluh domain kehidupan yang menjadi indikator dalam mengukur indeks tersebut, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah, aset pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan.

Bagi Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, studi yang dilakukan oleh BPS ini sebenarnya cukup baik. Namun, memang dinilai masih ada berbagai kelemahan. Muncul keraguan dari berbagai pihak atas hasil studi ini. Benarkah masyarakat Indonesia hidup bahagia.

Berikut kutipan wawancara Radio Idola 92,6 FM Semarang dengan Hadna dalam program “Panggung Civil Society”, Senin (9/6) lalu.

Selamat pagi Bapak Agus Heruanto Hadna. Senin lalu, BPS memaparkan hasil studi pengukuran tingkat kebahagiaan masyarakat kita. Hasilnya, 65,11 poin sehingga disimpulkan masyarakat Indonesia cukup bahagia. Nah, bagaimana pendapat Anda tentang hasil studi ini?

Baik, terima kasih. Pertama, saya hendak menyampaikan rasa salut terutama kepada BPS. Mereka berani mengeluarkan indeks kebahagiaan yang mengukurnya itu sangatlah sulit. Ini adalah hal yang sulit dilakukan oleh siapa pun ya dalam mengukur kebahagiaan.

Lalu yang kedua, studi atau pengukuran ini memang perlu untuk dilakukan. Kenapa? Indeks kebahagiaan ini bisa kita manfaatkan untuk mengimbangi indeks komposit objektif yang selama ini digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan. Indeks komposit objektif itu misalnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan sebagainya. Nah, untuk indeks komposit subjektif, orang statistik mengatakan, berasal dari persepsi orang. Jadi memang perlu diimbangi dengan indeks komposit subjektif ini.

Namun, saya menilai juga ada kelemahan dalam hasil indeks ini. Mengukur kebahagiaan bukan hal mudah. Persepsi orang tentang bahagia antara satu dengan yang lainnya bisa saja berbeda. Ini sangat subyektif. Saya melihat ukuran-ukuran yang digunakan ini dasarnya hanya ekonomi, yakni tentang pekerjaan, pendapatan, dan sebagainya. Inilah yang menurut saya lemah karena  tidak semua kebahagiaan orang bisa diukur dari situ. Indikator-indikatornya ini mestinya disesuaikan lagi karena masalah subjektif tadi ya. Mengukur subjektivitas orang tidaklah mudah.

Baiklah. Lalu jika dilihat dari metodologinya, apakah studi ini bisa dipertanggungjawabkan?

Ya selama ini kan kita tahu, BPS memang jago mulai dari sampling, dan sebagainya. Informasi kemarin menyebutkan, jumlah sampling yang digunakan dalam studi ini adalah 10 ribu rumah tangga dari berbagai kalangan berbagai tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Bagi saya, jumlah sampling ini sebenarnya masih terlalu kecil. Apalagi, jika itu untuk menyimpulkan bahwa orang Indonesia hidup bahagia.

Hasil studi ini sebenarnya membuat Idola FM merasa tergelitik juga. Hasilnya sangat bertolak belakang jika dikaitkan dengan rasio gini Indonesia yang sejak 2011 semakin timpang. Lalu, bagaimana cara masyarakat awam bisa mengambil kesimpulan dari dua hasil studi yang bertolak belakang tersebut?

Sama seperti saya katakan sebelumnya, indeks komposit subjektif dan objektif bisa jadi bertentangan. Komposit objektif yang kita pakai biasanya soal pertumbuhan ekonomi. Jika kita lihat hitung-hitungan ekonomi bisa jadi bagus. Nah, misalnya pendapatan atau income naik, seseorang belum tentu langsung dinilai bahagia. Poin 66,51 itu bagi saya relatif ya. Saya sendiri kok ya sebenarnya meragukan pula angka tersebut. Betul tadi disebutkan, rasio ketimpangan pendapatan atau rasio gini kita memburuk bahkan sejak 2009. Beberapa tahun terakhir cenderung stagnan di level 0,41 persen, kalau tidak salah ya. Hal ini sebetulnya sudah merupakan ‘lampu kuning’ ya.

Nah, metodologinya kemudian harus kita bandingkan, antara kota dengan desa, antara kaya dengan miskin, antara laki-laki dengan perempuan, antara usia tua dengan muda, baru kemudian kita bisa menjawab, apakah angka 65 koma sekian itu benar bisa menunjukkan yang sesungguhnya. Saya cukup terkejut juga terhadap hasil yang menunjukkan penduduk di desa tidak lebih bahagia dibanding dengan kota. Padahal, selama ini di desa kan lebih harmonis ya. Ya itu menurut saya.

Lalu, apakah indeks kebahagiaan ini merupakan tandingan dari human development index (HDI) yang dikeluarkan oleh PBB? Kita tahu HDI Indonesia selalu tercecer di posisi bawah.

Kalau human development index berbeda sekali. Itu kan indeks komposit objektif maka dia dasarnya pada masalah kelahiran, kematian, lalu tingkat pendapatan, dan sebagainya. Jadi tidak ada hubungannya karena itu merupakan angka-angka objektif. Sementara indeks kebahagiaan ini kan sangat subjektif. Tetapi, memang beberapa negara di dunia sedang mengembangkan indeks kebahagiaan ini.

Saya sendiri kurang sependapat jika judulnya disebut sebagai indeks kebahagiaan. Saya melihat indikator-indikator yang dikembangkan dalam studi ini lebih cocok jika indeks tersebut dinamakan indeks kepuasan masyarakat terhadap kesejahteraannya. Bukan kebahagiaan ya, ini berbeda sekali. Kebahagiaan itu sangat dalam mengukurnya. Mereka yang ahli di bidang psikologi yang biasa mengukur itu. Nah, pertanyaan-pertanyaannya pun sifatnya psikologis.

Jadi Anda hendak mengatakan bahwa indeks kebahagiaan ini tidak valid?

Menurut saya, lebih baik diganti saja namanya dengan indeks kepuasan masyarakat terhadap kesejahteraan. Itu barangkali lebih cocok ya. Saya perlu menambahkan pula, selain kelemahan dalam indikator pengukuran seperti yang saya sampaikan tadi, pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan oleh BPS itu tidak ada yang mengukur tentang harapan masyarakat terhadap kebahagiaan itu. Ini yang lalu saya anggap lemah.

Misalnya begini, saya digaji 5 juta sebulan sudah merasa puas. Namun, bagi Mba Nadia (penyiar program radio .red) mungkin saja memiliki ukuran kepuasan yang berbeda. Angka 5 juta itu bisa saja lebih atau bisa juga kurang. Inilah yang harus kita samakan. Metodologinya perlu dikembangkan sehingga antara satu orang dengan yang lainnya mempunyai kriteria yang sama. Baru setelah itu bisa dibandingkan, dan kemudian kita simpulkan angka 65,11 tadi.

Baiklah kalau begitu. Namun, ada sebagian masyarakat yang mempertanyakan, apakah indeks ini dikeluarkan BPS untuk menutupi kegagalan politik pembangunan ekonomi selama ini? Apakah indeks kebahagiaan adalah salah satu usaha pengalihan perhatian masyarakat dari kegagalan sistem politik selama 65 tahun merdeka ini? Nah, bagaimana Anda merespon pertanyaan-pertanyaan ini?

Pertanyaan yang agak sulit ya apalagi ini menjelang pemilihan presiden. Bisa jadi jika itu benar bahwa dijadikan momen politik ya, mari menilai capaian keberhasilan. Tapi saya sebagai akademisi menilai, upaya BPS untuk membuat indeks ini adalah bagian dari cara untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan dari indeks komposit objektif yang selama ini digunakan. Pengukuran indeks ini perlu dilakukan supaya tahu pembandingnya. Kita bisa menganalisis titik kelemahannya dimana. Soal itu digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mengklaim dirinya berhasil, ya biarkan masyakarat yang menilai.

Baiklah kalau demikian. Terima kasih Pak Agus Heruanto atas kesempatan diskusi dengan Radio Idola Semarang kali ini tentang Indeks Kebahagiaan BPS. Selamat pagi. []

*Ilustrasi: Istimewa