ERUPSI KELUD – Sapii seperti Anak Saya…

17 Februari 2014 | admin
Media

Marni (33) dan Tauhid (36) adalah pasangan pengungsi erupsi Gunung Kelud asal Desa Jombok Krajan, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tiga hari terakhir, keduanya tinggal di Gedung Ganesha di Kota Batu, sekitar 15 kilometer dari rumah mereka.

Meski lebih aman tinggal di pengungsian, setiap pagi seusai sarapan, Tauhid bergegas pulang ke rumahnya yang diselimuti abu vulkanik setebal sekitar 10 sentimeter. Ritual paginya, menengok Sapi’i dan saudaranya.

“Sapi’i sudah seperti anak saya. Sudah lima tahun kami rawat sehingga kami tak rela meninggalkannya mati,” kata Marni, Minggu (16/2). Sapi’i adalah nama sapi perah, yang satu belum diberi nama. Kegundahan mereka bertambah karena sapinya bunting enam bulan. Tiga bulan lagi akan beranak. “Kasihan kalau Sapi’i dan anaknya sampai kelaparan dan mati.”

Oleh karena rumput dan tanaman di lereng Kelud tertimbun abu, batang pisang menjadi pilihan utama menu Sapi’i. Kalaupun ada rumput, lebih susah dibersihkan dari abu.

Marni tak ingin kehilangan dua sapinya yang memberi susu segar 9-15 liter per hari itu. Setiap liter rata-rata dihargai Rp. 3.900. “Saya pernah trauma memelihara sapi karena mati kembung. Kini, setelah saya berani merawat sapi, saya tidak ingin kehilangan begitu saja. Apapun harus diusahakan agar tetap hidup,” ujarnya.

Selama ini, sapi-sapi itu memberi hidup keluarganya. Kini, giliran mereka balas jasa. Pertimbangan serupa yang membuat ribuan warga lereng Kelud menerobos zona terlarang pada radius 10 km dari puncak Kelud. “Saya tahu itu dilarang. Namun, saya kepikiran. Jangan-jangan kandang roboh. Jangan-jangan sapi saya mati,” kata Sumadi (79), warga Sempu, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri.

Dua sapinya bunting tiga bulan. Karena itu, Jumat pukul 04.00—Kelud Erupsi Kamis pukul 22.50—ia nekat menembus hujan abu. Pulang. Ia lega, sapinya masih hidup.

Ketua Kelompok Ternak Kambing Sempu Sakti, Susilo menuturkan, anggota kelompoknya ada 23 orang. Setiap orang memiliki 5 sampai 30 kambing peranakan etawa (PE). Nilai kambing PE lebih tinggi dibandingkan kambing lain. Demikian pula susu segarnya. “Wajar setelah malamnya mengungsi, sebagian besar warga, khususnya laki-laki, paginya menengok ternak.”

Mereka khawatir barang hilang, juga atap kandang ambruk tak kuat menahan abu, pasir, dan material vulkanik lainnya.

Di Blitar, sama saja. Bahaya erupsi hingga radius 10 km seperti tak dihiraukan Sutikno, warga Desa Gambar Anyar, Ngelegok. Tahun lalu, 24 kambingnya dijual. Setidaknya ia mengantongi Rp 48 juta. Selain untuk biaya hidup, juga untuk perbaikan rumah dan kuliah anaknya di Surabaya.

Sentra sapi perah

Bagi Pemerintah Kabupaten Malang, sapi perah sangatlah penting. Populasi ternak di Kecamaan Ngantang 14.000 ekor dengan jumlah terdampak 10.000 ekor. Di Kecamatan Ksembon 5.000 ekor dengan jumlah terdampak 2.000 ekor.

Adapun populasi ternak di Kecamatan Pujon 22.000 ekor, tetapi terdampak ringan. Produksi susu asal ketiga kecamatan itu 250.000 liter per hari. Adapaun produksi susu sapi se-Jatim 1 juta liter per hari. Produksi itu menyumbang 52 persen produksi nasional.

“Produksi susu di Pujon sejak bencana ini turun 50 persen. Ngantang lebih parah. Yang jelas, produksi susu tahun ini akan terganggu,” kata Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Malang, Sujono.

Berdasarkan hitungan itu pula barangkali Menteri Pertanian Suswono, di Jakarta, menyerukan perlunya merelokasi ternak sapi ke daerah aman.

Seruan itu didukung Ketua Umum Dewan Persusuan Nasional sekaligus Ketua Umum Permimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Teguh Boediyana. Pemerintah perlu mengalokasikan dana tanggap darurat yang setiap saat bisa dimobilisasi untuk penanganan ternak korban bencana alam.

Pemkab Malang sadar betul dampak nasional kondisi ternak-ternak sapi perah itu. Karena itu, mereka mencari bantuan pakan ternak hingga Tuban, Kota Malang, dan Jember. Pakan datang sabtu sore dan langsung diserbu pemilik ternak.

Sabtu, setidaknya ada bantuan 5 truk rumput dan 27 ton kangkung cacah. Minggu, bantuan terus mengalir. “Namun, kami kesulitan mendistribusikan. Tenaga kami hanya 30 personel, sementara ternak yang dijangkau puluhan ribu ekor di tiga kecamatan,” ujar Sujono.

Ikatan kuat

Sebelum menghakimi peternak dengan cap sulit diatur, ngeyel, atau tak rasional, siapa saja hendaknya melihat dari sisi antropologis. Ada keterikatan kuat antara warga dengan ternak dan kebunnya.

Sebenarnya, itu sama dengan kultur barat dan perkotaan yang menitipkan binatang peliharaan di pet shop (toko binatang peliharaan) atau hotel khusus hewan sebelum ditinggal pergi.

“Perasaan itu pula yang dimiliki penguungsi letusan gunung api dengan ternaknya,” kata antropolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pande Made Kutanegara.

Pada masyarakat tradisional, keterikatan mereka dengan alam atau lingkungan sekitar sangat tinggi. Rasa kasih, peduli, dan tanggung jawab diberikan tak hanya bagi manusia, tetapi juga kepada makhluk hidup. Ternak dan kebun juga penyambung kedekatan warga dengan keluarga. Bahkan, dengan leluhur.

Kedekatan rasa itu diperkuat keterikatan ekonomi. Tingkat ekonomi masyarakat pedesaan umumnya lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan. Karena itu, aset terbatas tersebut dijaga sepenuh jiwa raga.

Jika sudah begini—bicara evakuasi—pemilik dan ternaknya merupakan satu paket. Itulah yang menjelaskan kenapa erupsi Kelud, termasuk Merapi pada 2010, tak menyisihkan ternak dari hati para pemilik. Ke Jombok Karajan, setiap pagi Tauhid menuju. Sapi’i adalah hidupnya dan keluarganya, juga anak-anaknya. ada ribuan peternak seperti mereka. [] Dahlia Irawati/Adi Sucipto/Defri Werdiono

*Dimuat di Harian Kompas, Senin, 17 Februari 2014 | Sumber foto: Tribunnews.com