Yogyakarta, PSKK UGM – “Peningkatan jumlah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta sebetulnya tidak mengkhawatirkan karena secara nasional angkanya masih lebih rendah daripada angka nasional. Namun, ini tidak kemudian membuat kita jadi terlena. Yogyakarta merupakan kota pendidikan, dan migrasi ke Yogyakarta itu luar biasa tinggi,” ujar Agus Joko Pitoyo, S.Si, MA., Ketua Tim Penyusun Grand Design Pembangunan Kependudukan saat rapat Koalisi Kependudukan, Senin (9/9) kemarin di Ruang Auditorium Gedung Masri Singarimbun, PSKK UGM.
Angka fertilitas (total fertility rate – TFR) di DIY relatif rendah bahkan cenderung turun secara signifikan sejak 1971 sampai 2010. Sensus 1971 menunjukkan TFR pada angka 4,76. Angka ini terus turun sampai angka 1,8 pada perhitungan sensus 2010. Sementara untuk laju pertumbuhan penduduk (LPP) mengalami naik-turun. Terakhir, pada periode 2000-2010 laju pertumbuhan penduduk naik menjadi 1,04 persen per tahun. Angka-angka tersebut menunjukkan, struktur penduduk DIY sesungguhnya sudah cukup lama berada pada Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS).
Meski demikian, hasil sensus penduduk 2010 perlu menjadi catatan. Kondisi kependudukan memasuki fase krusial dengan meningkatnya angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk di DIY. Pertumbuhan penduduk tinggi terjadi di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, khususnya di wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Di Kabupaten Sleman ada Kecamatan Depok yang diindikasi akan mengalami tekanan penduduk yang tinggi sehingga berdampak pada kecamatan lain di sekitarnya seperti Kecamatan Gamping, Mlati, Ngaglik, Ngemplak, Kalasan, dan Berbah. Sementara di Kabupaten Bantul, laju pertumbuhan penduduk tinggi berada di Kecamatan Banguntapan, Kasihan, dan Piyungan.
Selain persoalan laju pertumbuhan penduduk, angka kemiskinan di DIY ternyata masih tinggi bahkan berada di atas angka nasional. Oleh karena itu, Joko mengatakan, perlu adanya grand design atau rancangan strategis sebagai arah dalam merumuskan kebijakan dan program kependudukan DIY untuk masa yang akan datang maupun pencapaian target dalam bentuk Roadmap Pembangunan Kependudukan (RPK).
“Grand design ini sebetulnya disusun oleh lima kelompok kerja atau pokja yang terkait dengan pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk, pembangunan keluarga, pengarahan mobilitas, serta administrasi data kependudukan. Ini kan sempat tertahan selama satu tahun sehingga kami dari Koalisi Kependudukan coba untuk menginisiasi rancangan ini,” ujar Joko yang juga peneliti PSKK UGM.
Hal serupa disampaikan oleh Dra. Umi Haryati, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk, BKKBN DIY. Tujuan rapat koordinasi tersebut dalam rangka meminta input atau masukan bagi draft grand design yang telah disusun. “Harapannya akan ada masukan, tambahan informasi atau bahkan perbaikan data dari masing-masing dinas atau instansi terkait ya. Hasil finalnya nanti akan diserahkan ke pemerintah daerah dan selanjutnya menjadi acuan operasional kita semua.”
Grand design Pembangunan Kependudukan berisi target capaian sampai tahun 2035. Visi utama dari rancangan strategis ini adalah tercapainya penduduk berkualitas untuk mencapai DIY yang maju, berkarakter, mandiri, adil, sejahtera, berkelanjutan, dan berbudaya. Untuk pengendalian kuantitas, kondisi ideal yang diinginkan adalah dengan tercapainya penduduk stabil dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Sementara untuk pembangunan kualitas penduduk akan difokuskan pada aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Strategi pada aspek kesehatan dilakukan dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak serta angka kematian maternal atau angka kematian ibu melahirkan. Lalu untuk strategi pada aspek pendidikan, antara lain dengan memberikan akses kepada kelompok rentan khususnya penduduk miskin untuk memperoleh pendidikan maupun menurunkan gender gap akses pelayanan pendidikan untuk mengatasi kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. [] Media Center PSKK UGM