Tulisan Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004, ”Kartu Indonesia Sehat dan SJSN”, yang dimuat Kompas (4/9/2014), menceritakan ihwal gagasan pemerintahan Jokowi-JK melaksanakan program Kartu Indonesia Sehat dan keterkaitannya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Dengan cukup kritis, bagian awal tulisan itu mempertanyakan apakah realisasi Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan menggantikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dua poin penting lain yang disampaikan tulisan itu adalah JKN telah dilaksanakan ”tanpa diskriminasi” dan penamaan program (KIS atau JKN) tidaklah penting, yang terpenting baginya adalah keberlanjutan program. Tulisan Sulastomo memberikan pencerahan mengenai masa depan JKN apabila pemerintahan Jokowi-JK merealisasi KIS. Namun, tulisan itu kurang tepat dalam menjelaskan isu diskriminasi. Terkait nama program, tulisan itu menyisakan pertanyaan serius karena isu politisasi Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang mencakup jaminan kesehatan.
”Tanpa diskriminasi”?
Isu diskriminasi merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode distribusi kesejahteraan, yang mencakup pendekatan universal dan selektif. Pendekatan universal mendistribusikan kesejahteraan yang dibiayai oleh pemerintah kepada semua warga negara tanpa memperhatikan status sosialnya. Sementara itu, pendekatan selektif mendistribusikan kesejahteraan hanya untuk mereka yang termasuk dalam kategori miskin.
Pendekatan selektif dipilih dengan alasan metode ini bersifat efisien karena tidak mendistribusikan kesejahteraan kepada semua warga negara sehingga menghemat anggaran. Namun, pendekatan ini mempertajam klasifikasi sosial karena metode ini membedakan secara tegas antara warga negara miskin sebagai penerima dan nirmiskin sebagai bukan penerima. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memperlakukan kedua lapisan sosial tersebut secara berbeda. Perlakuan berbeda ini merupakan bentuk riil dari konsep diskriminasi.
Di dalam program JKN, pemerintah membayar premi asuransi kesehatan untuk warga negara miskin secara cuma-cuma. Pemerintah membayar premi untuk pegawai negeri dan tentara karena mereka bekerja untuk pemerintah. Mereka yang bekerja di perusahaan swasta mendapatkan asuransi karena preminya dibayar oleh perusahaan itu.
Sementara mereka yang tergolong tak miskin yang tak bekerja sebagai pegawai negeri, tentara, dan pekerja perusahaan swasta harus membayar premi dengan uang mereka sendiri. Ini menggambarkan JKN menggunakan pendekatan selektif. Sebagai program yang menggunakan pendekatan selektif, JKN menghadapi problem diskriminasi. Di sisi lain, pendekatan universal dipilih karena metode ini memperlakukan seluruh warga negara secara tidak berbeda. Risikonya, pemerintah harus menganggarkan biaya yang besar. Berdasarkan berbagai hasil studi (Larsen 2007; Rothstein 2005; Rothstein & Uslaner 2005) di negara kesejahteraan (welfare state) di kawasan Skandinavia, perlakuan nondiskriminatif ini meningkatkan dukungan masyarakat pada realisasi program pemerintah.
Politisasi PPKS
Mungkin betul yang dikatakan Sulastomo, ”apa arti sebuah nama”, kutipan terkenal dalam dialog pada Romeo dan Juliet karya William Shakespeare itu. Namun, dalam program pemerintah, nama memiliki makna politik yang sangat besar. Kasus yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin bisa membantu menjelaskan betapa besarnya makna politik nama program. Brasil dan Meksiko telah berhasil mengembangkan PPKS. Keberhasilan mereka telah ditiru oleh Indonesia dalam mengembangkan beberapa PPKS. Di antara keberhasilan itu, ada masalah politisasi program yang cukup kompleks.
Ketika Lula da Silva terpilih sebagai presiden Brasil, dia mengganti program Bolsa Escolayang dilaksanakan pendahulunya, Fernando Henrique Cardoso, dengan program Fome Zero. Bolsa Escola bertujuan meningkatkan akses rumah tangga miskin pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, sedangkan Fome Zero ingin mereduksi problem kelaparan. Beberapa bulan kemudian Lula mengubah nama Fome Zero menjadi Bolsa Familia, yang bertujuan sama dengan program Bolsa Escola. Perubahan ini dilakukan Lula karena Fome Zero gagal menjalankan misinya dan secara politis tidak akan menguntungkannya. Lula tidak akan pernah memiliki peluang memobilisasi pemilih menggunakan Fome Zero karena kegagalan program tersebut.
Bukan hanya itu, Lula jua membuat kementerian baru yang ditujukan untuk mengawal realisasi Bolsa Familia. Setelah memenangi pemilu kedua, secara jujur Lula menyatakan bahwa dia berutang budi kepada Bolsa Familia karena program itu telah membantunya menempati kursi presiden untuk kali keduanya.
Sama dengan yang dilakukan Lula, Ernesto Zedillo mengubah nama Pronasol yang dilaksanakan Presiden Carlos Salinas menjadi Progresa ketika Zedillo terpilih sebagai presiden di Meksiko. Nama Progresa pun diganti menjadi Oportunidades oleh Vicente Fox ketika Fox menggantikan Zedillo.
Secara politis, apa yang dilakukan Lula, Zedillo, dan Fox mungkin bisa dibenarkan, tetapi secara moral seharusnya itu tidak terjadi. Distribusi kesejahteraan seharusnya untuk meningkatkan kesetaraan, memperkuat integritas sosial, dan mereduksi kemiskinan (Goodin 1999), bukan untuk mewujudkan ambisi politik.
Yang penting dipikirkan oleh pemerintahan ke depan adalah bagaimana meletakkan fondasi kelembagaan yang mapan sehingga tujuan moral distribusi kesejahteraan bisa tercapai. Fondasi kelembagaan ini mencakup nama program, lembaga pelaksana program, dan aturan hukum yang mengaturnya. Dengan demikian, mulai dari pemerintahan Jokowi-JK sampai dengan pemerintahan selanjutnya, problem kelembagaan dan politisasi PPKS bisa diminimalkan. [] Mulyadi Sumarto, Dosen dan Peneliti Senior UGM
*Sumber: Harian KOMPAS, 29 September 2014 | Photo: Tribunnews