Category: Workshop

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

PELAYANAN PUBLIK: Era Teknologi Informasi, Pemerintah Dituntut Inovatif

Yogyakarta, PSKK UGM – Teknologi komunikasi dan informasi terus berkembang pesat. Di lain sisi, masyarakat pun semakin mempunyai kesadaran akan haknya mendapatkan pelayanan publik yang baik. Berangkat dari dua hal itu, pemerintah selaku penyedia layanan publik dituntut untuk terus berbenah diri, berinovasi, serta mampu merespon dengan cepat dan tepat.

Konsep kota cerdas (smart city) mulai diperkenalkan beberapa tahun belakangan ini. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar sudah mulai mempersiapkan sekaligus menerapkan sistem ini. Tujuannya tak lain untuk semakin meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Melalui integrasi teknologi komunikasi dan informasi serta konektivitas internet (Internet of Things), pemerintah dan masyarakat dapat berinteraksi secara efektif dan efisien di dalam mewujudkan tatanan kota yang lebih baik. Lalu bagaimana dengan Kota Yogyakarta?

Baru-baru ini Kota Yogyakarta dinobatkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai wilayah dengan pelayanan terbaik se-Indonesia bahkan menjadi role model wilayah penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu indikator penilaian yang penting adalah survei kepuasan masyarakat. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelayanan publik yang mereka terima.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menyampaikan, meski telah menerima beberapa penghargaan terkait pelayanan publik, Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan tetap terus berinovasi terlebih dengan adanya tuntutan untuk menjadi kota cerdas.

“Jika dulu masih dengan model konvensional seperti kotak aduan untuk menerima pengaduan masyarakat, maka dengan inovasi teknologi seperti aplikasi di ponsel pintar, pemerintah bisa dengan cepat menerima sekaligus merespon laporan masyarakat,” kata Hadna dalam Lokakarya Survei Pengaduan Masyarakat Pelayanan Pendidikan SMP Negeri Kota Yogyakarta, Senin (7/8) di Auditorium Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

Hadna menambahkan, sudah masanya dimana pemerintah terbuka dengan teknologi guna mewujudkan tata pemerintahan serta pelayanan publik yang cerdas. Dari sisi masyarakat pun demikian, perlu agar lebih familiar dan bijak di dalam menggunakan teknologi.

Dalam kesempatan yang sama, Wali Kota Yogyakarta, Drs. H. Haryadi Suyuti mengatakan, di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, perlu ada feedback atau respon dari masyarakat selaku pengguna pelayanan publik. Hingga saat ini Pemkot Yogyakarta sudah melaksanakan beragam kegiatan guna menjaring respon masyarakat, bahkan ada unit khusus yang bertugas menangani pengaduan masyarakat, yakni Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK).

“Penyelenggara pemerintahan tentu tidak dapat memuaskan semua pihak, namun bagaimana memanajemen pengaduan yang masuk itulah yang penting,” kata Haryadi.

Melalui lokakarya pengaduan masyarakat tentang pelayanan pendidikan ini, Haryadi berharap akan menghasilkan sesuatu yang konstruktif bagi pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah menengah pertama Kota Yogyakarta.

Adapun lokakarya ini merupakan bagian dari rangkaian Survei Pengaduan Masyarakat Pelayanan Pendidikan SMP Negeri Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh PSKK UGM bekerja sama dengan Bagian Organisasi Setda Kota Yogyakarta. Survei yang melibatkan 16 SMP Negeri Kota Yogyakarta ini nantinya akan menghasilkan beberapa output, yakni instrumen Survei Pengaduan Masyarakat, Indeks Pengaduan Masyarakat, draf prototipe janji perbaikan pelayanan, dan draf prototipe rekomendasi perbaikan pelayanan. [] Media Center PSKK UGM.

Terkendala Kasus Korupsi, Pelayanan KTP Elektronik Harus Berjalan Profesional

Yogyakarta, PSKK UGM – Kepentingan masyarakat adalah yang utama di dalam pelayanan publik. Berbicara pelayanan publik, maka pemerintah dituntut untuk memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Tak terkecuali dalam pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP.

Terlepas dari isu santer mengenai kasus penyelewengan dana pengadaan KTP elektronik di tingkat nasional, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si. menyampaikan, jangan sampai kasus tersebut mempengaruhi kinerja kementerian maupun dinas terkait di dalam memberikan pelayanan KTP elektronik kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat harus tetap dilakukan secara profesional. Cakupan perekaman KTP eletronik perlu terus diperluas. Bagaimanapun, basis data kependudukan yang tunggal melalui KTP elektronik merupakan kebutuhan mendesak.

“KTP sangat diperlukan karena selalu jadi syarat administratif utama, terlebih dalam waktu dekat ada banyak wilayah baik provinsi, kabupaten, maupun kota yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Penduduk membutuhkan KTP untuk menggunakan hak pilihnya,” kata Hadna dalam Lokakarya Pengelolaan Pengaduan Masyarakat: Pelayanan KTP Elektronik yang diselenggarakan PSKK UGM bersama Bagian Organisasi Pemerintah Kota Yogyakarta, Rabu (28/12) di Ruang Sekip, Gadjah Mada University Club Hotel.

Setidaknya ada 101 wilayah yang akan menyelenggarakan pilkada secara serentak pada 2017. Wilayah-wilayah tersebut terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Hadna menambahkan, berpartisipasi aktif untuk memilih pemimpin merupakan hak warga negara dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.

Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. dalam kesempatan sama menceritakan, saat melakukan Survei Pengaduan Masyarakat 2015: Pelayanan KTP Elektronik di Kota Yogyakarta, tim peneliti masih bertemu warga yang belum punya KTP elektronik. Minimnya ketersediaan blangko dari pusat menjadi persoalan yang tidak bisa dihindari. Sebanyak 8 juta blangko diberitakan gagal lelang akhir tahun ini karena berpotensi terkait persoalan hukum. Pengadaan blangko baru bisa diselesaikan pada pertengahan 2017.

Tidak tersedianya blangko jadi persoalan utama dalam pelayanan KTP elektronik. Waktu pelayanan yang dijanjikan selesai satu hari tidak pernah bisa tercapai. Belum lagi persoalan sistem jaringan yang sering down semakin menambah lama waktu pelayanan. Warga banyak mengeluhkan. Hal ini sesuai pula dengan hasil survei bahwa lamanya waktu pelayanan merupakan indikator yang paling banyak dikeluhkan oleh warga Kota Yogyakarta. Nilai Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM) indikator waktu pelayanan, yakni 32,19.

“Persoalan blangko dan jaringan berkaitan dengan kebijakan atau kewenangan dari pemerintah pusat sehingga seringkali dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah tidak bisa berbuat banyak. Maka, jaringan yang lancar serta kepastian ketersediaan blangko sebetulnya harus bisa dijamin oleh pemerintah pusat,” kata Triyas.

Selain indikator waktu pelayanan, indikator lain yang seringkali dikeluhkan oleh masyarakat adalah kualitas cetakan kartu. Belum lama dicetak, kartu mudah rusak. Kualitasnya tidak sebaik kartu SIM C. Nilai IPM untuk indikator kualitas kartu KTP elektronik adalah 26,83 disusul kemudian indikator prosedur pelayanan, yakni 26,71.

Triyas mengatakan, warga masih mengeluhkan soal persyaratan yang berbeda. Regulasi pusat melalui Surat Kementerian Dalam Negeri Nomor 471/1767/SJ mendorong penyederhanaan prosedur, tapi tidak semua daerah menerapkannya. Beberapa daerah masih meminta warganya untuk menunjukkan surat pengantar dari RT/RW dan kelurahan/kecamatan untuk merekam KTP elektronik. Di Kota Yogyakarta misalnya, perekaman KTP elektronik masih didasarkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 90 Tahun 2012 yang mensyaratkan surat pengantar RT/RW. Beberapa pihak menilai surat pengantar masih relevan dan penting karena RT/RW haruslah mengetahui siapa saja warga yang tinggal di wilayahnya.

“Agar tidak simpang siur, maka regulasi pusat dengan daerah harus konsisten. Di Kota Yogyakarta, ini sudah menjadi usulan untuk dibahas dalam Program Legislasi Daerah 2017. Semoga bisa segera selesai sehingga warga mendapatkan kepastian informasi soal syarat pembuatan KTP elektronik,” kata Triyas lagi. [] Media Center PSKK UGM.

LOKAKARYA SPM: Izin HO Hotel, Salah Satu yang Diadukan

Yogyakarta, PSKK UGM – Pembangunan hotel yang marak di Yogyakarta terus menjadi perhatian publik. Ketatnya persaingan bisnis penginapan tak ayal ikut mendorong pelanggaran administratif. Beberapa hotel dibangun tanpa dilengkapi syarat-syarat administratif seperti izin gangguan atau izin HO (Hinder Ordonantie).

Pada akhir 2015, menurut data Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, ada 104 izin pembangunan hotel yang diajukan sebelum penerapan moratorium. Selain itu, ada sekitar 84 Izin Memberikan Bangunan (IMB) yang terbit dan tercatat hingga April 2016. Meski moratorium berjalan dan hendak diperpanjang, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengatakan tidak bisa menolak untuk menerbitkan izin hotel selama persyaratan sudah lengkap.

Isu ini menjadi salah satu aduan yang mengemuka saat Lokakarya Survei Pengaduan Masyarakat (SPM) di Grha Pandawa, Komplek Balaikota Yogyakarta, Senin (5/9) lalu. Lokakarya yang diselenggarakan oleh Bagian Organisasi, Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada ini merupakan tahap awal dari studi penilaian kinerja pelayanan publik berdasarkan persepsi masyarakat pengguna layanan di lingkungan Pemkot Yogyakarta.

Kepala Bagian Organisasi Setda Kota Yogyakarta, Drs. Kris Sarjono Sutejo, M.M. menyampaikan, studi ini merupakan yang kedua kalinya. Survei pengaduan masyarakat yang pertama dilakukan pada 2015 untuk unit layanan kesehatan, yakni 18 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) se-Kota Yogyakarta.

“Tahun ini studi dilakukan terhadap layanan izin HO yang dijalankan oleh Dinas Perizinan dan layanan KTP elektronik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Harapannya, hasil studi ini menjadi masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan layanan bagi masyarakat,” kata Kris.

Kris menambahkan, selain permasalahan izin HO hotel, studi ini juga akan melihat persoalan terkait izin HO lainnya, misalnya yang terkait dengan jaminan atau kepastian waktu layanan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin HO? Ini menjadi agak sulit, mengingat izin HO adalah izin yang mensyaratkan izin pula.

Izin HO bisa berbeda-beda di tiap daerah karena merupakan kewenangan dari bupati atau walikota setempat untuk mengaturnya. Di Kota Yogyakarta, izin HO bisa dikeluarkan apabila pemilik usaha telah memiliki Izin Membangun Bangun Bangunan (IMBB), lalu persetujuan dari tetangga di sekitar tempat usaha dan diketahui oleh pejabat setempat, misalnya RT, RW, lurah, dan camat.

Kecuali usaha yang menimbulkan gangguan kecil, ada dokumen pengelolaan lingkungan yang harus juga dipenuhi. Izin HO bisa dikeluarkan apabila dia telah memiliki dokumen pengelolaan lingkungan seperti UPL/UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) atau AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) atau SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup). Izin HO juga ada yang mensyaratkan analisis dampak usaha terhadap kondisi lalu lintas di sekitarnya atau ANDALALIN, sampai rekomendasi dari Dinas Kebakaran.

“Jaminan waktu layanan yang diberikan oleh Dinas Perizinan bisa jadi meleset karena izin dari SKPD atau departemen lainnya belum selesai. Maka, perlu ada langkah bagaimana menyinkronkan berbagai izin yang tersebar di beberapa departemen,” kata Kris lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. menyampaikan studi pengaduan masyarakat kali ini bertujuan untuk: 1) menilai kinerja pelayanan publik berdasarkan persepsi masyarakat pengguna, 2) meningkatkan efektifitas komunikasi dan interaksi antara penyedia pelayanan publik dengan masyarakat pengguna, 3) memperkokoh dasar perencanaan kegiatan, pengembangan dan penganggaran kegiatan pelayanan  publik, 4) membantu pengambil keputusan dalam mengarahkan rencana dan alokasi sumber daya pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat, dan 5) membantu institusi pengawasan (internal dan eksternal) dalam melakukan fungsinya secara lebih efektif.

Usai acara pembukaan dan sambutan, para peserta lokakarya dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membahas tentang izin HO. Dari instansi pemerintah hadir perwakilan Dinas Perizinan dan Badan Lingkungan Hidup, kemudian dari kecamatan hadir perwakilan dari Danurejan, Gondokusuman, Gondomanan, Ngampilan, Tegalrejo, Kotagede, dan Gedongtengen. Dari asosiasi wilayah DIY, ada Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia), PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Tak ketinggalan, para pelaku usaha (perdagangan, hotel, restoran, dan tempat hiburan.

Sementara peserta di kelompok kedua yang membahas tentang pelayanan KTP elektronik terdiri dari perwakilan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perwakilan dari beberapa kecamatan, yakni Jetis, Kraton, Mantrijeron, Mergangsan, Pakualaman, Umbulharjo, dan Wirobarajan. Khusus untuk unsur perwakilan masyarakat, seperti LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Kota Yogyakarta, LO (Lembaga Ombudsman) DIY, LKY (Lembaga Konsumen Yogyakarta) serta beberapa warga, hadir di kedua kelompok tersebut. [] Media Center PSKK UGM.

Lakukan Monitoring Kawasan Borobudur, Data Demografi yang Valid Jadi Syarat

Yogyakarta, PSKK UGM – Kompleks Candi Borobudur yang meliputi Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, dan kawasan di sekitarnya terdaftar dalam World Heritage List No. 592 pada 1991. Seiring ditetapkannya kompleks candi sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan. Keilmuan, dan Kebudayaan UNESCO, maka upaya pelestarian, perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan kawasan menjadi tanggung jawab pemerintah. Upaya pemeliharaan dan perawatan ini tidak lepas dari pengawasan UNESCO sehingga pemerintah wajib memberikan laporan secara berkala. Laporan diberikan kepada UNESCO sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah selaku pengelola selama enam tahun sekali. Untuk mengisi formulir dalam laporan berkala atau periodic reporting, perlu dilakukan berbagai kegiatan pemantauan (monitoring) di Kompleks Candi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur (BKB) sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki beberapa kegiatan pemantauan, antara lain 1) pemantauan keterawatan batu candi, 2) pemantauan stabilitas struktur dan bukit Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon, 3) pemantauan dampak lingkungan, 4) pemantauan geohidrologi, dan 5) pemantauan kawasan Candi Borobudur.

Hal itu disampaikan oleh Drs. Marsis Sutopo. M.Si., Kepala BKB saat membuka Workshop Pengolahan Analisis Data Demografi di Magelang, Senin (30/5). Marsis juga menambahkan, kegiatan pemantauan dan evaluasi (monitoring and evaluation) sebetulnya telah dilakukan sejak 2010, namun saat itu belum ada dasar hukum yang menjadi pedoman dilaksanakannya kegiatan tersebut. Baru pada 2014, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan sekitarnya yang mengatur pelaksanaan pengendalian dan pemanfaatan tata ruang di Kompleks Candi Borobudur.

“Hingga 2015, kegiatan monitoring ini masih menemui kendala dalam pelaksanaannya. Belum ada kajian guna menentukan data apa saja yang diperlukan, metode pengambilan data, hingga bagaimana menganalisis data hasil monitoring,” kata Marsis.

Processed with VSCO with a5 preset
Processed with VSCO with a5 preset

Selain itu, keterbatasan kompetensi sumber daya manusia di dalam Tim Monitoring Kawasan Borobudur juga menjadi kendala tersendiri, terutama dalam menganalisis data yang diperoleh dari lapangan. Oleh karena itu, BKB mengundang peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), yakni Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. dan Eddy Kiswanto, M.Si. sebagai narasumber dalam kegiatan workshop. Tujuannya tak lain untuk memberikan masukan kepada Tim Monitoring Kawasan Borobudur terkait metode perolehan, pengolahan, dan analisis data terutama data demografi kependudukan.

Marsis menambahkan, contoh analisis yang diperlukan, antara lain tentang tekanan pertumbuhan penduduk terhadap lahan, persepsi masyarakat terhadap pelestarian cagar budaya dan Kawasan Borobudur menurut tingkat pendidikan, maupun analisis data terkait lainnya.

“Faktor demografi merupakan variabel penting untuk dibahas karena selama ini data demografi yang didapat dari observasi lapangan belum bisa dianalisis sebagaimana mestinya,” kata Marsis lagi.

Sementara itu, Eddy dalam kesempatan itu menyampaikan, ada tiga hal yang perlu untuk diperhatikan di dalam mengolah data demografi. Pertama, sumber data antarwilayah haruslah sama, baik itu data dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), Badan Pusat Statistik (BPS), maupun survei lainnya. Kedua, data yang ditampilkan bisa diperbandingkan antarwilayah dan rentang tahun-tahun tertentu. Kemudian yang ketiga, bagaimana cara menampilkan data.

“BKB, terutama tim pemantauan perlu memastikan bahwa sumber data yang digunakan adalah data valid sehingga saat ditampilkan data tersebut konsisten,” kata Eddy.

Hal itu penting, mengingat data Laporan Tahunan Monitoring dan BPS dirasa kurang valid bagi Eddy. Jumlah penduduk Desa Borobudur pada 2013 sebanyak 8.807 jiwa, hanya bertambah 3 jiwa pada 2014 menjadi 8.810 jiwa. Sementara jumlah penduduk perempuan dari 2013 ke 2014 juga tetap, yakni sebanyak 4.402 jiwa. Berbeda jika dibandingkan dengan data penduduk 2012 sebanyak 8.276 jiwa. Ada penambahan penduduk sebanyak 531 jiwa pada 2013 atau dengan persentase pertumbuhan penduduk 6,3 persen.

Eddy menambahkan, perlu penyediaan data yang lebih valid oleh Tim Pemantauan BKB. Caranya, bisa dengan melakukan pemberdayaan aparat desa. “Misalnya, melaluI aktivitas pendampingan terhadap para aparat desa dalam menyediakan data dasar kependudukan. Aktivitas ini bisa menjadi bagian dari program CSR atau tanggung jawab sosial pengelola Kawasan Borobudur.” [] Media Center PSKK UGM | Photo/dok.Balai Konservasi Borobudur

Sepanjang Juli-September, UPIK Terima 902 Pengaduan

Yogyakarta, PSKK UGM – Laporan tri semester Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) Pemerintah Kota Yogyakarta pada periode Juli-September 2015 menunjukkan, ada 902 pesan atau pengaduan dari masyarakat yang diterima. Berdasarkan isinya, pesan-pesan ini dibagi menjadi empat kategori, yakni keluhan, informasi, pertanyaan, dan usul atau saran.

Tercatat, ada 23 keluhan yang paling banyak ditujukan kepada Dinas Kesehatan (6 keluhan), Dinas Kimpraswil (4 keluhan), dan Dinas Kepegawaian (3 keluhan). Sementara untuk kategori pertanyaan dan informasi, Bidang Humas dan Informasi Pemkot Yogyakarta yang paling banyak mendapatkannya. Jumlah pesan berupa pertanyaan sebanyak 94 dan informasi sebanyak 131 pesan. Untuk kategori usul, banyak ditujukan kepada Dinas Kimpraswil, yakni sebanyak 18 pesan.

“Jika melihat responsivitasnya, ada 832 pesan yang telah direspon oleh para operator UPIK di instansi masing-masing. Namun, catatan kami masih menunjukkan masih ada 54 pesan yang direspon,” kata Kepala Bagian Humas Pemkot Yogyakarta, Tri Hastono saat Rapat Koordinasi Operator UPIK Pemkot Yogyakarta yang berlangsung di Auditorium Dinas Perijinan Kota Yogyakarta, Kamis (22/10).

Salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dinilai cepat merespon atau menjawab pesan masyarakat adalah Dinas Perhubungan. Selama tri semester ini, Dinas Perhubungan menerima 37 pesan berupa informasi, 2 keluhan, 10 pertanyaan, dan 14 usul atau saran. Rata-rata kecepatan respon operator UPIK di Dinas Perhubungan, yakni selama 1 jam 14 menit.

Melalui rapat koordinasi ini Tri mengingatkan kembali tentang pentingnya fasilitas layanan pengaduan publik baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Fasilitas layanan ini guna menciptakan komunikasi yang efektif sehingga harapan-harapan masyarakat sebagai pengguna layanan dengan pemerintah sebagai lembaga penyedia layanan bisa ketemu. Maka, penting bagi para operator UPIK untuk terus meningkatkan kinerja pelayanannya.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. juga memaparkan beberapa hasil Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) UPIK Tahun 2015. Tidak begitu berbeda dengan hasil survei pada 2013 dan 2014, sebagian besar masyarakat masih menggunakan media layanan pesan singkat atau sms untuk mengakses UPIK. Sementara untuk penggunaan media lainnya seperti melalui email, website, telepon, dan datang langsung ke humas, persentasenya kecil.

Tyas juga menambahkan, dari sisi responsivitas, sebanyak 84.4 persen para pengguna layanan telah menerima respon jawaban dari operator UPIK terhadap pengaduan yang dilayangkan. Persentase ini terus naik mulai 2013 (56.8 persen) dan 2014 (74.0 persen). Namun, jika dilihat dari sesuai atau tidaknya jawaban yang diterima, persentasenya menurun, yakni dari 73.5 persen (2013) ke 72.2 persen (2014) hingga ke 68.8 persen (2015).

Selain melakukan pengukuran terhadap masyarakat pengguna layanan, survei juga dilakukan terhadap para operator UPIK. Para operator UPIK di masing-masing SKPD turut memberikan penilaian terhadap layanan admin UPIK yang berada di Bagian Humas dan Informasi. Tentang ketepatan pesan, indeks penilaian turun dibanding tahun sebelumnya, yakni dari 78.69 turun ke 71.60. Sementara untuk prosedur pengisian formulir, nilai indeksnya naik dari 71.65 ke 75.00.

“Sama halnya dengan penilaian untuk jaringan UPIK. Ada peningkatan yang cukup signifikan di sini, artinya jaringannya semakin baik. Pada 2013 nilai indeksnya 61.54 naik menjadi 73.78 pada 2014, dan naik lagi ke 77.00 pada 2015,” kata Tyas lagi.

Melalui studi ini ada beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh PSKK UGM. Beberapa di antaranya, yakni secara kelembagaan diperlukan regulasi yang lebih kuat agar Bagian Humas dan Informasi mendapatkan kewenangan yang lebih besar. Tidak hanya sebagai penampung keluhan, aduan sehingga terlihat seperti lip service semata, namun juga perlu ada kewenangan yang lebih besar. Selain itu, admin UPIK juga perlu untuk meningkatkan kapasitasnya dalam pengetahuan mengenai tugas pokok dan fungsi dari masing-masing SKPD. Ini bertujuan agar aduan atau keluhan dari masyarakat itu benar-benar dapat diteruskan kepada instansi atau SKPD yang tepat. [] Media Center PSKK UGM.

Tahap Perumusan Masalah Berpengaruh Besar Pada Analisis Kebijakan

Yogyakarta, PSKK UGM – Merumuskan masalah dan isu kebijakan merupakan tahap awal yang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh proses analisis kebijakan. Kurang tepat atau salah dalam mengidentifikasi masalah, niscaya kebijakan yang dihasilkan pun tidak cukup mampu menyelesaikan permasalahan atau bahkan memunculkan permasalahan yang baru.

Hal tersebut mengemuka saat sesi diskusi “Teknik Perumusan Masalah Kebijakan” dalam Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (8/10) lalu di Hotel Santhika Yogyakarta. Hadir sebagai pemateri, Kepala PSKK UGM, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna.

Hadna menyampaikan, ada beberapa tantangan pada tahap ini, antara lain mengidentifikasi masalah dengan tepat, menghilangkan bahan atau informasi yang tidak relevan, memiliki data yang kuat, fokus pada inti permasalahan, menemukan faktor-faktor yang penting, dan memastikan agar definisi masalah jauh dari ambiguitas.

Seoarang pakar kebijakan publik dari University of Pittsburgh, William N. Dunn dalam bukunya berjudul “Public Policy Analysis: An Introduction” pernah menuliskan, sedikitnya ada empat karakteristik suatu masalah dapat disebut sebagai masalah publik. Pertama, ketergantung di antara berbagai masalah. Permasalahan kebijakan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Dia biasanya merupakan bagian dari seluruh rangkaian masalah yang terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan holistik yang memandang setiap permasalahan sebagai hal yang tak terpisahkan.

Kedua, subyektivitas masalah kebijakan. Masalah kebijakan berangkat dari hasil pemikiran yang dibuat pada lingkungan atau kondisi eksternal tertentu. Maka, penting untuk membedakan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan. Mengapa? Masalah merupakan abstraksi yang timbul dari transformasi pengalaman ke dalam penilaian manusia sehingga sangat mungkin bersifat subjektif. Ketiga, sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan memang merupakan produk penilaian subyektif namun, bisa didefinisikan sebagai kondisi sosial yang obyektif.

“Masalah tidaklah berada di luar manusia dan kelompoknya. Artinya, permasalahan apa yang ada di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan,” jelas Hadna.

Ketiga, dinamika masalah kebijakan. Solusi terhadap masalah bisa berubah. Masalah publik yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama pula, terutama saat konteks lingkungannya berbeda. Lebih lanjut, Hadna menambahkan, masalah yang sama juga belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama, terutama jika konteks waktunya berbeda. Solusi masalah bisa menjadi usang meskipun masalah itu belum usang.

Selain karakteristik kebijakan, Dunn juga mengelompokkan masalah kebijakan ke dalam tiga, yakni masalah yang sederhana (well structured), masalah yang agak sederhana (moderately structured), dan masalah yang rumit (ill structured). Pengelompokkan ini bergantung pada tingkat kompleksitasnya, sejauh apa suatu masalah saling terkait satu sama lain. Kebanyakan, masalah kebijakan merupakan masalah yang rumit.

“Pada kenyataannya, masalah-masalah publik cenderung bersifat rumit sehingga menuntut para analis kebijakan atau policy maker untuk bisa mengembangkan alternatif kebijakan, sekaligus membuat pilihan kebijakan yang tepat,” jelas Hadna lagi.

Ada empat fase di dalam perumusan masalah yang biasa dilakukan oleh para analis kebijakan. Perumusan masalah biasanya dimulai dengan melihat situasi masalah. Para analis kebijakan akan melihat rangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidakpuasan publik atau merasa ada sesuatu yang salah. Di sinilah para analis terlibat dalam fase yang pertama, yaitu pencarian masalah (problem search). Fase kedua adalah pendefinisian masalah (problem definition) yang berpindah pada masalah substantif, yakni dengan mendefinisikan masalah tersebut dalam istilah yang paling mendasar dan umum. Fase ketiga adalah spesifikasi masalah (problem specification). Pada fase ini, masalah substantif berubah menjadi formal. Masalah telah dirumuskan secara spesifik dan jelas. Kemudian fase keempat adalah pengenalan masalah (problem sensing).

Melalui sesi ini, Hadna berharap para peserta workshop yang merupakan para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN dan ketua pusat studi kependudukan dari seluruh Indonesia bisa memahami ciri-ciri masalah publik, memahami pengertian isu dan masalah kebijakan serta klasifikasi masalah kebijakan, memahami tahapan dalam perumusan masalah, hingga memahami metode-metode perumusan masalah kebijakan dan bagaimana menjalankannya dalam praktik. [] Media Center PSKK UGM

BKKBN Bersama PSKK UGM Gelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan

Yogyakarta, PSKK UGM – Selama empat hari, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada menggelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Adapun para pesertanya terdiri dari para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN serta para Ketua Pusat Studi Kependudukan dari seluruh Indonesia.

Rangkaian kegiatan workshop dibuka oleh Kepala BKKBN. Dr. Surya Chandra Surapatty, MPH., Ph.D. Dalam arahannya, Surya menyampaikan tentang rencana program “Kampung KB” yang telah mendapat restu dari Presiden RI, Joko Widodo. Program ini khusus ditujukan bagi wilayah-wilayah yang kumuh, miskin, dan padat penduduknya seperti di kampung-kampung nelayan. Melalui program ini, BKKBN hadir untuk menyampaikan dan menggerakkan KKBPK atau Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga.

Untuk menunjang itu, diperlukanlah data-data mengenai keluarga dan BKKBN telah memulainya. Terhitung akhir Mei 2015, BKKBN telah selesai melakukan Pendataan Keluarga (PK) 2015 di seluruh wilayah Indonesia. Data yang dihasilkan tersebut diharapkan valid dan terpercaya karena akan menjadi basis bagi pengambilan keputusan (evidence based) maupun kebijakan yang pro rakyat. Terlebih lagi untuk bisa memberi solusi guna mencapai peluang bonus demografi yang diidam-idamkan oleh Indonesia.

“Pendataan Keluarga ini sejalan dengan salah satu tugas BKKBN untuk mengembangkan sistem informasi keluarga. Tidak berhenti di tahun ini saja, kita akan menugaskan lagi para petugas KB, penyuluh KB untuk melakukan pemutakhiran data kependudukan. Data ini bisa menjadi pembanding data-data lain yang dikeluarkan oleh BPS,” kata Surya, Rabu (7/10) malam lalu.

Selain tantangan bonus demografi, Indonesia juga menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diberlakukan mulai 2016. Surya mengingatkan, bukan hanya barang dan jasa yang bisa keluar serta masuk ke Indonesia, namun juga tenaga kerja.

Setidaknya ada delapan sektor pekerjaan yang telah disepakati dalam penerapan MEA 2015, yakni engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Para tenaga kerja professional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa bebas masuk dan bekerja di negara-negara anggota ASEAN lainnya.

“Para bidan, dokter maupun perawat dari Bangladesh, Filipina, maupun negara-negara ASEAN lainnya bisa bekerja di sini. Dunia kerja akan semakin kompetitif dan sebetulnya kita patut khawatir karena rata-rata lama sekolah di Indonesia dilaporkan hanya 7,5 tahun. Artinya, sebagian besar hanya tamatan sekolah dasar,” kata Surya lagi.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada 2013 lalu yang menunjukkan, angkatan kerja Indonesia memang sebagian besar berpendidikan rendah. Ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Sebanyak 33 juta lebih merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), kemudian 22 juta berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sekitar 19 juta berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menyampaikan, masalah kependudukan merupakan hal yang penting sehingga harus ditempatkan kembali sebagai “arus utama” pembangunan. Untuk itulah rangkaian workshop ini dilakukan.

Beberapa sesi workshop, antara lain penjelasan tentang Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK), latihan analisis hasil Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK), konsep analisis kebijakan, latihan merumuskan masalah kebijakan kependudukan, teknik pengembangan alternatif dan kriteria kebijakan kependudukan, penyusunan rekomendasi kebijakan kependudukan, sampai policy dialog tentang kebijakan kependudukan. [] Media Center PSKK UGM | Photo. dok PSKK UGM

PEMBANGUNAN BERWAWASAN KEPENDUDUKAN: Pembangunan Manusia Indonesia Perlu Mengintegrasikan PBK

Yogyakarta, PSKK UGM – Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK) Daerah Istimewa Yogyakarta menurut uji coba pengukuran indeks yang dilakukan pada 2012 lalu dinilai baik, yakni 0,61. Angka tersebut bahkan tertinggi di atas rata-rata nasional, yakni 0,503. Menyusul kemudian di bawahnya, Provinsi Bali dengan indeks 0,59 serta Provinsi Bangka Belitung, dan DKI Jakarta yang memiliki angka indeks sama, yakni 0,56.

Ada 17 provinsi yang memiliki angka indeks di atas angka indek nasional. Namun, masih cukup banyak provinsi yang indeksnya belum memuaskan, antara lain Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan lainnya.

Hal itu disampaikan oleh Agus Joko Pitoyo, M.A., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat “Workshop Penyusunan Tata Kelola Pembangunan Berbasis Pada Kependudukan di Kabupaten Kepulauan Talaud”, beberapa waktu lalu di Ruang Pertemuan II, Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur.

Joko mengatakan, ada 11 variabel penyusun indeks yang harapannya bisa menjadi indikator nasional untuk mengukur pembangunan Indonesia yang berwawasan kependudukan. Kesebelas variabel tersebut, antara lain angka prevalensi kontrasepsi (CPR), pelayanan bagi ibu selama masa kehamilan (antenatal), imunisasi, Angka Partisipasi Sekolah (APM), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), persentase luas areal hutan, persentase limbah tradisional, persentase APBD pendidikan, persentase APBD kesehatan, persentase alokasi anggaran pemberdayaan perempuan, dan TPAK perempuan.

“Bagaimana kemudian agar bisa meningkat? Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap sebelas variabel penyusun IPBK tadi yang berkaitan dengan anggaran pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, partisipasi sekolah. Ini perlu ditata dengan baik bahkan jika diperlukan, ada pendampingan ke arah sana,” ujar Joko.

Sebelas variabel penyusun IPBK menurut Joko merupakan turunan dari lima dimensi di dalam pembangunan berwawasan kependudukan. Pertama, integrasi, yakni terintegrasinya model pembangunan berdasarkan data-data kependudukan. Kedua, partisipasi karena penduduk merupakan subjek, dan memiliki partisipasi di dalam pembangunan. Ketiga, pro people, yakni penduduk sebagai objek harus bisa merasakan hasil-hasil dari pembangunan. Keempat, pembangunan berkelanjutan (sustainability development), dan kelima adalah kesetaraan.

IPBK tidak hanya bicara tentang aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan seperti dimensi di dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). IPBK juga mencermati aspek kesetaraan serta aspek pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Meski begitu, hasil studi ini menunjukkan, IPBK memiliki korelasi positif dengan HDI. Agar HDI bagus, kualitas pembangunan manusia di suatu wilayah dikatakan baik, maka proses pembangunan perlu untuk mengintegrasikan Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK).

“Ke depan, PBK perlu menjadi dasar di dalam pembangunan. Ini juga penting untuk terus diwacanakan karena berada di level proses yang akan memengaruhi pembangunan manusia. Keberhasilan pembangunan di dalam pembangunan berwawasan kependudukan akan memengaruhi keberhasilan di dalam pembangunan manusia,” jelas Joko.

Di tingkat internasional, PBK telah menjadi dasar pembangunan di semua negara di dunia. Ini bermula pada Konferensi Kependudukan Dunia (ICPD) di Kairo pada 1994 yang memunculkan kesepakatan tentang people centered development atau pembangunan berwawasan kependudukan (PBK). Kesepakatan ini akan dievaluasi pada 2015, maka muncul kemudian istilah Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs.

Joko menambahkan, jika ingin mencapai MDGs maka jangan sampai meninggalkan isu pembangunan berwawasan kependudukan. “Jadi MDGs itu merupakan akhir dari tujuan pembangunan kependudukan. Tiap-tiap negara harus menempatkan isu kependudukan sebagai basis dari pembangunan.” [] Media Center PSKK UGM / Photo: Istimewa

Penguatan Tata Kelola Pemerintah Daerah, Pemkab Kepulauan Talaud dan PSKK UGM Rintis Kerjasama

Yogyakarta, PSKK UGM – Kini, penguatan tata kelola pemerintah daerah merupakan hal yang tak terelakkan bagi pemerintah daerah baik di level provinsi, kabupaten, maupun kota. Sebagai komitmen untuk mendorong hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mulai merintis kerjasama.

Penguatan tata kelola pemerintah daerah diperlukan untuk mendorong hadirnya pemerintah daerah yang efektif dalam mengelola mandat publik sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara prima. Hal itu disampaikan oleh Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala PSKK UGM dalam sambutannya saat “Workshop Penyusunan Tata Kelola Pembangunan Berbasis Pada Kependudukan di Kabupaten Kepulauan Talaud”, Senin (3/11) di Ruang Pertemuan II, Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur.

Secara umum, proses penguatan tata kelola pemerintah daerah dapat diarahkan untuk mereproduksi dua kapasitas dasar. Pertama, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah untuk memperbesar size of governance. Penguatan tata kelola pemerintah daerah digunakan sebagai instrument pembangunan kapasitas untuk mengembangkan kompetensi pemerintah daerah dalam mengelola kewenangan, urusan, tugas pokok dan fungsi, keuangan daerah, rentang kendali (span of control), serta berbagai kegiatan pengelolaan sektor publik. Kedua, kapasitas kelembagaan pemerintah untuk memperbesar size of market.

“Pada poin kedua inilah penguatan tata kelola pemerintah daerah menjadi wahana untuk mengkonsolidasikan sumber daya daerah untuk memperkuat kemandirian ekonomi lokal,” ujar Hadna.

Respon positif disampaikan pula oleh Petrus Simon Tuange, M.Si., Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud dalam kesempatan yang sama. Baginya, rangkaian workshop yang berlangsung selama dua hari itu merupakan momentum yang sangat strategis bagi Kabupaten Kepulauan Talaud. Dia berharap PSKK UGM bisa menjadi mitra pendamping Pemkab Kepulauan Talaud dalam melakukan penguatan tata kelola pemerintah daerah.

“Dalam melakukan tugas membangun Kabupaten Kepulauan Talaud, pemerintah daerah cukup banyak menghadapi berbagai kendala, dan tantangan. Melalui kesempatan ini, kami berharap ada masukan terhadap blue print pembangunan Kabupaten Kepulauan Talaud,” ujar Petrus.

Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan salah satu kabupaten perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti wilayah perbatasan NKRI lainnya, Kabupaten Kepulauan Talaud juga menghadapi persoalan klasik yang sama. Aspek kesejahteraan masyarakat belum bisa dipenuhi di sana. Masyarakat bahkan cenderung terfasilitasi oleh negara lain.

“Jarak dengan negara tetangga, Filipina tidak terlampau jauh. Lima jam saja kita sudah bisa sampai di General Santos City. Jadi mencari beras ke Gensan masih lebih mudah daripada ke Manado. Selain persoalan akses, kami juga menghadapi persoalan kegiatan penangkapan ilegal oleh kapal-kapal asing atau illegal fishing. Prihatin, jangan sampai nelayan kita diusir dari laut dan pulaunya sendiri oleh nelayan Filipina,” ujar Petrus.

Sebagai wilayah kepulauan, dengan wilayah laut lebih luas daripada daratan, Kabupaten Kepulauan Talaud juga menghadapi persoalan untuk memaksimalkan ketersediaan fasilitas dan akses pendidikan, dan kesehatan bagi masyarakat. Ketersediaan tenaga pendidik atau guru misalnya. Tidak banyak guru yang mau mengajar di pulau-pulau perbatasan. Faktor kesejahteraan serta sulitnya akses transportasi lagi-lagi menjadi alasan utamanya.

Rencana untuk menaikkan insentif agar mampu menarik minat guru untuk tinggal di daerah kepulauan pun dirasa tidak cukup efektif. Akses transportasi begitu sulit. Kapal perintis yang membawa pasokan bahan pangan hanya bisa menjangkau pulau-pulau tersebut paling tidak dua minggu sekali. Itupun apabila cuaca, dan laut sedang bersahabat. Jika tidak, potensi terjadinya krisis pangan di depan mata.

Dalam bidang kesehatan juga demikian. Kebutuhan masyarakat untuk jasa tenaga dokter spesialis cukup banyak namun masih sulit dipenuhi meski sudah menjalin kerjasama dengan para dokter spesialis di Manado. Penyebaran tenaga dokter di puskesmas di daerah kepulauan tidak merata. Ada banyak puskesmas yang hingga kini belum memiliki tenaga dokter.

Beragam persoalan, kebutuhan, dan sejumlah konsepsi dasar dibahas sekaligus dipetakan di dalam workshop ini. Temuan-temuan tersebut lalu digunakan sebagai instrumen untuk proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Kepulauan Talaud. Pada hari kedua, Pemkab Kepulauan Talaud dan PSKK UGM bersama-sama merumuskan tawaran program dalam rangka menyusun proses perencanaan pembangunan berbasis pada wawasan kependudukan. [] Media Center PSKK UGM