Category: Pelatihan / Lokakarya

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

PSKK UGM Bersama ARI NUS Kembali Melakukan Studi Panel CHAMPSEA

Yogyakarta, PSKK UGM – Bersama The Asia Research Institute, National University of Singapore, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan kembali melakukan Studi Child Health and Migrant Parents in South East Asia (CHAMPSEA) yang kedua. Studi CHAMPSEA berangkat dari situasi dimana para pekerja migran yang sebagian besar perempuan harus bepergian jauh serta meninggalkan sejumlah anggota keluarga, tak terkecuali anak-anak mereka.

Ada begitu banyak pekerja migran dari negara-negara pengirim di Asia Tenggara seperti Filipina, Indonesia, Thailand, maupun Vietnam. Sebagian besar dari mereka tetap rutin mengirimkan uang (remitansi) bagi sanak saudara di kampung halaman. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan, remitansi dari TKI sepanjang tahun 2015 bahkan mampu menembus angka Rp100 triliun, yakni mencapai 8,6 US Dollar atau setara dengan Rp119 triliun.

Meski rutin mengirimkan uang, kepulangan para pekerja migran cenderung jarang terjadi. Mereka bisa bepergian selama setahun, dua tahun bahkan lebih pada suatu waktu. Dampak multidimensi pada keluarga yang ditinggal inilah yang masih sedikit diteliti.

Dr. Lucy Jordan selaku manajer data dalam penelitian ini mengatakan, studi CHAMPSEA II dirancang untuk menghasilkan panel data dengan kualitas yang baik tentang dampak dari absennya orang tua karena harus bekerja ke luar negeri terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak-anak.

“Proyek penelitian ini hendak melihat apakah ada dampak yang berbeda apabila yang absen adalah ayah saja, ibu saja, atau ayah dan ibu. Lalu, apakah yang ditinggalkan adalah anak perempuan atau anak laki-laki,” kata Lucy saat Pelatihan Asisten Lapangan Studi CHAMPSEA II di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Jumat (22/7) lalu.

Lucy menambahkan, tahapan survei CHAMPSEA II didesain untuk meneliti pertanyaan-pertanyaan, misalnya apakah migrasi dari satu atau kedua orang tua pada awal masa kecil anak akan berdampak pada kesehatan fisik dan/atau kesejahteraan psikologis anak-anak di anak usia tengah atau remaja muda? Lalu, apakah dampak tersebut positif atau negatif jika dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang orang tuanya tidak melakukan migrasi? Dan apakah migrasi dari satu atau kedua orang tua pada anak usia tengah akan berdampak pada pencapaian pendidikan dan pekerjaan pada masa remaja muda, serta beberapa pertanyaan lainnya.

“Pada proyek penelitian ini juga ada tahapan kualitatif di saat pembicaraan lanjutan dengan rumah tangga sampel. Topik-topik yang telah ditentukan dalam temuan-temuan kuantitatif nantinya akan dieksplorasi lagi secara lebih mendalam,” ujar Lucy lagi.

Sebelumnya, studi CHAMPSEA I dilakukan pada 2008 di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Studi di masing-masing negara ini setidaknya memakan waktu sekitar tiga bulan untuk pengumpulan data di lapangan. Sekitar seribu rumah tangga di masing-masing negara berhasil diwawancarai. Berbeda dengan studi sebelumnya, CHAMPSEA II hanya dilakukan di Filipina, yakni di Laguna dan Bulacan, serta di Indonesia, yakni di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pakar Migrasi PSKK UGM, Dr. Sukamdi, M.Sc. yang juga berlaku sebagai koordinator penelitian CHAMPSEA di Indonesia (In-Country Coordinator) dalam kesempatan yang sama menyampaikan, untuk wilayah Jawa Timur dipilih Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Tulungagung. Kemudian untuk wilayah Jawa Barat dipilih Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi. Secara garis besar, Jawa Timur dipilih sebagai wilayah penelitian karena memiliki sejarah cukup panjang dalam migrasi, sementara Jawa Barat relatif lebih pendek.

Sukamdi menambahkan, di Ponorogo dan Tulungagung kita bisa mendapatkan data yang lebih variatif. Mengapa? Pertama, karena daerah tujuan para pekerja migran dari sana relatif tersebar dan bervariasi. Ada yang ke Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura, dan negara-negara tujuan lainnya. Kedua, pekerja migrannya pun bervariasi dalam arti, laki-laki maupun perempuan sama-sama banyak yang melakukan migrasi.

“Terutama Ponorogo ya, sejarah migrasinya itu bahkan sudah terjadi sejak masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Tradisi migrasi sudah begitu melekat pada masyarakat Ponorogo dan sudah sampai generasi keempat. Maka, muncul kemudian yang dinamakan intergenerational migration,” jelas Sukamdi.

Untuk Sukabumi dan Tasikmalaya merupakan pilihan wilayah penelitian yang relatif baru. Variasi daerah tujuan migrasi memang tidak sevariatif wilayah-wilayah asal migran di Jawa Timur. Sebagian besar pekerja bermigrasi ke Arab Saudi, meski saat ini sudah mulai bervariasi dengan bergeser ke negara tujuan seperti Taiwan dan Hong Kong. Selain itu, karena daerah tujuannya ke Arab Saudi, maka sudah bisa diperkirakan bahwa sebagian besar pekerja migran adalah perempuan dan bekerja sebagai domestic worker atau pembantu rumah tangga (PRT). [] Media Center PSKK UGM

SUKESGA 2016: Mengukur Perilaku Kesehatan dan Gizi Rumah Tangga Miskin

Yogyakarta, PSKK UGM – Telepon genggam atau handphone bukanlah lagi barang mewah. Handphone sudah menjadi perangkat komunikasi yang lazim dimiliki, bahkan menjadi kebutuhan utama bagi banyak orang. Semakin luasnya kepemilikan handphone termasuk pada rumah tangga miskin, menjadi latar belakang dijalankannya Program SMS Pesan Sehat oleh pemerintah.

Layanan pesan singkat atau SMS (short message service) dinilai sebagai salah satu alternatif strategi dalam meningkatkan pengetahuan serta mengubah perilaku kesehatan dan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu balita yang menerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).

Di beberapa negara, program pengiriman SMS berisi informasi kesehatan dan gizi terbukti meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan dengan biaya rendah. Di Zanzibar, wilayah kepulauan di sebelah timur pesisir Afrika misalnya, pengiriman SMS turut meningkatkan jumlah ibu melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan dan jumlah ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Untuk program kesehatan yang lain, pengiriman SMS juga mampu meningkatkan jumlah perokok yang memutuskan berhenti merokok di Inggris.

Sementara di Finlandia, program serupa juga mampu mendorong masyarakatnya untuk menurunkan berat badan. Hampir sebagian besar negera-negara maju menghadapi persoalan obesitas atau kegemukan. SMS kesehatan yang dikirim secara rutin terbukti mampu mendorong kesadaran masyarakat untuk mengurangi asupan makanan yang dikonsumsi, terutama yang berkolesterol tinggi.

Melihat pengalaman di negara lain, maka layanan pesan kesehatan melalui SMS ini dipertimbangkan untuk bisa diterapkan pula di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Maria Aruan, Staf Monitoring and Evaluation, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) saat Pelatihan Asisten Lapangan Survei Kesehatan dan Gizi Keluarga (SUKESGA) 2016 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada di Hotel LPP Garden, Kamis (28/4).

“Di beberapa negara sudah dicoba dan telah terbukti meningkatkan pengetahuan, bahkan ada beberapa yang sampai pada perubahan perilaku. Kami memilih berdasarkan studi-studi tadi sehingga ini merupakan studi yang berdasarkan bukti atau evidence-based,” kata Maria.

Melihat latar belakang studi, Maria menambahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan kurang gizi yang krusial. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 menunjukkan, angka anak-anak bertubuh pendek (stunting) di Indonesia masih cukup tinggi, yakni 37 persen. Padahal, menurut Badan Kesehatan Dunia atau WHO, persoalan kesehatan yang persentasenya di atas 30 persen dikategorikan sebagai persoalan kesehatan masyarakat atau public health. Maka, kasus-kasus stunting di Indonesia merupakan persoalan public health.

“Indonesia memiliki PKH sebagai program untuk mengatasi persoalan kurang gizi yang dihadapi oleh rumah tangga miskin. Kami lalu membuat intervensi melalui Program SMS Pesan Sehat untuk mempengaruhi pengetahuan dan perilaku kesehatan rumah tangga miskin. Bagaimana dampaknya, itulah yang akan kita cari hasilnya melalui survei ini,” jelas Maria.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Eddy Kiswanto, M.Si. menjelaskan, Program SMS Pesan Sehat saat ini masihlah tahap uji coba. Oleh karena itu, belum semua wilayah atau penerima manfaat PKH menerima layanan pesan kesehatan ini. Ada tiga wilayah yang diuji coba, yakni Pekanbaru di Riau serta Makassar dan Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan.

Eddy menambahkan, sebelum Program SMS Pesan Sehat digulirkan, telah dilakukan beberapa studi pendahuluan. Pada Juni 2014 misalnya, ada penelitian kualitatif. Pasca penelitian tersebut, tepatnya pda September sampai November 2014, dirancanglah isi pesan sms kesehatan. Kemudian pada Oktober sampai Desember 2014, dilakukan baseline survey dan usai survei, SMS Pesan Sehat mulai dikirimkan pada kurun Maret 2015 sampai April 2016. Terhitung ada 13 bulan program SMS Pesan Sehat dijalankan.

Rangkaian kegiatan SUKESGA 2016 yang dilakukan oleh PSKK UGM kali ini tak lain merupakan survei pengukuran terhadap program SMS Pesan Sehat. Apakah SMS yang dikirimkan berpengaruh terhadap rumah tangga penerima program? Survei ini menerapkan CAPI (Computer-assisted Personal Interviewing), yakni penggunaan tablet sebagai pengganti kuesioner. Selain itu, survei dirancang dengan randomize control trial (RCT) yang bersifat eksperimental, dengan pemilihan responden secara acak, serta adanya daerah perlakuan (treatment) dan daerah kontrol. Ada satu wilayah yang menerima program dan ada wilayah yang tidak. Kedua wilayah ini kemudian akan dilihat perbedaannya.

“Ada pengaruhnya tidak program pengiriman SMS itu? Jika sama saja maka harus dilihat lagi apakah program yang dijalankan sudah tepat atau belum. Tetapi, jika ditemukan dengan adanya SMS itu lalu ada peningkatan kesadaran untuk memeriksakan kehamilan atau mengkonsumsi pil zat besi pada ibu hamil misalnya, maka kita bisa mengukur pengaruh dari SMS itu,” jelas Eddy. [] Media Center PSKK UGM

SPRT 2015: Kajian dan Verifikasi Terhadap Pemutakhiran BDT

Yogyakarta, PSKK UGM – Setelah beberapa waktu sempat tertunda, Badan Pusat Statistik akhirnya merilis angka kemiskinan Indonesia periode September 2014 sampai Maret 2015. Hasilnya cukup mengejutkan. Naiknya harga sejumlah komoditas pasca kenaikan harga bahan bakar minyak disebut melahirkan 860 ribu orang miskin baru dalam kurun waktu enam bulan. Angka kemiskinan pada Maret 2015 naik jika dibandingkan dengan September 2014 sebesar 11,22 persen atau 28,59 juta jiwa.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. mengatakan, harapan pemerintahan Jokowi saat ini adalah bisa menurunkan angka kemiskinan sampai 4 persen selama periode lima tahunnya. Berharap dari 10,96 persen turun menjadi 7 persen. Namun, baru beberapa bulan, angka kemiskinan justru naik lagi.

Ada berbagai macam program pengentasan kemiskinan yang diluncurkan. Sejumlah dana atau anggaran juga telah digelontorkan untuk menunjang jalannya program.

“Namun, persentase penurunan angka kemiskinan masih lamban. Untuk itu ada hal-hal di lapangan yang perlu kita lihat, yang rupanya memengaruhi angka kemiskinan,” kata Made saat membuka Training Asisten Lapangan Survei Pendapatan Rumah Tangga (SPRT) 2015 di Hotel Grand Tjokro, Jumat (18/9) lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Analis Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Junedi Sikumbang juga menyampaikan, pemerintah memiliki beragam program-program perlindungan sosial mulai dari Bantuan Siswa Miskin, Program Keluarga Harapan, Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Jaminan Kesehatan Nasional, Program Subsidi Beras bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (Raskin), serta beberapa program lainnya.

Agar program-program tersebut bisa berjalan, maka dibutuhkan Basis Data Terpadu (BDT) sebagai dasar penetapan sasaran program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan baik dalam skala nasional maupun daerah.

“Salah satu mandat TNP2K adalah mengelola BDT yang bersumber dari Pendataan Progam Perlindungan Sosial (PPLS) 2011. Ada 25 juta rumah tangga dalam data ini yang kemudian diolah TNP2K dan diberikan peringkat atau desio, khususnya bagi rumah tangga yang pendapatannya 40 persen terbawah,” kata Junedi.

Mengingat dinamisnya perubahan yang terjadi di masyarakat, maka pemutakhiran terhadap BDT pun perlu dilakukan. Pemutakhiran dilakukan guna mempertajam ketepatan sasaran, yakni dengan mengurangi exclusion error (kesalahan karena tidak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya masuk ke dalam data) dan inclusion error (kesalahan karena memasukkan rumah tangga yang tidak miskin ke dalam data) serta mengakomodasi perubahan karakteristik rumah tangga.

Junedi menambahkan, baru-baru ini BPS telah selesai melakukan pemutakhiran data yang secara nasional kini berjumlah 28 juta rumah tangga. Terkait hal itu, TNP2K bekerja sama dengan PSKK UGM melakukan kajian atau verifikasi terhadap pemutakhiran data yang sudah dilakukan BPS. Kajian dilakukan di 10 provinsi dengan mengambil sampel 4.500 dari data yang dikumpulkan oleh BPS.

“Data ini menjadi masukan bagi perbaikan-perbaikan data agar program-program selanjutnya bisa lebih tepat sasaran, efektif, serta efisien.  Maka, kami mengharapkan teman-teman asisten lapangan nanti bisa benar-benar idealis dalam mengumpulkan data,” kata Junedi lagi.

Sementara itu, Made kembali menambahkan, ada perubahan yang cukup signifikan dalam pemutakhiran BDT kali ini, yakni adanya partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam uji publik, yakni melalui Forum Konsultasi Publik (FKP).

Perubahan ini tak ayal membawa beberapa konsekuensi. BPS sebagai pengumpul data tidak lagi sepenuhnya memiliki tanggung jawab terhadap kualitas data maupun penentuan calon RTS atau rumah tangga sasaran. Hal ini menjadi tanggung jawab pemda dan masyarakat. Selain itu, pemda juga “harus” menggunakan dan memanfaatkan data tersebut dalam kebijakan program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan di daerah masing-masing.

Meski demikian, Made menilai pemutakhiran BDT ini merupakan satu langkah yang sangat strategis untuk mendapatkan data tunggal yang valid sebagai dasar kebijakan dalam perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan agar lebih cepat dan terarah.

“Semoga terobosan dalam kiat pemutakhiran data ini bisa secara signifikan juga membantu penurunan angka kemiskinan di Indonesia,” kata Made lagi. [] Media Center PSKK UGM

Pengelolaan RTH Kota Yogyakarta Kembali Dievaluasi

Yogyakarta, PSKK UGM — Proporsi ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah perkotaan paling sedikit 30 persen dari luas kota secara keseluruhan. Klausul ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebagai salah satu sarana lingkungan, RTH berperan penting untuk meningkatkan kualitas udara, menunjang kelestarian air dan tanah, serta fungsi penting lainnya. Lalu bagaimana keberadaan RTH di Kota Yogyakarta? Apakah sudah proporsional?

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. mengatakan, seperti kota-kota besar lainnya, Kota Yogyakarta pun menghadapi persoalan yang sama tentang daya dukung wilayah (carrying capacity). Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, Kota Yogyakarta menghadapi pesatnya pembangunan fasilitas fisik dan sosial. Tak ayal, daya dukung wilayah khususnya daya dukung lingkungan mengalami degradasi.

“Ada tekanan yang cukup tinggi terhadap pemanfaatan ruang kota, misalnya untuk pembangunan berbagai fasilitas seperti perumahan, hotel, pusat perbelanjaan, dan beragam fasilitas lainnya. Ini berdampak pada berkurangnya ruang-ruang terbuka atau open space yang berupa RTH maupun ruang terbuka non hijau,” kata Made.

Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 3.250 hektar atau 1.02 persen dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kota Yogyakarta Tahun 2014, penggunaan lahan memang didominasi oleh lahan non pertanian, yakni seluas 2.755,27 hektar untuk perumahan maupun industri atau jasa. Sedangkan luas lahan untuk sawah terus berkurang hingga 18 hektar, yakni dari 83 hektar pada 2013 menjadi 65 hektar pada 2014.

Berbeda halnya dengan luas wilayah untuk RTH yang sedikit demi sedikit mengalami peningkatan. Setiap kecamatan di Kota Yogyakarta memiliki lahan yang difungsikan untuk RTH baik yang dibangun oleh pemerintah (RTH publik) maupun yang penyediaan serta pengelolaannya menjadi tanggung jawab swasta dan masyarakat (RTH privat). RTH publik paling luas berada di Kecamatan Gondomanan, yakni 141,53 hektar. Sementara RTH privat paling luas berada di Kecamatan Umbulharjo, yakni 197,77 hektar.

Adapun total luas RTH publik di Kota Yogyakarta pada 2014 mencapai 628,98 hektar dan untuk RTH privat mencapai 561,65 hektar. Khusus untuk RTH publik mengalami peningkatan cukup baik setelah pada 2010 luas lahannya hanya 557,90 atau 17,17 persen dari luas wilayah Kota Yogyakarta.

Menurut Made, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki komitmen terhadap permasalahan ruang terbuka hijau. Program-program yang menunjang terciptanya RTH publik dan privat menjadi prioritas dalam pembangunan wilayah Kota Yogyakarta. Beberapa regulasi yang progresif juga pernah dikeluarkan seperti Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat. Namun begitu, areal RTH tetap perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya guna mendorong keasrian dan kenyamanan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota wisata.

Berkaitan dengan pengelolaan RTH yang diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tersebut, pada tahun ini PSKK UGM kembali melakukan Studi Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Utilitas.

“Hasil atau pemanfaatan indeks menjadi cermin untuk menilai bagaimana kinerja dari pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi atau SKPD yang terkait. Masyarakat pengguna layanan akan memberi penilaian, apakah mereka puas atau tidak puas,” kata Triyastuti Setianingrum, M.Sc., selaku peneliti kegiatan ini saat pelatihan asisten lapangan di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Selasa (16/6) lalu.

Studi pengukuran IKM terhadap RTH pernah dilakukan sebelumnya, yakni pada 2011 dan 2013. Studi yang dilakukan pada 2011 dan 2013 tersebut berbasis kawasan dimana para asisten lapangan khususnya enumerator diminta untuk melihat berapa ruas jalan yang memiliki pohon perindang dan taman. Kini 2015, studi dilakukan berdasarkan wilayah atau per kecamatan karena RTH memang diharapkan ada di setiap wilayah tersebut.

Selama ini menurut Triyas, banyak orang yang mengeluhkan tentang maraknya pembangunan hotel daripada sarana penunjang publik lainnya. Proporsi bagi RTH dinilai masih minim. “Melalui studi pengukuran indeks ini akan ketahuan dimana kekurangannya. Ini juga menjadi penilaian apakah layanan pemerintah khususnya dalam pengelolaan RTH sudah baik atau masih buruk.”

Selain tentang RTH, ada beberapa unit layanan lainnya yang juga akan diukur, yakni pengelolaan sampah pada tempat penampungan sampah sementara (TPSS) yang diselenggarakan oleh BLH, pengelolaan pasar yang diselenggarakan oleh Dinas Pengelolaan Pasar, pengelolaan perparkiran yang diselenggarakan oleh Dinas Perhubungan, serta pengelolaan ketertiban, kebersihan, keamanan, dan parkir di Malioboro yang diselenggarakan oleh UPT Malioboro.

“Indeks ini juga penting untuk memudahkan kita untuk membandingkan kualitas layanan antarinstansi pemerintah dan antarwaktu sehingga idealnya pengukuran indeks dilakukan secara rutin. Adapun hasil studi akan menjadi bahan Pemkot Yogyakarta untuk mengevaluasi kinerja sekaligus rekomendasi untuk kebijakan lebih lanjut,” kata Triyas lagi. [] Media Center PSKK UGM

Tangani Kasus Kekerasan, Kemen PP-PA Miliki Standar Pelayanan Minimal

Yogyakarta, PSKK UGM — Fenomena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sudah sangat banyak. Belum lama ini, kasus kematian Angeline di Bali dan kasus dijatuhinya vonis hukuman mati terhadap anak di bawah umur di Gunung Sitoli ramai menjadi perbincangan publik. Kasus-kasus seperti ini terus menunjukkan kepada kita, betapa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap tindak kekerasan.

Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP PA), Dra. Luly Altruiswaty, M.Sc. mengatakan, dalam hal ini pemerintah memang harus hadir dalam melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat. Tapi, pemerintah pun harus mendapatkan dukungan atau support dari masyarakat seluruhnya dalam upaya memberantas tindak kekerasan.

“Setiap elemen masyarakat perlu meningkatkan kepedulian dan kepekaannya. Tidak sedikit kasus kekerasan yang terjadi berulang karena kontrol sosial yang lemah. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama menghidupkan kepedulian dan kepekaan itu kembali,” kata Luly saat membuka pelatihan enumerator untuk Studi Pemetaan Costing Standar Pelayanan Minimal Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Ruang Seminar G-7, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Selasa (16/6) lalu.

Urusan mengenai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan wajib walaupun bukan merupakan bagian dari pelayanan dasar. Maka, Luly menambahkan, upaya terkait penanganan kekerasan haruslah terintegrasi baik lintas kementerian maupun lembaga. Persoalan dan penanganan kasus kekerasan bukanlah entitas tunggal, namun sangat kompleks, mengikat, dan lintas bidang pembangunan.

Kemen PP-PA sudah mengupayakan untuk memiliki aturan atau kebijakan mengenai standar pelayanan minimal bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Aturan itu tertuang dalam Permen PP-PA Nomor 1 Tahun 2010. Di aturan tersebut, ada lima jenis layanan yang harus diberikan unit pelayanan terpadu kepada perempuan dan anak korban kekerasan, antara lain pelayanan penanganan laporan atau pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Luly menambahkan, khusus untuk layanan pemulangan dan reintegrasi sosial menjadi penting bagi perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Para korban biasanya juga terkait dengan pengalaman eksploitasi seksual.

“Agar bisa kembali ke masyarakat, maka penerimaannya perlu diupayakan. Seringkali tidak mudah karena pemberian stigma justru diberikan oleh masyarakat. Pola pikir seperti itu yang perlu diubah dengan meningkatkan empati atau kepedulian tadi,” kata Luly lagi.

Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan, Kemen PP-PA, Rohika Kurniadi Sari, SH., M.Si. dalam kesempatan yang sama mengatakan, Permen PP-PA No. 1/2010 telah dilengkapi dengan standar pembiayaan bagi korban kekerasan dan sudah berjalan hampir lima tahun. Dalam perjalanannya, banyak kebijakan yang harus disinergikan dalam upaya pelayanan bagi korban kekerasan dengan kebijakan nasional.

Sempat melakukan studi penilaian pada 2014, Kemen PP-PA menemukan bahwa kesulitan terbesar yang dihadapi oleh daerah dalam alokasi anggaran, yakni menghitung estimasi biaya penanganan kasus untuk setiap korban yang ditangani. Fleksibilitas kebutuhan penanganan kasus di lapangan memang terbukti memberikan kesulitan tersendiri dalam pengusulan anggaran.

“Kendala lain adalah standar biaya yang ada dalam SPM belum dipakai secara optimal oleh daerah untuk mengusulkan anggaran karena perbedaan standar biaya di setiap daerah” kata Rohika.

Meski ada perbedaan standar biaya, kebutuhan-kebutuhan biaya untuk penanganan sebenarnya hampir sama, misalnya untuk pendampingan korban, pelayanan kesehatan secara fisik, seksual hingga pembuatan visum, hingga proses hukum, pelayanan konseling, pemulangan korban dan reintegrasi. Semua pembiayaan ini pun sebenarnya telah diakomodasi besarannya dalam standar biaya di SPM, namun memang bergantung pada jenis kasus yang ditangani.

“Jika ingin memberikan perlindungan yang optimal, komprehensif maka standar pembiayaan menjadi sangat penting untuk diketahui oleh pemerintah. Di sinilah alasan mengapa studi soal pemetaan pembiayaan atau costing SPM yang dilakukan bersama PSKK UGM ini penting,” kata Rohika lagi. [] Media Center PSKK UGM.

STUDI PEMETAAN KEMISKINAN: Berlanjut, Ada Lima Distrik di Kabupaten Fakfak yang Dikaji

Yogyakarta, PSKK UGM — Studi mengenai kemiskinan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat kembali dilakukan. Tahun ini, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Fakfak bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan studi pemetaan penduduk miskin (Poverty Mapping) tahap kedua.

Pada 2014 lalu, studi pemetaan penduduk miskin tahap pertama dilakukan di empat distrik, antara lain Distrik Fakfak, Fakfak Tengah, Fakfak Barat, dan Kramongmongga. Jumlah kampung atau kelurahan yang didatangi sebanyak 51 kampung. Sementara total jumlah keluarga mencapai 9.915 keluarga. Sementara pada tahap kedua ini, ada lima distrik yang akan dikaji, antara lain Distrik Fakfak Timur, Bomberay, Karas, Kokas, dan Teluk Patipi. Jumlah kampung atau kelurahan sebanyak 47 kampung dan mencakup 4.466 keluarga.

Peneliti PSKK UGM, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si., dalam “Pelatihan Asisten Lapangan Sensus Kemiskinan Kabupaten Fakfak, Papua Barat”, Senin (4/5) lalu mengatakan, rangkaian studi ini sebelumnya telah diawali dengan penyusunan parameter dan indikator kemiskinan berbasis lokal. Kemudian, uji coba terhadap parameter dan indikator pun telah dilakukan guna mengetahui apakah telah signifikan dan konsisten dalam mengukur kemiskinan.

“Kegiatan selanjutnya adalah melakukan pemetaan kemiskinan di Kabupaten Fakfak. Pemetaan ini untuk memberikan gambaran awal yang menyeluruh atau snapshot tentang sebaran penduduk miskin berdasarkan tingkat wilayah administrasi tertentu serta pada kurun waktu tertentu,” kata Made.

Studi pemetaan akan dilakukan selama sembilan bulan, yakni mulai April sampai Desember 2015. Adapun metode yang digunakan adalah dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan menerapkan sensus terhadap keluarga, sementara untuk metode kualitatifnya dengan wawancara mendalam (in-depth interview).

Ada beberapa data pokok tentang kemiskinan di dalam sensus, antara lain kondisi perumahan, akses pelayanan, informasi anggota keluarga, indikator kesejahteraan, dan pengeluaran keluarga baik pangan maunpun nonpangan. Sementara pada wawancara mendalam akan melibatkan beberapa elemen seperti masyarakat miskin, masyarakat tidak miskin, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, aparat kampung, aparat pemerintah distrik, dan instansi terkait lainnya. Studi juga akan dilengkapi dengan obeservasi lapangan serta analisis data sekunder.

Pada dasarnya, metode pemetaan penduduk miskin ini menggunakan model penghitungan statistik, yakni dengan memperkirakan pengeluaran rumah tangga dalam sensus. Hasil estimasi tentang ukuran-ukuran kesejahteraan rumah tangga hasil sensus kemudian diagregasikan menjadi ukuran-ukuran kemiskinan dan ketimpangan pada tingkat kampung.

Made menambahkan, peta kemiskinan yang nantinya dihasilkan akan menunjukkan dimana saja persebaran “kantong-kantong” penduduk miskin di Kabupaten Fakfak. Lebih jauh, peta tersebut juga akan menampilkan data statistik penduduk miskin baik secara relatif, yakni persentase penduduk miskin maupun secara absolut, yakni jumlah penduduk miskin. Melalui data-data tersebut, Pemerintah Kabupaten Fakfak bisa mengetahui sektor-sektor mana saja yang perlu diintervensi dalam rangka mengentaskan kemiskinan di wilayahnya.

“Kemiskinan bisa terjadi karena wilayah yang terisolir, tidak meratanya bantuan atau program pemerintah, rendahnya akses terhadap sumber daya, bahkan persoalan kultur. Sifat malas, konsumtif, tidak kreatif misalnya, menjadi penghambat bagi masyarakat untuk bangkit memperbaiki taraf hidupnya,” jelas Made.

Dalam pelatihan yang dihadiri oleh 16 enumerator dan 4 supervisor itu, Made kembali menegaskan tentang pentingnya keseriusan dan konsistensi para asisten lapangan di dalam mengumpulkan data. “Ini adalah action research. Data yang dihasilkan akan menjadi basis data bagi Pemda Kabupaten Fakfak untuk menyusun serta mengambil kebijakan. Oleh karena itu, peran asisten lapangan sangatlah penting.” [] Media Center PSKK UGM.

SPAK 2014: Lengkapi Data Rumah Tangga, TNP2K dan PSKK UGM Survey di Enam Provinsi

Yogyakarta, PSKK UGM – Penduduk di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, khususnya di wilayah perairan pernah dikabarkan belum menerima bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Penduduk yang tinggal di Kecamatan Muara Padang, Kecamatan Muara Sugihan, dan Kecamatan Banyuasin II ini kesulitan untuk menjangkau kantor camat yang jauh. Bahkan, jika dihitung, maka penduduk di Kecamatan Muara Sugihan sampai harus mengeluarkan biaya transportasi lebih tinggi dibanding jumlah dana BLSM yang akan diterima.

Persoalan serupa juga dihadapi oleh penduduk di Pulau Sangiang, Kabupaten Serang, Banten. Tingginya ongkos transportasi akhirnya mendorong PT. Pos Kota Cilegon “jemput bola”, mengantarkan bantuan langsung ke penduduk di Sangiang. Sementara di Kabupaten Jember, Jawa Timur, penduduk sampai menempuh jarak puluhan kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan bantuan. Ada yang menggunakan kendaraan umum, sewa jasa ojek, sampai carter mobil.

Efektivitas cakupan dari program-program perlindungan sosial bagi masyarakat di Indonesia terus menjadi perhatian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Salah satu hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program-program perlindungan sosial menunjukkan, rumah tangga miskin dan rentan miskin terutama yang tinggal jauh dari pusat kecamatan menghadapi kesulitan akses yang cukup kompleks. Sebagian akhirnya harus mengeluarkan biaya lebih untuk ongkos transportasi sehingga besar bantuan yang diterima tidak benar-benar utuh.

Di banyak negara berkembang, penggunaan teknologi informasi dinilai berhasil karena mampu mengurangi biaya pelaksanaan skema perlindungan sosial. Brasil misalnya, melalui program Bolsa Familia dinilai berhasil menurunkan biaya transaksi dari total 14,7 persen menjadi 2,6 persen dengan menggabungkan beberapa keuntungan program perlindungan sosial ke dalam satu kartu pembayaran elektronik.

Di Kolombia juga demikian. Pada Agustus 2006, sekitar sepertiga kotapraja di sana tidak memiliki akses ke perbankan. Pemerintah akhirnya merespon dengan pendirian Banca de las Oportunidades (BdO) yang bertujuan untuk mempromosikan akses layanan keuangan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Pada 2013 lalu, sekitar 99 persen kotapraja disebut telah memiliki akses ke layanan keuangan yang memudahkan masyarakat memeroleh manfaat dari program perlindungan sosial.

Model terobosan ini tentu memerlukan data informasi personal yang jelas dan pasti sehingga dapat dibangun suatu sistem yang aman dari upaya peretasan, dan penyalahgunaan dana publik. Prosedur untuk mendapatkan informasi ini atau yang dikenal dengan KYC (know your customer), akan digunakan untuk verifikasi identitas penerima manfaat perlindungan sosial. Selain itu, diperlukan pula informasi mengenai tingkat pemahaman tentang penggunaan aplikasi telepon selular. Kedua keping informasi inilah yang belum tersedia di dalam Basis Data Terpadu (BDT) TNP2K.

Koordinator Bidang Evaluasi TNP2K Rizal Adi Prima saat training Survey Pencatatan Administrasi Kependudukan 2014 di LPP Convention Hotel Rabu (15/10) lalu mengatakan, BDT dikumpulkan pada tahun 2011, dan jumlahnya sekitar seperempat dari total jumlah penduduk Indonesia. Ada 100 juta basis data individu di BDT yang saat itu dikumpulkan dalam kurun waktu satu bulan oleh 120 ribu tenaga.

“Jadi bisa dibayangkan bagaimana proses pengumpulan data tersebut. Wajar jika kemudian ada cukup banyak kesulitan yang dihadapi terkait basis data. Misalnya, validitas nama. Harusnya namanya Eddy, namun yang tertulis Edi. Padahal, bisa jadi ada sepuluh orang bernama Edi di satu desa. Nah, saat program berjalan dibutuhkan informasi nama yang jelas dan pasti. Jangan sampai berbeda. Inilah kemudian kendala yang dihadapi,” ujar Riza.

Ke depan, program-program terkait pengentasan kemiskinan akan menggunakan fasilitas layanan perbankan. Penyaluran dana bantuan pemerintah melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) ini dimulai dengan pilot project penyaluran dana Program Keluarga Harapan (PKH) pada akhir 2014 nanti. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan koordinasi antara Bank Indonesia, Kementerian Sosial, Bappenas, TPN2K, serta bank-bank peserta pilot project.

“Untuk menggunakan fasilitas layanan perbankan ini membutuhkan keterangan identitas yang valid mulai dari nama, alamat, tempat tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan lain sebagainya,” jelas Riza lagi.

Maka, dalam rangka mengumpulkan informasi guna melengkapi data rumah tangga yang telah ada di BDT, Kelompok Kerja Bidang Monitoring dan Evaluasi TNP2K dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan survey terhadap sekitar 2201 rumah tangga miskin yang terdata sebagai penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS), Survei dilakukan di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Barat. [] Media Center PSKK UGM

Survei Kualitas Pendidikan Anak Memasuki Tahap Endline

Yogyakarta, PSKK UGM – Selama lima hari, yakni mulai 27 sampai 31 Januari 2014, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan pelatihan bagi 185 asisten lapangan. Pelatihan ini merupakan bagian dari rangkaian Survei Kualitas Pendidikan Anak (SKPA) yang dilaksanakan sejak Februari 2013. Bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), survei kali ini bertujuan untuk memantau proses penyaluran dana manfaat program Bantuan Siswa Miskin (BSM).

Eddy Kiswanto, M.Si., Peneliti PSKK UGM yang juga merupakan wakil peneliti utama (Co-PI) mengatakan, ada tiga tahap dalam rangkaian survei ini. Pada tahap pertama atau baseline, tim peneliti melakukan survei terhadap rumah tangga calon penerima BSM. Kemudian pada tahap selanjutnya di bulan Oktober, midline adalah survei terhadap rumah tangga penerima kartu BSM. Jadi, melihat bagaimana distribusi penyaluran kartu BSM.

“Kita kini sudah sampai pada tahap endline. Melalui survei ini, kita ingin melihat distribusi penyaluran dana BSM. Bagaimana proses penyaluran dana sampai ke rumah tangga? Lalu, apa saja manfaat yang diterima oleh rumah tangga?” ujar Eddy saat pembukaan pelatihan asisten lapangan SKPA Tahap Endline di Hotel Griya Persada, Kaliurang, Senin lalu (27/01).

Idealnya, dana BSM yang diterima oleh masing-masing rumah tangga digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak. Eddy menambahkan, ada mekanisme penyaluran BSM yang berbeda. Jika sebelumnya dana BSM disalurkan melalui sekolah, maka saat ini dana tersebut langsung dilimpahkan kepada rumah tangga yang anaknya terdaftar sebagai penerima BSM.

“Maka, tidak bisa kemudian dikontrol satu per satu penggunaan dananya. Nah, di sinilah saya kira survei kita kali ini merupakan survei yang sangat strategis. Kita akan melihat bagaimana penyaluran dan pemanfaatan dana tersebut,” jelas Eddy lagi.

Sementara itu, Mohammad Herman dari Tim Monitoring and Evaluation TNP2K dalam kesempatan yang sama menyampaikan, di awal Desember lalu, Program for International Student Assessment (PISA) merilis hasil survei tentang kemampuan siswa dan sistem pendidikan. Survei yang dilaksanakan pada 2012 ini melibatkan 510 ribu siswa berusia 15 sampai 16 tahun dari 65 negara dunia, sebagai responden. Ada tiga bidang yang dilihat dalam melihat kemampuan siswa, yakni matematika, sains, dan membaca.

Temuan survei PISA cukup menarik. Indonesia berada di peringkat 64 atau kedua dari bawah untuk kemampuan matematika. Hanya kurang dari satu persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang matematika. Peringkat ini sangat jauh dari negara tetangga, Singapura yang menempati peringkat kedua untuk kemampuan matematika. Meski begitu, pada poin penilaian yang lain, sebagian besar responden di Indonesia menyatakan “bahagia di sekolah”. Persentasenya mencapai 96 persen dan menempatkan Indonesia di peringkat pertama.

“Jadi sangat jauh ya rentang atau gap antara Indonesia dengan negara-negara lainnya di Asia. Bahkan untuk Vietnam, kemampuan akademik siswa-siswanya berada di peringkat delapan. Indonesia hanya menang satu peringkat di atas Peru,” ujar Herman.

Cukup ironis, kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah namun para siswa merasa bahagia. Ini menunjukkan, ada yang salah di dalam sistem pendidikan yang berjalan selama ini. Herman menambahkan, semoga ini bisa menjadi motivasi dalam menyukseskan program BSM. Ke depan, tidak hanya memberi peluang bagi siswa untuk dapat mengakses pendidikan ke level yang lebih tinggi, harapannya program BSM juga bisa turut memperbaiki kualitas pendidikan baik di dalam bidang matematika, membaca maupun sains.

“Dan melalui survei ini pula, harapannya kami bisa mendapatkan banyak masukan. Maka, kualitas data lapangan di dalam survei ini sangat penting. Hasil analisisnya akan menjadi masukan sekaligus acuan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan langkah,” jelas Herman lagi. [] Media Center PSKK UGM.

Ribuan SMS Pengaduan BSM Masuk ke LAPOR!

Yogyakarta, PSKK UGM – Terkait dengan banyaknya persoalan dalam penerapan program-program kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak 2013, pemerintah memberlakukan sistem pengaduan publik melalui Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat atau LAPOR! Sistem layanan pengaduan terpadu ini dikelola oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), bekerja sama dengan Ombudsman Republik Indonesia.

Masyarakat bisa melakukan pangaduan baik melalui layanan pesan singkat (SMS) ke 1708, melalui portal https://lapor.ukp.go.id maupun melalui aplikasi mobile LAPOR! yang bisa diunduh gratis di smartphone (android, blackberry, dan iPhone). Aplikasi yang bersifat interaktif ini diakui cukup membantu Tim Sosialisasi Kebijakan Penyesuaian Subsidi BBM dalam menjaring keluhan, dan saran dari masyarakat tentang penerapan Kartu Perlindungan Sosial (KPS), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Miskin (Raskin), serta program kompensasi lainnya.

Melva Purba, Program Officer Pokja Pengendali Program Bantuan Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengatakan, selama ini timnya juga melakukan pemantauan terhadap laporan masyarakat tentang BSM melalui LAPOR! setiap minggu. “Ini sekedar gambaran saja. Hingga 16 Januari 2014, ada sekitar 3.472 pesan singkat atau SMS tentang BSM yang sudah masuk. Sebagian besar laporan tersebut, yakni sekitar 65 persen sudah ditindaklanjuti,” ujarnya saat TOT Survei Kualitas Pendidikan Anak Tahap Endline di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Rabu (22/01) lalu.

Banyak pertanyaan dari masyarakat yang menyinggung soal bagaimana cara pendaftaran BSM dengan KPS, berapa jumlah dana manfaat BSM yang diterima, kapan jadwal pencairan dana BSM hingga laporan-laporan tentang kasus penyelewengan dana BSM. Kurangnya pemahaman masyarakat akan mekanisme program BSM ini mendorong TNP2K untuk terus memperkuat sosialisasi program BSM. Salah satu metode sosialiasinya, yakni dengan mengirim sms broadcast ke sejumlah pihak terkait.

“Jadi kami mengirimkan layanan pesan singkat atau SMS serentak ke kepala sekolah SD, dan SMP, kepala madrasah, juga kepada para fasilitator Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2007 sampai 2012, ke Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), serta Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Total ada 169.103 SMS dengan persentase SMS yang berhasil masuk sebanyak 53 persen,” ujar Melva.

Upaya memperkuat sosialisasi juga dilakukan dengan melakukan kampanye program BSM melalui 127 jaringan radio secara nasional yang bisa menjangkau 114 kabupaten/kota. Kemudian, poster sosialisasi BSM pun telah disebar ke titik-titik strategis di lebih dari 114 kabupaten/kota. Pers pun menjadi mitra dalam upaya sosialisasi ini. Setidaknya, TNP2K telah melakukan media roadshow di enam kota yang memiliki jumlah potensi peserta BSM paling banyak.

Sementara itu, Mohammad Herman dari Tim Monev (monitoring and evaluation) TNP2K dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan, TNP2K kembali bermitra dengan PSKK UGM untuk melakukan pemantauan terhadap penyaluran manfaat program BSM baik secara kuantitas dan kualitas. Survei yang diberi nama Survei Kualitas Pendidikan Anak (SKPA) Tahap Endline ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa penerima BSM, sekolah atau madrasah, dan dinas pendidikan setempat tentang detil prosedur pembayaran BSM.

“Dalam survei ini juga akan diukur kualitas dari implementasi penyaluran manfaat program BSM. Kita ingin melihat bagaimana efek dari BSM misalnya terhadap angka putus sekolah. Apakah ada penurunan atau bahkan masih tinggi? Lalu, bagaimana keberlanjutan program BSM dari kelas 6 ke kelas 7 atau dari SD ke SMP, dan seterusnya. Kemudian, apakah setelah menerima BSM, tingkat kehadiran serta kemampuan siswa juga meningkat?” jelas Herman.

Pengumpulan data lapangan SKPA Tahap Endline akan dilakukan mulai awal Februari 2014. Adapun survei ini dikoordinasikan oleh tim peneliti PSKK UGM yang terdiri dari Dr. Sukamdi selaku ketua tim peneliti (PI), Eddy Kiswanto, M.Si., selaku wakil ketua tim, Pande Made Kutanegara, M.Si., Sri Purwatiningsih, M.Kes., Wini Tamtiari, M.Si., Agus Joko Pitoyo, MA., Jevri Ardiansyah, S.I.P., serta Vina Noor ARP, S.Si. [] Media Center PSKK UGM.