Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan rapat kerja 2022 di Hotel Grand Rohan, Yogyakarta pada 27-28 Januari 2022. Dalam salah satu rangkaian rapat kerja ini adalah, PSKK UGM mengadakan sesi Sharing Publikasi International dengan mengundang Prof. Dr.
Informasi
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM menggelar seminar online internasional bertajuk “The Dynamics of International Migration during Covid-19 Pandemic: Multiple Perspective”. Pada seminar ini, PSKK mengundang tiga pembicara ahli yaitu Prof Aris Ananta (president of Asian Population Assosiation), Salman Al Farisi (Ambassador of the Republic of Indonesia to South Africa), dan Anis Hidayah (Head of Center for Research and Migration Studies Migrant CARE).
CPPS UGM – Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR) adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa usia suburnya (antara umur 15-49 tahun). Indikator ini penting dan strategis untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan suatu negara maupun seluruh negara dalam mengendalikan jumlah penduduknya melalui program Keluarga Berencana.
Untuk menyoal lebih jauh fertilitas di Indonesia, Puslitbang Kependudukan BKKBN Pusat, Rina Herarti memaparkan hasil penelitian BKKN yang berjudul “Comparing Fertility Patterns of Migrant and Non-Migrant Women in Indonesia”.
“Ini penting untuk dilihat lebih lanjut karena di Indonesia, migrasi internal memainkan peran penting dalam membentuk struktur demografis dan sosial-ekonomi,” ujar Herarti saat menjadi pembicara dalam konferensi The 5th Asian Population Association (APA), Selasa (3/8/2021).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi di kalangan perempuan migran sedikit lebih rendah dari kalangan nonmigran, yaitu masing-masing 54 dan 59 persen. Namun, jumlah anak yang lahir untuk semua kelompok umur di kalangan perempuan migran lebih rendah dari kalangan nonmigran.
Pada kelompok perempuan usia 45-49 tahun, jumlah anak yang pernah dilahirkan perempuan migran dan nonmigran masing-masing adalah 2,9 dan 3,1 anak per perempuan. Analisis multivariat menunjukkan hasil yang sama untuk kedua kelompok.
Herarti menambahkan bahwa ada hubungan signifikan antara status ekonomi, umur pertama kawin, umur pertama melahirkan, dan fertilitas. Sebaliknya, tidak ada hubungan signifikan antara tingkat pendidikan, tempat tinggal (desa atau perkotaan), dan fertilitas.
Pada kesempatan yang sama, Ritam Dubey, ICMR-NICPR, Noida, India memaparkan hasil penelitiannya berjudul “Is the whole greater than the sum of its parts? Assessing the quality of care across the continuum of reproductive and newborn health in India using the latest nationally representative data.”
Dubey mengatakan bahwa evaluasi terhadap akses kualitas layanan kesehatan ibu dan anak di India cenderung menggunakan pendekatan yang terfragmentasi. “Hal ini memberikan gambaran yang tidak lengkap dan bahkan menyesatkan tentang layanan kesehatan reproduksi yang tersedia di India,” jelasnya.
Kondisi tersebut membuat Dubey memutuskan untuk melakukan penelitian dengan cara menganalisis data dari NFHS-4 untuk memetakan penggunaan layanan kesehatan reproduksi sejak rangkaian perawatan kehamilan hingga perawatan pascapersalinan yang tersedia untuk bayi baru lahir di India.
Hasil penelitian Dubey menunjukkan bahwa pemanfaatan perawatan kehamilan dan pascapersalinanbayi baru lahir di negara-negara bagian prioritas dan distrik-distrik yang ada di negara bagian tersebut merupakan pemanfaatan perawatan yang terendah di India.
Penulis: Citra Sekarjati/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Basilica Dyah – Rinta Alvionita |
Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (3/8)
CPPS UGM – The 5th Asian Population Association (APA) Conference tahun ini diadakan secara virtual pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM. Union Formation merupakan salah satu topik menarik yang dibahas dalam kelas paralel hari kedua, Rabu, 4 Agustus 2021. Diikuti lebih dari 80 peserta, sesi ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Yothin Sawangde, Ph.D, seorang Associate Professor di Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand, Fatemeh Torabi Ph,D., Research Officer and Data Analyst di Swansea University, Iran, dan Prof. Hiroshi Kojima, Profesor Departemen Ilmu Sosial di Waseda University, Jepang.
Peran Keluarga dalam Perkembangan IQ Anak
“Rasa gembira yang dirasakan anak dapat memengaruhi perkembangan IQ anak”, demikian kesimpulan studi Yothun Sawagde yang bertajuk “Family Context, Sufficient Physical Activity, and Game Consequences on Primary School Age Childrens Jovial Habit and IQ in Thailand”. Studi ini menyasar 2.306 responden yang merupakan anak bungsu dalam keluarga, biasanya anak kedua atau ketiga. Menggunakan metode Path Analysis, hasil studi ini menunjukkan bahwa dukungan orang tua, baik dalam keluarga inti maupun keluarga besar, memiliki pengaruh terhadap perilaku gembira anak dan berdampak pada skor IQ anak.
“Selain ayah dan ibu dalam keluarga inti, keluarga besar seperti kakek dan nenek, ternyata juga berperan penting dalam meningkatkan maupun menurunkan perilaku gembira anak yang kemudian berdampak pada skor IQ,” lanjut Yothin Sawangde.
Maka menurutnya, lingkungan dan suasana merupakan hal yang paling penting dalam membentuk kondisi psikologi dan intelijensi anak.
Preferensi Perkawinan di Iran dan Jepang
Pembicara lainnya, Prof. Hiroshi Kojima, menyampaikan materi hubungan pengalaman kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) sebelum pernikahan pada pasangan menikah di Jepang. Hiroshi menjelaskan bahwa hasil studinya yang bertajuk “Correlates of Premarital Cohabition Experience of Married Adults in Japan” menunjukkan adanya perbedaan strategi kohabitasi berdasarkan gender.
Selain itu, perempuan yang berpendidikan rendah cenderung ingin lebih cepat menikah. Apalagi jika terjadi kohabitasi pranikah (Cohabitation First Before Marriage), maka pernikahan pun lebih cepat terjadi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan tinggi cenderung melakukan pertunangan terlebih dahulu dan meminta ijin orang tua untuk tinggal satu atap.
Perempuan yang berpendidikan tinggi biasanya juga menunda pernikahan untuk meningkatkan karir profesional sembari menjaga hubungan dengan pasangan dan mengupayakan hubungan yang setara.
Pada kesempatan yang sama, Fatemeh Torabi melalui studinya yang berjudul “Temporal Changes in Ideal Age at Marriage in Iran” memaparkan bahwa terjadi kenaikan usia ideal pernikahan, baik bagi laki-laki maupun perempuan di Iran, meskipun koefisien usia pernikahan ideal pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki. “Ada perbedaan variabel yang mendorong usia ideal untuk menikah bagi perempuan, yaitu variabel pentingnya status perkawinan pada 2004 dan variabel agama pada 2015”, jelas Fatemeh.
Penulis: Igih Adisa/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Basilica Dyah – Rinta Alvionita |
Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (4/8)
CPPS UGM – Aktivitas fisik masih menjadi isu yang harus diperhatikan di Indonesia. Ketidakaktifan gerak fisik menjadi salah satu penyebab berbagai penyakit hingga dapat mengakibatkan kematian.
Data WHO 2018 menunjukkan, 73 persen kematian di dunia disebabkan Penyakit Tidak Menular (PTM), yaitu 35 persen akibat penyakit kardiovaskular, 21 persen akibat penyakit menular, maternal, perinatal, dan nutrisi, sementara 12 persen akibat kanker, 6 persen akibat diabetes mellitus, dan 15 persen akibat PTM lainnya.
Di Indonesia, prevalensi PTM masih tinggi karena gaya hidup yang tidak sehat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 95,5 persen masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5 persen masyarakat kurang beraktivitas fisik, 29,3 persen masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31 persen mengalami obesitas sentral serta 21,8 persen mengalami obesitas pada usia dewasa.
Dyah Anantalia Widyastari, Peneliti Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand, memaparkan hasil penelitian bertajuk “Sociodemographic Differentials of Physical Activity of Indonesia: An analysis of the 5th Wave of Indonesia Family Life Survey (IFLS5)” dalam acara Asian Population Association (APA) Conference pada Selasa, 3 Agustus 2021.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki aktivitas fisik lebih sedikit karena cenderung duduk lebih lama di kantor atau melakukan aktivitas di depan laptop dengan durasi lama.
“Mereka yang berpendidikan tinggi tidak berarti mereka tidak mengetahui hal ini, namun mereka tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan aktivitas fisik. Mereka biasanya akan melakukan aktivitas fisik menggunakan properti di sekitarnya, seperti kursi dan sebagainya,” ujar Dyah.
Selain itu, perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi aktivitas fisik masyarakat Indonesia, yaitu 51 persen laki-laki dan 48 persen perempuan. Perbedaan usia dan jenis kelamin dalam aktivitas fisik juga menunjukkan bahwa laki-laki, orang dewasa, dan orang tua lebih mungkin untuk memenuhi tingkat aktivitas fisik sedang hingga kuat (MVPA) dari perempuan dan remaja.
“Perempuan cenderung kurang aktif dibandingkan laki-laki. Meskipun mereka memiliki harapan hidup lebih lama, mereka bisa hidup di bawah ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, Indonesia diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan harapan hidup yang lebih panjang,” jelas Dyah.
Dyah menambahkan, jika dilihat dari wilayah tempat tinggal, penduduk perdesaan 1,3 kali lebih aktif dari penduduk perkotaan. Sementara itu, dari segi sosial ekonomi, seseorang yang berasal dari keluarga kaya 12 kali lebih mungkin untuk memenuhi tingkat aktivitas fisik.
Dyah menegaskan bahwa aktivitas fisik ini tidak hanya ditentukan oleh faktor individu, tetapi juga strategi promosi kesehatan yang harus ditujukan kepada masyarakat serta pada tingkat makro (kebijakan) untuk menjembatani ketimpangan akibat hambatan sosial, ekonomi, dan budaya.
Penulis: Nuraini Ika & Rinta Alvionita / Media CPPS UGM | Editor bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (4/8)
CPPS UGM – Permasalahan stunting masih menyelimuti Indonesia. Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Selain dapat mengganggu pertumbuhan fisik, stunting juga berpotensi memperlambat perkembangan otak dalam jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi hingga obesitas.
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas, angka stunting memang telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018) dan berada di angka 27,7 persen (2019). Namun angka ini masih jauh dari total presentase standar World Health Organization (WHO), yaitu maksimal 20 persen.
Menurut data BPS Kemenkes (2019), hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Bali, Kepulaun Riau, Bangka Belitung, dan Jakarta, memiliki persentase stunting di atas batas rekomendasi WHO. Adapun provinsi dengan angka stunting tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) di angka 43,82 persen, Sulawesi Barat 40,38 persen, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 37,85 persen.
Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN BKKBN, Prof. drh. Muhammad Rizal Martua Damanik, menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting Indonesia turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk memenuhi target ini, maka angka stunting Indonesia harus turun 2,7 persen setiap tahunnya.
“Memang target ini sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin tercapai selama semua pihak yang terlibat memiliki komitmen tinggi dan koordinasi yang baik serta mengambil tindakan nyata untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia,” ungkap Muhammad Rizal Martua Damanik dalam pembukaan Konferensi Asian Population Associatuon (APA), Selasa 3 Agustus 2021.
Sebagai informasi, Konferensi APA merupakan konferensi internasional yang berfokus membahas isu kependudukan di negara-negara Asia. Pada tahun ini, Konferensi APA diadakan secara virtual selama tiga hari pada 3-5 Agustus 2021 di Indonesia dengan menggandeng BKKBN, UNFPA, dan PSKK UGM.
Rizal menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki segudang tantangan yang harus diselesaikan agar bisa menurunkan angka stunting, seperti masih tingginya anemia pada ibu hamil, pernikahan usia dini, bayi lahir prematur, dan jarak kehamilan kurang dari 24 bulan.
Dalam data Riskesdas 2018 tercatat 593 ribu ibu hamil mengalami anemia, 663 ribu kehamilan dengan jarak kurang dari 24 bulan (SDKI 2017), dan 675 ribu bayi lahir prematur (SP, 2010).
Menurutnya, pemerintah terus berupaya maksimal untuk menekan angka stunting, salah satunya dengan memperkuat pendampingan pada pasangan sebelum menikah dan sebelum hamil, pendampingan selama kehamilan, dan pendampingan pascapersalinan, seperti menyusi, KB, pascapersalinan hingga merawat anak di bawah lima tahun dan dua tahun.
“Kami (BKKBN) berfokus pada kejadian anemia dan defisiensi mikronutrien sebelum menikah dan sebelum hamil, pemantauan ibu hamil dengan anemia dan ibu hamil risiko tinggi untuk mengurangi jumlah bayi prematur atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR). Untuk menekan angka stunting, maka kita harus menekan masalah yang bisa meningkatkan risiko stunting,” ujar Rizal.
Sementara dilansir dari kemkopmk.go.id (4/8), pandemi COVID-19 menjadi tantangan tersendiri untuk mempercepat penurunan stunting. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Suprapto, mengatakan bahwa pandemi yang melanda dikhawatirkan dapat meningkatkan angka stunting. Menurutnya, pandemi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan berpotensi meningkatkan angka stunting di Indonesia.
Penulis: Nuraini Ika/Media CPPS UGM | Editor bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Tangkapan layar zoom APA Conference (3/8)
CPPS UGM – Kesehatan merupakan salah satu dimensi utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) bersama dua dimensi lainnya, yaitu ekonomi dan pendidikan. Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu gaya hidup (lifestyle), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan memengaruhi status kesehatan seseorang.
Dalam rangka memeriahkan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap 17 April, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan acara Live PopCorn (Population Corner) bertajuk “Tantangan Peningkatan Derajat Kesehatan di Indonesia” dengan menghadirkan Dr. Umi Listyaningsih, M.Si. (Peneliti PSKK UGM) sebagai pembicara serta Citra Sekarjati, M.P.A. (Asisten Peneliti PSKK UGM) sebagai pembawa acara.
Umi menjelaskan bahwa Indonesia ditargetkan bisa menekan MMR hingga 70 persen pada 2024, namun hal ini akan sulit tercapai karena penyebab kematian ibu pascapersalinan masih banyak diakibatkan oleh gangguan hipertensi dan pendarahan.
“Banyak ibu yang datang ke fasilitas kesehatan, namun kebanyakan tidak melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan). Meskipun di data Riskesdas itu sebetulnya jumlah ibu yang sudah melakukan pemeriksaan cukup banyak, tetapi kita masih punya tugas sekitar 15 persen ibu hamil yang tidak melakukan antenatal care. Itulah sebabnya angka kematian ibu itu masih menjadi tugas bersama,” ujar Umi.
Ia berpendapat bahwa pemerintah telah berupaya untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satunya dengan membuat program Rumah Singgah untuk ibu hamil yang rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan. Rumah Singgah ini dapat menjadi tempat sementara bagi ibu yang telah masuk masa kehamilan tua. Permasalahannya, menurut Umi, sejauh ini Rumah Singgah bukan hanya ditempati oleh ibu yang akan melahirkan, tetapi juga ada yang membawa sanak saudara. Kemudian hal ini menjadi tantangan lain bagi pemerintah.
Selain itu, Selain itu, ada program Generasi Berencana (GenRe) yang dilaksanakan BKKBN dengan slogan “Katakan tidak untuk pernikahan usia dini, seks pra nikah, dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)”. Menurut Umi, program ini cukup membanggakan, mengingat salah satu target SDGs pada poin keempat adalah mengurangi kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Umi memaparkan bahwa setidaknya ada lima strategi jitu, yaitu meningkatkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS); meningkatkan penganekaragaman dan keamanan pangan (termasuk olahan); meningkatkan pelayanan medis, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial; dukungan dari masyarakat bagi penderita gangguan jiwa; serta meningkatkan aksebilitas dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: PSKK UGM/Affen Irhandi
Yogyakarta, PSKK UGM – Kasus pelecehan seksual kembali terjadi di Indonesia. Belakangan ini masyarakat digemparkan dengan berita kasus pelecehan seksual yang dilakukan AT (21), anak anggota DPRD Bekasi terhadap anak di bawah umur, PU (15). Setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, AT justru menyampaikan bahwa dirinya akan menikahi korban atas alasan dirinya mencintai korban. Wacana untuk menikahi korban ini ditolak mentah-mentah oleh D, ayah korban.
Novi Widyaningrum, peneliti dan pemerhati gender Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, mengkritik keras wacana pelaku untuk menikahi korban. Menurutnya, wacana menikahi korban merupakan wujud arogansi berdasarkan kelas sosial dan kuatnya budaya patriarki di Indonesia.
“Saya sangat menentang hal tersebut. Korban baru 15 tahun, ini artinya masih anak-anak dan melanggar Undang-Undang Perkawinan,” ujar Novi.
Berdasarkan Undang-Undang No.16/2019 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan adalah 19 tahun. Menikahkan korban yang masih berusia 15 tahun berarti melakukan forced marriage atau pernikahan paksa. Selain melanggar UU Perkawinan, hal ini juga melanggar UU Perlindungan Anak, Konveksi Hak Asasi Manusia, dan Konveksi Hak Anak.
Novi menilai, menikahkan korban dengan pelaku berarti menjebak korban dalam lingkaran kekerasan seumur hidup. Setelah menikah, korban berpotensi mengalami multiple forms of violence, seperti kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan tidak menutup kemungkinan juga akan mengalami kekerasan verbal, fisik, dan ekonomi.
Menikahkan korban dengan pelaku juga berarti bahwa kekerasan tersebut tidak dihentikan, tetapi justru dilegalkan dalam ikatan pernikahan. Menurutnya, wacana menikahkan korban dengan pelaku karena pelaku merupakan orang dekat juga hanyalah pencitraan semata, dan upaya untuk menghindari sanksi hukum bagi para pelaku.
“Ini sih namanya membunuh korban secara perlahan. Syukurlah, orang tua korban menyadari ini dan menolak tawaran ‘damai’ tersebut. Pengacara menyatakan itu adalah kasus perzinaan. Ini mirip contoh kuat dari rape culture ditambah permisivitas yang tinggi terhadap rape yang dilakukan oleh pasangan, ujung-ujungnya solusinya adalah damai dan nikah,” ungkap Novi.
Menurut Novi, upaya ‘mediasi’ dan ‘perdamaian’ yang diciptakan masyarakat, institusi pemerintah, bahkan pihak kepolisian merupakan bukti bahwa kasus pelecehan seksual masih dilihat bukan sebagai sebuah kejahatan. Terlebih dalam kasus PU, pelaku AT merupakan kekasih korban, sehingga kejadian seperti ini kerap dianggap sebagai hal lumrah. Pola pemikiran seperti ini berpotensi membuat perempuan semakin masuk dalam lingkungan kekerasan.
Perlindungan Maksimal terhadap Korban & Urgensi Pengesahan RUU PKS
Kasus pelecehan seksual yang dialami PU tentu bukanlah satu-satunya yang ada di tengah masyarakat, tetapi fenomena gunung es maupun hal yang hanya tampak di permukaan pasti juga terjadi pada kasus seperti ini.
Untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual, Novi memaparkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, memberikan upaya perlindungan dan trauma healing kepada korban serta mengupayakan agar korban mendapat lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga bisa membangkitkan rasa percaya diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa rasa ketakutan.
“Jangan memasukkan korban dalam lingkaran kekerasan selanjutnya termasuk perundungan, karena korban juga sangat rentan mendapatkan ini. Masyarakat masih belum banyak memiliki kesadaran atas kasus seperti ini dan bisa melakukan blaming the victim,” ujarnya.
Kedua, pelaku harus mendapat hukuman sesuai hukum yang berlaku. Pelaku telah melakukan kejahatan berlapis. Setidaknya ada pemerkosaan, human trafficking (perdagangan orang), dan kekerasan terhadap anak. Memberikan hukuman terhadap pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku akan menjadi contoh baik bagi masyarakat luas dan penegakan hukum di Indonesia.
Novi juga menekankan bahwa para pemangku kebijakan harus menguatkan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia. Hukum yang dibentuk harus dijalankan secara adil dan dapat diakses oleh siapa pun. “Jangan karena pelaku adalah orang yang memiliki kedudukan dan kekuatan politis, sehingga ada upaya-upaya untuk mengaburkan kejahatan dan mereduksi hukuman,” tegas Novi.
Novi juga menekankan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang nantinya akan menjadi pijakan hukum yang kuat untuk melindungi korban dalam kasus seperti ini. Dalam RUU PSK juga ditegaskan bahwa, pemaksaan perkawinan dilarang dan dijadikan tindak pidana.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat upaya edukasi kepada masyarakat luas mengenai kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah menguatkan kurikulum pendidikan sejak dini di sekolah terkait pencegahan kekerasan dan perlindungan perempuan. Penghormatan terhadap perempuan dan kesetaraan gender harus benar-benar ditekankan dalam dunia pendidikan.
Langkah penting lainnya adalah menciptakan dan menyosialisasikan sistem jalur pengaduan yang terjangkau bagi perempuan korban kekerasan. Konteks bahwa korban selalu dalam posisi traumatis dan lemah (secara psikologis, sosial, dan mungkin fisik) merupakan pertimbangan utama untuk menciptakan sebuah alur pengaduan yang dapat dijangkau secara cepat dan tepat.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Ilustrasi Kekerasan Seksual Anak (istockphoto)
VOA — Pakar kependudukan sekaligus Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Agus Joko Pitoyo mengatakan pengenduran program KB saat ini bukan tanpa alasan. Pengenduran terjadi lantaran program KB di Indonesia sejak tahun 1970 sempat dinilai sudah berhasil karena total fertility rate atau tingkat kelahiran rata-rata pada waktu itu turun dari 5,6 persen menjadi 2,6 persen.
Hal tersebut juga didorong oleh perspektif masyarakat yang pada zaman dahulu berpandangan anak sebagai rezeki. Sementara saat ini generasi sekarang berspespektif anak merupakan beban.
“Walaupun (Program KB) cenderung dilemahkan, sedikit mengendur, tapi generasi sekarang sudah tidak ingin punya anak banyak. Setelah 50 tahun program KB di Indonesia ini sudah bisa mengubah opini masyarakat yang dulu ukuran keluarga besar itu baik. Sekarang keluarga kecil itu yang baik sehingga generasi saat ini ketika punya anak lebih dari dua mereka sudah malu. Bahkan di antaranya ingin punya anak satu,” kata Agus kepada VOA, Sabtu (9/5).
Walaupun saat ini program KB cenderung dikendurkan tapi nilai di dalam masyarakat terkait dengan keluarga inti yaitu dua anak cukup sudah mengakar luar biasa. Tanpa harus dikatakan untuk ikut program KB, masyarakat sudah melek terkait dengan keluarga berencana.
“Misalnya melalui pendidikan, jalurnya sekarang diganti tidak family planning dalam perspektif keluarga. Tapi family planning dalam perspektif kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, sehingga generasi sekarang itu sudah mulai berpikir. Tanpa sentuhan program KB, masyarakat melihat kondisi ekonomi, beban hidup, pendidikan, dan tuntutan masa depan otomatis mereka sudah tidak ingin punya anak banyak,” ujar Agus.
KB Penting, Kelanjutan Demografi juga Penting
Masih kata Agus, di Indonesia telah terjadi transformasi, yang pada Orde Baru berspektif keluarga luas, maka kini menjadi keluarga inti. Hal itu berpengaruh terhadap total fertility rate di Indonesia yang telah mencapai angka 2,6 persen, bahkan di beberapa provinsi berada pada replacement rate 2,1 persen, contohnya di Yogyakarta.
“Artinya kalau ini berlarut-larut dan ditekan terus nanti regenerasi penduduknya tidak ada. Kita harus hati-hati jangan sampai terjebak sangat getol terus ingin family planning sampai di bawah 2,1 persen itu berbahaya karena tidak terjadi keberlanjutan demografi. Padahal yang diinginkan adalah penduduk tumbuh seimbang,” ungkapnya.
“Pemerintah saat ini agak mengendurkan biar kemudian tidak kebablasan ini menurut perspektif saya. Tapi memang harus tetap dijaga jangan sampai TFT (total fertility rate-nya) naik dan turun terlalu tinggi,” tambah Agus.
Kendati cenderung mengendur, namun pemerintah masih memprioritaskan program KB hingga saat ini. Hanya saja pada saat ini komitmen politik pemerintah tidak seperti zaman orde baru.
“Sekarang ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) masih eksis tapi dukungan segala aspek tidak sekuat di zaman orde baru. Walaupun demikian Indonesia tetap itu jadi prioritas sampai sekarang gencar dilakukan,” tutur Agus.
Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan pemerintah tetap memprioritaskan program KB karena Indonesia telah memasuki tahapan transisi demografi di mana total fertility rate pada wanita subur itu di Tanah Air masih di angka 2,3 sampai 2,4 persen.
“Sehingga kami harus berusaha keras untuk menuju angka fertility rate ke 2,1 persen. Di samping itu di Indonesia belum merata jadi antar wilayah provinsi kesenjangannya masih tinggi. Oleh karena itu kesenjangan fertility rate yang masih tinggi ini penting untuk diatasi karena sesuai demografi semua provinsi harus merasakan. Atas dasar alasan itu maka kontrasepsi itu masih penting sekali,” kata Hasto saat dihubungi VOA, Jumat (8/5) malam.
Menurut Hasto, pemerintah tetap berupaya mengatasi lonjakan tersebut, karena peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai sistem layanan kesehatan atau pendidikan yang memadai bakal memicu masalah besar di kemudian hari. Salah satunya, pemerintah melakukan pendekatan melalui kampanye dengan alat kontrasepsi.
“Di Indonesia yang memiliki anak banyak itu berciri khas tiga yaitu pendidikan rendah, hidup di desa, dan pendapatan rendah. Sebenarnya secara jangka panjang itu pendidikan ditingkatkan kemudian pendapatan per kapita naik lalu akses-akses bertambah bagus. Ketika hal ini dilakukan maka otomatis dia akan menurun jumlah anaknya. Orang yang berkecukupan, hidup di kota, dan berpendidikan tinggi cenderung anaknya sedikit. Inilah upaya secara sosiologis bagaimana menurunkan jumlah anak. Tapi kalau secara biologis, ya kami memang pendekatannya bagaimana kampanye dengan alat kontrasepsi,” jelasnya. [aa/em]
*Sumber: VOA Indonesia | Foto: Proses pemasangan susuk KB pada masa pandemi corona (Humas BKKBN).
Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM bekerja sama dengan The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (TNP2K) menggelar seminar daring (webinar) bertajuk Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia pada Rabu, 27 Juli 2020 pukul 09.30-12.00 WIB.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen.
Dibanding Maret 2019, peningkatan angka kemiskinan mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 persen dari Maret 2019 yang hanya 9,41 persen.
Hal serupa disampaikan kepala BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Budi Wibowo, saat menjadi pembicara pada seminar PSKK UGM pada Kamis (29/7/2020). Budi menyampaikan tingkat kemiskinan DIY selama pandemi COVID-19 meningkat. Peningkatan angka kemiskinan DIY per Maret mencapai 12,28 persen, naik 0,84 persen dari September 2019 yang berada di angka 11,44 persen.
Menurut Budi, untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini, pemerintah DIY melakukan beberapa upaya, seperti refocusing dan reallocating anggaran daerah, misalnya percepatan perubahan penjabaran APBD DIY 2020, menghentikan seluruh proses pengadaan barang atau jasa yang belum memiliki tanda tangan kontrak per 3 April 2020, kecuali untuk oprasional OPD, bersumber dari dana keistimewaan, dan untuk operasi serta pemeliharaan pelayanan dasar atau publik.
“Perlu diketahui bahwa kita (DIY) sudah membuka beberapa destinasi wisata dan kita akan mencoba lebih perketat lagi implementasinya di destinasi wisata itu karena perlu kami sampaikan bahwa di balik destinasi wisata itu ada ribuan UMKM. Lima puluh satu ribu UMKM yang ada di DIY itu engineering good bagi pertumbuhan ekonomi,” ujar Budi.
Menanggapi permasalahan ekonomi selama COVID-19, kepala PSKK UGM, Agus Joko Pitoyo menekankan dampak COVID-19 terhadap sektor informal. Joko menjelaskan bahwa sektor informal penting untuk dibahas karena mendominasi struktur tenaga kerja di Indonesia.
“Lebih dari 70 juta pekerja berada di sektor informal. Banyaknya tenaga kerja terserap di sektor ini karena sektor informal memang cenderung lebih mudah dimasuki oleh angkatan kerja,” ujarnya.
Sektor informal saat pandemi juga cenderung tidak bisa bertahan. Hal ini setidaknya ditandai dari gangguan produksi, distribusi, dan konsumsi hingga penurunan pendapatan. Sektor informal mengalami keterpurukan saat pandemi juga karena pembatasan aktivitas sosial yang menyebabkan gangguan pada aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) dan supply chains produk.
Data BPS menunjukkan, 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (<1,8 juta) mengaku mengalami penurunan pendapatan. Sementara itu, pandemi COVID-19 juga menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran bagi 56 persen responden yang sebagian besar mengalami peningkatan antara 26-50 persen. Sebagian besar peningkatan terjadi pada pengeluaran bahan pangan (51 persen), hal ini dimungkinkan akibat dari adanya kegiatan Work from Home (WFH) dan School from Home (SFH).
Survei PSKK UGM: Dampak terhadap Pekerja Informal
Agus Joko Pitoyo menyampaikan hasil survei awal PSKK UGM terkait dampak COVID-19 terhadap pekerja informal. Survei ini diikuti oleh 64 pekerja informal di DIY. Survei dilakukan pada awal Juli dan masih berlangsung saat seminar ini digelar. Responden yang berpartisipasi terdiri atas pedagang, PKL, buruh bangunan, ojek online, dan pekerja seni. Hasil survei ini menunjukkan bahwa COVID-19 berdampak pada penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, penurunan konsumen, dan penutupan usaha.
Hasil survei menunjukkan, 31,3 persen responden menyatakan bahwa mereka mulai merasakan dampak pandemi sejak awal April. Hal ini menyusul penerapan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah.
Namun, penurunan pendapatan dan kesulitan yang dihadapi saat pandemi tidak mendorong sebagian besar pekerja informal untuk beralih pekerjaan. Hal ini disebabkan kompetensi yang dimiliki cenderung rendah dan persepsi bahwa tidak ada pekerjaan yang dapat menawarkan kondisi lebih baik. 23,4 persen pekerja informal yang beralih pekerjaan cenderung beralih pada usaha bisnis online. Bahkan kondisi pekerjaan yang buruk akibat COVID-19 tidak menimbulkan keinginan bagi 46,9 persen responden untuk berpindah pekerjaan setelah COVID-19 selesai. Sementara itu, 35 persen masih bimbang atas kondisi di masa setelah COVID-19 pada pekerjaan yang saat ini dimiliki. 17 persen lainnya memiliki keinginan untuk beralih profesi setelah COVID-19.
Selain itu, menurut Joko, COVID-19 juga berdampak pada pekerja kaki lima (PKL) di Kota Yogyakarta. Mayoritas pekerja dan PKL mengalami penurunan pendapatan hingga >50 persen. Penurunan pendapatan disebabkan adanya pembatasan sosial dan penutupan sekolah serta perkantoran.
“Terdapat perbedaan dampak COVID-19 terhadap pekerja dan PKL. Pada pekerja, COVID-19 menyebabkan penurunan jam kerja bahkan PHK. Namun, selama COVID-19 jumlah jam kerja PKL terdapat peningkatan 2-3 jam kerja karena menunggu pelanggan dan menambah jam kerja untuk mempertahankan pendapatan,” jelas Joko.
“Sektor informal berpotensi mengalami pemulihan lebih cepat jika aktivitas masyarakat dibuka kembali, namun masih dalam skala pemulihan yang kecil. Perlu adanya perlakuan khusus, misalnya melalui stimulus ekonomi agar proses recovery berjalan optimal,” pungkas Joko.
Kerentanan Penyandang Disabilitas
Koordinator kebijakan perlindungan sosial TNP2K, Dyah Larasati, menyoroti kelompok rentan lain yang terdampak selama COVID-19, yaitu para penyandang disabilitas. Diperkirakan 15 persen dari populasi penduduk di dunia memiliki disabilitas. Satu dari lima perempuan diperkirakan mengalami kondisi disabilitas selama hidupnya dan satu dari 10 anak-anak adalah anak dengan disabilitas. Sementara itu, sekitar sembilan persen (23,3 juta penduduk) di Indonesia mengalami kondisi disabilitas.
“Disabilitas di Indonesia dan kemiskinan memiliki korelasi yang kuat. Risiko akan lebih besar untuk kelompok disabilitas saat pandemi. Jika kita mempertimbangkan biaya tambahan yang diperlukan penyandang disabilitas, maka angka kemiskinan akan meningkat secara signifikan,” tutur Dyah.
Dyah menyampaikan, pandemi COVID-19 telah meningkatkan risiko dan kerentanan secara langsung maupun tidak langsung pada kelompok disabilitas, seperti 1) Mobilitas yang semakin terbatas akibat kebijakan “tetap di rumah”, baik itu atas rekomendasi atau dimandatkan atau diwajibkan, mengakibatkan kesulitan dalam mengakses layanan dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan; 2) Keterbatasan atau kesulitan mengakses informasi dan fasilitas layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan layanan terkait lainnya selama masa pandemi; 3) Kemungkinan berkurang atau terbatasnya bantuan pendapatan dari anggota keluarga lainnya karena mereka juga mungkin terdampak akibat pandemi ini; 4) Meningkatkan pengucilan dan isolasi sosial yang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, dan ketidakberdayaan, terutama karena kelompok disabilitas serta lansia memiliki kemungkinan kondisi medis atau penyakit bawaan lebih tinggi, sehingga lebih rentan terhadap penyakit ini; dan 5) Kurang dari tiga persen penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan sosial melalui Program ASPD dan PKH. Keterbatasan akses terhadap perlindungan sosial ini membuat mereka lebih rentan untuk bertahan.
Meski risiko dan kerentanan penyandang disabilitas akibat COVID-19 sangat banyak, studi atau data terkait peningkatan kerentanan penyandang disabilitas selama masa pandemi sangat terbatas.
“Sejauh ini, data dan bukti terkait peningkatan risiko akibat COVID-19 masih sangat terbatas dan umumnya hanya dapat ditemukan pada negara-negara berpendapatan tinggi (High Income Countries/HICs). Data dari negara miskin dan berpendapatan menengah (Low and Middle Income Countries/LMICs) masih amat sangat terbatas,” ujarnya.
Studi Dampak Ekonomi COVID-19 pada Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (April 2020) menunjukkan 87 persen pekerja mengalami penurunan pendapatan dan mayoritas mengalami penurunan drastis (50-80 persen dari pendapatan).
Kemudian kerentanan ekonomi penyandang disabilitas selama pandemi COVID-19 juga tinggi. 69 persen responden kemungkinan menjadi miskin atau semakin miskin karena kombinasi rendahnya penghasilan dan tingginya penurunan penghasilan akibat COVID-19. 41 persen penyandang disabilitas “sangat rentan” hampir pasti berada di bawah garis kemiskinan dan 28 persen penyandang disabilitas “rentan” berada di bawah atau sangat dekat dengan garis kemiskinan.
Untuk dapat membantu menyelesaikan masalahan ini, Dyah Larasati merekomendasikan kepada para pemangku kebijakan untuk memperluas cakupan dan memastikan kesesuaian nilai manfaat perlindungan sosial, memastikan perlindungan sosial yang inklusif, komprehensif, dan terintegrasi serta membuat mekanisme atau proses pendaftaran yang sederhana.
COVID-19 dan Marginalisasi Isu Perempuan
Peneliti senior dan pakar gender PSKK UGM, Dewi Haryani Susilastuti, menyoroti adanya marginalisasi isu perempuan di tengah COVID-19. Infografis Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan, terjadi 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan menurut ranahnya, yaitu ranah personal sebesar 75,4 persen (11.105 kasus), ranah komunitas sebesar 24,4 persen (3.602 kasus), dan ranah negara sebesar 0,08 persen (12 kasus). Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan fisik yang mencapai angka 5.548 kasus dengan 4.783 terjadi di ranah personal dan 765 kasus terjadi di ranah komunitas.
“Kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat selama pandemi, tetapi naiknya tingkat kekerasan terhadap perempuan bukan semata-mata karena COVID-19, karena sebelum COVID-19 memang kekerasan itu sudah ada,” tegas Dewi.
Menanggapi isu dampak COVID-19 terhadap sektor informal, Dewi menyampaikan data KPPPA dan BPS, 2018 yang menunjukkan bahwa 61.37 persen perempuan bekerja di sektor informal, sedangkan 23.31 persen berstatus sebagai pekerja keluarga.
Selain itu, terjadi marginalisasi isu perempuan selama pandemi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman kritis tentang perkembangan konstruksi gender di Indonesia dan pemikiran ibuisme negara (state ibuism). “Kalau kita lihat apa yang berlangsung dalam sejarah selama pemerintahan Suharto, ada yang dinamakan state ibuism. State ibuism itu adalah definisi negara atau konstruksi negara tentang perempuan yang ideal. Berdasarkan state ibuism, perempuan yang ideal adalah yang domesticated dan dedicated sangat tinggi terhadap suami, keluarga, dan negara. Jadi mereka mengorbankan kehidupan mereka demi suami, keluarga, dan negara tanpa mengharapkan imbalan yang sifatnya personal,” jelas Dewi.
Menurutnya, setelah pemerintahan Suharto memang ada perubahan pemikiran terhadap perempuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa state ibuism itu direproduksi di kalangan masyarakat yang relatif muda bahkan di tatanan para pembuat kebijakan, sehingga dampak COVID-19 yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai masalah sudah sesuai dengan konstruksi gender yang ada.
Dewi menyampaikan, isu perempuan termaginalisasi selama pandemi juga karena kurangnya representasi pemikiran ilmu sosial dalam respons COVID-19. “Pandemi COVID-19 lebih dilihat dari perspektif kesehatan. Kalau kita lihat jurnal-jurnal terutama yang ditulis di bidang kesehatan itu ada dua istilah yang diulang-ulang, yaitu Pharmaceutical Intervention (vaksin) vs Non-Pharmaceutical Intervention. Sementara tidak ada diskusi kultural yang reflektif tentang konteks, tentang ketimpangan struktural,” tegas Dewi.
Dewi menyimpulkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyingkap ketimpangan struktural yang menempatkan perempuan dalam posisi ekonomi, sosial, politik yang tidak menguntungkan, sedangkan respons pemerintah terhadap COVID-19 yang tidak sensitif gender membuat posisi perempuan semakin terpuruk. “Kemudian jika kita pakai bahasa perang, maka perempuan tidak ubahnya seperti collateral damage dalam perang melawan COVID-19,” pungkasnya.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Alexs_foto (pixabay.com)
Catatan: rekaman lengkap seminar “Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia” dapat disaksikan di saluran YouTube PSKK UGM dan TNP2K Komunikasi.