Yogyakarta, PSKK UGM – Daerah Istimewa Yogyakarta menghadapi persoalan kependudukan yang lebih kompleks lagi. Bagaimana tidak? Selain persiapan untuk menghadapi bonus demografi, jumlah lansia yang semakin banyak, DIY kembali dihadapkan pada persoalan klasik kependudukan, yakni meningkatnya jumlah kelahiran.
Data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan, angka kelahiran total atau TFR (total fertility rate) nasional adalah 2,7. Sementara untuk Provinsi DIY, angka TFR naik sebanyak 0,3 yakni dari angka 1,8 (SDKI 2007) menjadi 2,1. Meski angka ini masih paling rendah di tingkat nasional, kenaikan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan.
Hal itu disampaikan oleh Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat Rapat Kerja Daerah Penyiapan Bahan Perumusan Kebijakan Bidang KB dan Keluarga Sejahtera, Biro Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda, Rabu (25/6) lalu.
Salah satu yang menyebabkan naiknya angka TFR adalah meningkatnya angka unmet need—proporsi perempuan usia subur (15 sampai 49 tahun), menikah, dan tidak menginginkan tambahan anak atau menunda kehamilan hingga jarak dua tahun namun tidak menggunakan alat kontrasepsi, dan atau metode KB apapun. Pada umumnya, pasangan usia subur atau PUS tidak mau menggunakan alat kontrasepsi karena efek sampingnya terhadap kesehatan, larangan dari pasangan atau suami, biaya yang harus dikeluarkan, tidak ingin repot, hingga pengalaman subyektif bahwa selama ini tanpa alat kontrasepsi pun tidak terjadi kehamilan.
Made menambahkan, unmet need yang juga menjadi kendala sekaligus tantangan adalah PUS yang memiliki alasan Tidak Ingin Anak Lagi (TIAL) namun tidak mau ikut KB. “Sebagai contoh, dari 80 PUS di salah satu kecamatan di Kulonprogro, setelah mendapatkan penyuluhan tentang penggunaan KB berkali-kali, ternyata kurang menunjukkan hasil yang baik. Hanya 20 orang saja yang akhirnya mau menggunakan alat kontrasepsi.”
Melalui konseling kesehatan reproduksi, perempuan bisa memahami dengan benar bahwa dirinya tetap bisa beresiko hamil meski telah berumur lebih dari 35 tahun atau sudah jarang berhubungan seksual. Jika memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang cukup—akseptor KB tahu benar hal-hal apa saja yang perlu dilakukan, dan diwaspadai—maka tidak perlu ada kekhawatiran sehingga mengorbankan dirinya tidak terlindungi metode KB.
Kinerja PLKB turun
Penyuluh Lapangan KB merupakan motor penggerak dari program KB. Keberhasilan program KB tidak terlepas dari peran penting yang diemban PLKB dalam memberikan pemahaman, pengetahuan, dan konseling kepada masyarakat tentang pentingnya mengikuti program KB. Meski demikian, jumlah PLKB dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Beberapa kabupaten bahkan merasa kekurangan tenaga petugas PLKB.
“Selain soal jumlah, jika membandingkan dengan masa Orba, maka cukup jelas terlihat kinerja PLKB dan kader KB yang merosot. Banyak PLKB dan kader KB yang tidak lagi melakukan pendataan PUS dengan metode door to door sehingga data yang diperoleh pun menjadi kurang valid,” ujar Made.
Ada beberapa hal mengapa PLKB dewasa ini kurang cakap. Pertama, ketersediaan anggaran untuk program KB terbatas dibanding dengan anggaran program lainnya. Bahkan alokasi untuk honor petugas PLKB lebih sedikit daripada petugas dengan program atau kegiatan yang lain. Kedua, minimnya pelatihan yang mengarah pada teknik Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) bagi petugas PLKB, dan kader KB sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi.
“Kondisi ini perlu menjadi perhatian pemerintah terutama yang bergelut di bidang kependudukan. Secara umum, perlu dilakukan pencermatan tentang konsep, definisi, dan indikator unmet need, lalu keseriusan dalam pengumpulan data unmet need di lapangan, hingga perlunya langkah-langkah strategis dan terarah dalam pencapaian target TFR,” jelas Made. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Tribunnews