Yogyakarta, PSKK UGM — Fenomena migrasi internasional telah terjadi dalam kurun waktu yang panjang di Ponorogo, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Bagi rumah tangga di Ponorogo, migrasi internasional adalah strategi kelangsungan hidup karena dari situlah sumber kehidupan ekonomi mereka.
Pada awal perkembangannya, migrasi internasional dilakukan karena pertimbangan atau motif ekonomi. Dalam jangka waktu yang panjang, proses serta sistem migrasi menjadi lebih kompleks. Melalui pendekatan studi spasiotemporal, Agus Joko Pitoyo, M.A., Manajer Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Publikasi Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menunjukkan, adanya pergeseran nilai terkait dengan proses dan sistem migrasi tersebut.
“Migrasi internasional telah terintegrasi dalam cara hidup masyarakat dengan diturunkan dari generasi ke generasi. Kelangsungan hidup rumah tangga di Ponorogo terlihat dari pemanfaatan remitan baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif,” kata Joko saat ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Geografi UGM, Sabtu (15/8) lalu.
Di hadapan tujuh orang tim penguji, Joko menjelaskan dan mempertahankan hasil penelitian disertasinya yang berjudul “Migrasi Internasional dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Rumah Tangga di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur: Pendekatan Spasiotemporal”. Adapun tim penguji terdiri dari Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc., Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, M.A., Dr. Luthfi Muta’ali, M.T., Dr. Sukamdi, M.Sc., Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si., Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., dan Prof. Dr. I Ketut Sudibia.
Joko mengatakan, kontribusi remitan bagi pendapatan rumah tangga di Ponorogo sangatlah tinggi, yaitu 64,2 persen. Persentase ini bahkan lebih tinggi bagi rumah tangga yang berada di wilayah perdesaan, yaitu mencapai 73 persen. Begitu banyak rumah tangga migran yang menggantungkan hidupnya hanya dari remitan. Remitan merupakan sumber utama penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan hingga biaya membangun rumah.
Pada kepergian terakhir, lebih dari 70 persen pekerja migran mengirimkan remitan setelah menerima gaji pertama atau kedua. Melalui teknologi informasi seperti telepon genggam dan akses e-banking, remitan bisa dikirimkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan rumah tangga. Pemanfaatan remitan tidak hanya untuk kepentingan konsumtif, tetapi juga produktif. Sekitar 25 persen alokasi remitan dimanfaatkan untuk kegiatan usaha ekonomi produktif dan investasi.
Memiliki efek domino, remitan juga memberi kontribusi yang positif bagi pembangunan ekonomi di Ponorogo. Tercatat, remitan berkontribusi bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga 36,72 persen pada 2011, lalu meningkat menjadi 41,2 persen pada 2012, dan sedikit menurun pada 2013 menjadi 37,9 persen. Perkembangan selama 2011-2013 ini menunjukkan, kontribusi remitan bahkan mencapai lebih dari sepertiga PDRB Kabupaten Ponorogo. Oleh karena itu, kedudukan remitan sangatlah penting bagi pembangunan ekonomi Ponorogo.
“Selain persentase yang tinggi, nominal angkanya pun cenderung naik dari waktu ke waktu. Begitu tingginya kontribusi remitan, pemerintah sampai membangun patung pekerja di depan Gedung Pemda Ponorogo sebagai salah satu bentuk penghargaan,” kata Joko lagi.
Budaya Migrasi
Sejarah panjang status Ponorogo sebagai daerah kantong migrasi tidak hanya mempengaruhi terbentuknya sistem migrasi, melainkan juga perubahan makna atau persepsi masyarakatnya. Kendati banyak cerita pilu tentang kasus-kasus pekerja migran Indonesia di luar negeri, persepsi masyarakat Ponorogo tentang pekerja migran tetaplah positif.
Menjadi pekerja migran di luar negeri telah menjadi gaya hidup masyarakat. Sebagai gaya hidup, hal ini terbentuk melalui proses internalisasi pada individu semenjak kecil, terus berkembang hingga dewasa, bahkan di masa tua sebagai sebuah siklus hidup (life cycle). Bekerja di luar negeri adalah pekerjaan yang diimpikan dengan beragam negara tujuan.
Joko kembali mengatakan, berbagai fakta empiris dengan dukungan teori-teori yang berkembang menjadi bukti kebudayaan bermigrasi (the culture of migration) di Ponorogo. Tiga kata kunci berikut menjadi bukti migrasi internasional telah menjadi budaya. Pertama, migrasi telah diwariskan dari generasi ke generasi (intergenerational migration). Kedua, ketergantungan ekonomi terhadap remitan. Migrasi internasional berlangsung terus-menerus dalam siklus hidup pekerja migran. Ketiga, terbukanya akses yang luas ke luar negeri serta terciptanya rasa aman bermigrasi.
“Karena telah menjadi gaya hidup masyarakat Ponorogo, maka migrasi internasional tidak dapat dibendung. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan pengarahan dan pembekalan manajemen waktu, manajemen kerja, dan manajemen hidup di negara tujuan. Hal ini menjadi penting, terutama bagi pekerja migran berusia muda yang cenderung memilih gaya hidup bebas setelah berada di negara tujuan, seperti di Hong Kong dan Taiwan,” jelas Joko. [] Media Center PSKK UGM