Yogyakarta – Pada dua dekade terakhir isu-isu gender seperti kekerasan berbasis gender, politik seksual, kesehatan mental, seksual, dan reproduksi menemukan fokus baru di dunia digital sehingga terjadi perubahan bentuk, modus, dan aktornya.
Perempuan
Yogyakarta – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM bekerja sama dengan The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (TNP2K) menggelar seminar daring (webinar) bertajuk Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia pada Rabu, 27 Juli 2020 pukul 09.30-12.00 WIB.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen.
Dibanding Maret 2019, peningkatan angka kemiskinan mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 persen dari Maret 2019 yang hanya 9,41 persen.
Hal serupa disampaikan kepala BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Budi Wibowo, saat menjadi pembicara pada seminar PSKK UGM pada Kamis (29/7/2020). Budi menyampaikan tingkat kemiskinan DIY selama pandemi COVID-19 meningkat. Peningkatan angka kemiskinan DIY per Maret mencapai 12,28 persen, naik 0,84 persen dari September 2019 yang berada di angka 11,44 persen.
Menurut Budi, untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini, pemerintah DIY melakukan beberapa upaya, seperti refocusing dan reallocating anggaran daerah, misalnya percepatan perubahan penjabaran APBD DIY 2020, menghentikan seluruh proses pengadaan barang atau jasa yang belum memiliki tanda tangan kontrak per 3 April 2020, kecuali untuk oprasional OPD, bersumber dari dana keistimewaan, dan untuk operasi serta pemeliharaan pelayanan dasar atau publik.
“Perlu diketahui bahwa kita (DIY) sudah membuka beberapa destinasi wisata dan kita akan mencoba lebih perketat lagi implementasinya di destinasi wisata itu karena perlu kami sampaikan bahwa di balik destinasi wisata itu ada ribuan UMKM. Lima puluh satu ribu UMKM yang ada di DIY itu engineering good bagi pertumbuhan ekonomi,” ujar Budi.
Menanggapi permasalahan ekonomi selama COVID-19, kepala PSKK UGM, Agus Joko Pitoyo menekankan dampak COVID-19 terhadap sektor informal. Joko menjelaskan bahwa sektor informal penting untuk dibahas karena mendominasi struktur tenaga kerja di Indonesia.
“Lebih dari 70 juta pekerja berada di sektor informal. Banyaknya tenaga kerja terserap di sektor ini karena sektor informal memang cenderung lebih mudah dimasuki oleh angkatan kerja,” ujarnya.
Sektor informal saat pandemi juga cenderung tidak bisa bertahan. Hal ini setidaknya ditandai dari gangguan produksi, distribusi, dan konsumsi hingga penurunan pendapatan. Sektor informal mengalami keterpurukan saat pandemi juga karena pembatasan aktivitas sosial yang menyebabkan gangguan pada aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) dan supply chains produk.
Data BPS menunjukkan, 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (<1,8 juta) mengaku mengalami penurunan pendapatan. Sementara itu, pandemi COVID-19 juga menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran bagi 56 persen responden yang sebagian besar mengalami peningkatan antara 26-50 persen. Sebagian besar peningkatan terjadi pada pengeluaran bahan pangan (51 persen), hal ini dimungkinkan akibat dari adanya kegiatan Work from Home (WFH) dan School from Home (SFH).
Survei PSKK UGM: Dampak terhadap Pekerja Informal
Agus Joko Pitoyo menyampaikan hasil survei awal PSKK UGM terkait dampak COVID-19 terhadap pekerja informal. Survei ini diikuti oleh 64 pekerja informal di DIY. Survei dilakukan pada awal Juli dan masih berlangsung saat seminar ini digelar. Responden yang berpartisipasi terdiri atas pedagang, PKL, buruh bangunan, ojek online, dan pekerja seni. Hasil survei ini menunjukkan bahwa COVID-19 berdampak pada penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, penurunan konsumen, dan penutupan usaha.
Hasil survei menunjukkan, 31,3 persen responden menyatakan bahwa mereka mulai merasakan dampak pandemi sejak awal April. Hal ini menyusul penerapan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah.
Namun, penurunan pendapatan dan kesulitan yang dihadapi saat pandemi tidak mendorong sebagian besar pekerja informal untuk beralih pekerjaan. Hal ini disebabkan kompetensi yang dimiliki cenderung rendah dan persepsi bahwa tidak ada pekerjaan yang dapat menawarkan kondisi lebih baik. 23,4 persen pekerja informal yang beralih pekerjaan cenderung beralih pada usaha bisnis online. Bahkan kondisi pekerjaan yang buruk akibat COVID-19 tidak menimbulkan keinginan bagi 46,9 persen responden untuk berpindah pekerjaan setelah COVID-19 selesai. Sementara itu, 35 persen masih bimbang atas kondisi di masa setelah COVID-19 pada pekerjaan yang saat ini dimiliki. 17 persen lainnya memiliki keinginan untuk beralih profesi setelah COVID-19.
Selain itu, menurut Joko, COVID-19 juga berdampak pada pekerja kaki lima (PKL) di Kota Yogyakarta. Mayoritas pekerja dan PKL mengalami penurunan pendapatan hingga >50 persen. Penurunan pendapatan disebabkan adanya pembatasan sosial dan penutupan sekolah serta perkantoran.
“Terdapat perbedaan dampak COVID-19 terhadap pekerja dan PKL. Pada pekerja, COVID-19 menyebabkan penurunan jam kerja bahkan PHK. Namun, selama COVID-19 jumlah jam kerja PKL terdapat peningkatan 2-3 jam kerja karena menunggu pelanggan dan menambah jam kerja untuk mempertahankan pendapatan,” jelas Joko.
“Sektor informal berpotensi mengalami pemulihan lebih cepat jika aktivitas masyarakat dibuka kembali, namun masih dalam skala pemulihan yang kecil. Perlu adanya perlakuan khusus, misalnya melalui stimulus ekonomi agar proses recovery berjalan optimal,” pungkas Joko.
Kerentanan Penyandang Disabilitas
Koordinator kebijakan perlindungan sosial TNP2K, Dyah Larasati, menyoroti kelompok rentan lain yang terdampak selama COVID-19, yaitu para penyandang disabilitas. Diperkirakan 15 persen dari populasi penduduk di dunia memiliki disabilitas. Satu dari lima perempuan diperkirakan mengalami kondisi disabilitas selama hidupnya dan satu dari 10 anak-anak adalah anak dengan disabilitas. Sementara itu, sekitar sembilan persen (23,3 juta penduduk) di Indonesia mengalami kondisi disabilitas.
“Disabilitas di Indonesia dan kemiskinan memiliki korelasi yang kuat. Risiko akan lebih besar untuk kelompok disabilitas saat pandemi. Jika kita mempertimbangkan biaya tambahan yang diperlukan penyandang disabilitas, maka angka kemiskinan akan meningkat secara signifikan,” tutur Dyah.
Dyah menyampaikan, pandemi COVID-19 telah meningkatkan risiko dan kerentanan secara langsung maupun tidak langsung pada kelompok disabilitas, seperti 1) Mobilitas yang semakin terbatas akibat kebijakan “tetap di rumah”, baik itu atas rekomendasi atau dimandatkan atau diwajibkan, mengakibatkan kesulitan dalam mengakses layanan dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan; 2) Keterbatasan atau kesulitan mengakses informasi dan fasilitas layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan layanan terkait lainnya selama masa pandemi; 3) Kemungkinan berkurang atau terbatasnya bantuan pendapatan dari anggota keluarga lainnya karena mereka juga mungkin terdampak akibat pandemi ini; 4) Meningkatkan pengucilan dan isolasi sosial yang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, dan ketidakberdayaan, terutama karena kelompok disabilitas serta lansia memiliki kemungkinan kondisi medis atau penyakit bawaan lebih tinggi, sehingga lebih rentan terhadap penyakit ini; dan 5) Kurang dari tiga persen penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan sosial melalui Program ASPD dan PKH. Keterbatasan akses terhadap perlindungan sosial ini membuat mereka lebih rentan untuk bertahan.
Meski risiko dan kerentanan penyandang disabilitas akibat COVID-19 sangat banyak, studi atau data terkait peningkatan kerentanan penyandang disabilitas selama masa pandemi sangat terbatas.
“Sejauh ini, data dan bukti terkait peningkatan risiko akibat COVID-19 masih sangat terbatas dan umumnya hanya dapat ditemukan pada negara-negara berpendapatan tinggi (High Income Countries/HICs). Data dari negara miskin dan berpendapatan menengah (Low and Middle Income Countries/LMICs) masih amat sangat terbatas,” ujarnya.
Studi Dampak Ekonomi COVID-19 pada Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (April 2020) menunjukkan 87 persen pekerja mengalami penurunan pendapatan dan mayoritas mengalami penurunan drastis (50-80 persen dari pendapatan).
Kemudian kerentanan ekonomi penyandang disabilitas selama pandemi COVID-19 juga tinggi. 69 persen responden kemungkinan menjadi miskin atau semakin miskin karena kombinasi rendahnya penghasilan dan tingginya penurunan penghasilan akibat COVID-19. 41 persen penyandang disabilitas “sangat rentan” hampir pasti berada di bawah garis kemiskinan dan 28 persen penyandang disabilitas “rentan” berada di bawah atau sangat dekat dengan garis kemiskinan.
Untuk dapat membantu menyelesaikan masalahan ini, Dyah Larasati merekomendasikan kepada para pemangku kebijakan untuk memperluas cakupan dan memastikan kesesuaian nilai manfaat perlindungan sosial, memastikan perlindungan sosial yang inklusif, komprehensif, dan terintegrasi serta membuat mekanisme atau proses pendaftaran yang sederhana.
COVID-19 dan Marginalisasi Isu Perempuan
Peneliti senior dan pakar gender PSKK UGM, Dewi Haryani Susilastuti, menyoroti adanya marginalisasi isu perempuan di tengah COVID-19. Infografis Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan, terjadi 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan menurut ranahnya, yaitu ranah personal sebesar 75,4 persen (11.105 kasus), ranah komunitas sebesar 24,4 persen (3.602 kasus), dan ranah negara sebesar 0,08 persen (12 kasus). Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan fisik yang mencapai angka 5.548 kasus dengan 4.783 terjadi di ranah personal dan 765 kasus terjadi di ranah komunitas.
“Kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat selama pandemi, tetapi naiknya tingkat kekerasan terhadap perempuan bukan semata-mata karena COVID-19, karena sebelum COVID-19 memang kekerasan itu sudah ada,” tegas Dewi.
Menanggapi isu dampak COVID-19 terhadap sektor informal, Dewi menyampaikan data KPPPA dan BPS, 2018 yang menunjukkan bahwa 61.37 persen perempuan bekerja di sektor informal, sedangkan 23.31 persen berstatus sebagai pekerja keluarga.
Selain itu, terjadi marginalisasi isu perempuan selama pandemi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman kritis tentang perkembangan konstruksi gender di Indonesia dan pemikiran ibuisme negara (state ibuism). “Kalau kita lihat apa yang berlangsung dalam sejarah selama pemerintahan Suharto, ada yang dinamakan state ibuism. State ibuism itu adalah definisi negara atau konstruksi negara tentang perempuan yang ideal. Berdasarkan state ibuism, perempuan yang ideal adalah yang domesticated dan dedicated sangat tinggi terhadap suami, keluarga, dan negara. Jadi mereka mengorbankan kehidupan mereka demi suami, keluarga, dan negara tanpa mengharapkan imbalan yang sifatnya personal,” jelas Dewi.
Menurutnya, setelah pemerintahan Suharto memang ada perubahan pemikiran terhadap perempuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa state ibuism itu direproduksi di kalangan masyarakat yang relatif muda bahkan di tatanan para pembuat kebijakan, sehingga dampak COVID-19 yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai masalah sudah sesuai dengan konstruksi gender yang ada.
Dewi menyampaikan, isu perempuan termaginalisasi selama pandemi juga karena kurangnya representasi pemikiran ilmu sosial dalam respons COVID-19. “Pandemi COVID-19 lebih dilihat dari perspektif kesehatan. Kalau kita lihat jurnal-jurnal terutama yang ditulis di bidang kesehatan itu ada dua istilah yang diulang-ulang, yaitu Pharmaceutical Intervention (vaksin) vs Non-Pharmaceutical Intervention. Sementara tidak ada diskusi kultural yang reflektif tentang konteks, tentang ketimpangan struktural,” tegas Dewi.
Dewi menyimpulkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyingkap ketimpangan struktural yang menempatkan perempuan dalam posisi ekonomi, sosial, politik yang tidak menguntungkan, sedangkan respons pemerintah terhadap COVID-19 yang tidak sensitif gender membuat posisi perempuan semakin terpuruk. “Kemudian jika kita pakai bahasa perang, maka perempuan tidak ubahnya seperti collateral damage dalam perang melawan COVID-19,” pungkasnya.
Penulis: Nuraini Ika | Editor Bahasa: Rinta Alvionita | Foto: Alexs_foto (pixabay.com)
Catatan: rekaman lengkap seminar “Kelompok Rentan dan COVID-19 di Indonesia” dapat disaksikan di saluran YouTube PSKK UGM dan TNP2K Komunikasi.
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu syarat berhasil diraihnya bonus demografi adalah masuknya perempuan ke pasar kerja.
Yogyakarta, KR — SOSOKNYA garang, fenomenal dan kontroversial.
Yogyakarta, KR — SOSOKNYA garang, fenomenal dan kontroversial.
"Pernikahan anak ini juga memiliki dampak negatif bagi perempuan."
Batas usia pernikahan di usia 16 tahun bagi perempuan seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU No.
"Pernikahan anak ini juga memiliki dampak negatif bagi perempuan."
Batas usia pernikahan di usia 16 tahun bagi perempuan seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU No.
Yogyakarta, PSKK UGM – Ada perubahan kompleks yang terjadi pada budaya rewang di Jawa.
Yogyakarta, PSKK UGM – Praktek menyusui bukanlah persoalan sederhana.
Yogyakarta, PSKK UGM – Praktek menyusui bukanlah persoalan sederhana.