[SIARAN PERS] Teramat Padat, Apakah Ibu Kota di Jakarta Perlu Dipindah?

20 Agustus 2015 | admin
Berita PSKK, Kegiatan, Media, Seminar, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM — Jakarta, wilayah dengan kepadatan penduduk paling tinggi di Indonesia, menghadapi begitu banyak persoalan. Kemacetan selalu terjadi setiap harinya. Banjir datang setiap musim penghujan dan disusul dengan krisis air bersih. Belum lagi arus migrasi masuk terutama pasca Lebaran. Kendati demikian, daya dukung lingkungan yang lemah, kapasitas ruang yang sempit, dan bermacam ketidaknyamanan lainnya, tidak menyurutkan niat orang untuk datang ke Jakarta.

Lalu, apakah ibu kota Indonesia di Jakarta perlu dipindah? Tema ini diangkat oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada dengan menghadirkan Sosiolog UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi dalam diskusi yang berlangsung di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur, Kamis (20/8).

Menurut Tadjuddin, Indonesia menghadapi dua persoalan demografi yang mendasar. Pertama, distribusi penduduk yang timpang. Data dari Badan Pusat Statistik 2014 menunjukkan, jumlah penduduk yang tinggal di Jawa mencapai 57 persen, padahal luas wilayahnya hanya 6,6 persen dari luas Indonesia. Sementara penduduk di Indonesia bagian timur hanya mencapai 20 persen, meski luas wilayahnya hingga 72 persen dari luas Indonesia.

Persoalan kedua, adanya ketimpangan kepadatan penduduk yang ekstrim. Kepadatan penduduk Jakarta mencapai 15.015 jiwa per kilometer persegi. Padahal, luas wilayahnya hanya 664 kilometer persegi atau 0,03 persen dari luas Indonesia. Sangat timpang jika dibanding dengan kepadatan penduduk di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang rata-rata masih di bawah 100 jiwa per kilometer persegi. Apalagi Papua yang luas wilayah sekitar 22 persen dari luas Indonesia, tapi kepadatan penduduknya hanya 9 jiwa per kilometer persegi.

Persoalan demografi tentu saja membawa implikasi ekonomi dan sosial. Investasi penanaman modal asing maupun dalam negeri misalnya, masih terkonsentrasi di Jawa. Investor cenderung akan memilih daerah dengan potensi pasar yang baik serta memiliki ketersediaan tenaga kerja untuk menanamkan modalnya. Kondisi ini lambat laun menciptakan ketimpangan dalam pembangunan.

Perputaran uang masih terpusat di Jawa, khususnya Jakarta. Diperkirakan ada 60 sampai 70 persen uang yang beredar di Jakarta. Tak heran, pembangunan begitu gencar di Jakarta. Seperti peribahasa ada gula, ada semut, Jakarta bagaikan “gula”, memiliki daya pikat sehingga orang terus berdatangan ke sana.

“Tapi, mau sampai kapan pembangunan di Jakarta terus berlangsung sementara daya dukungnya, terutama lingkungan sudah tidak lagi memadai?” kata Tadjuddin.

Untuk implikasi sosialnya, sebagai pusat utama kegiatan ekonomi, angka kemiskinan Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan dengan kota dan desa di Indonesia, bahkan Indonesia secara keseluruhan. Persentase kemiskinan di Jakarta sebesar 3,7 persen, masih lebih rendah dari persentase kemiskinan di kota, yakni 8,5 persen, di desa 14,4 persen, bahkan di Indonesia secara nasional, yakni 8,5 persen.

Kesenjangan antardaerah dan beban Jakarta hanya akan semakin parah apabila ketimpangan distribusi penduduk serta tidak meratanya perekonomian belum bisa diatasi. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta. Terkait program transmigrasi yang digencarkan kembali oleh pemerintah, Tadjuddin mengatakan, itu bukanlah solusi.

Indonesia sudah lima abad melakukan transmigrasi penduduk, namun dampak bagi berkurangnya penduduk di Jakarta, tidak ada. Pemerintah juga harus hati-hati. Dampak bagi penduduk di daerah-daerah yang menjadi tujuan transmigrasi harus dipikirkan karena itu bisa menciptakan friksi bahkan potensi konflik, belum lagi eksploitasi terhadap lingkungan.

“Kalau mau, ya jangan program transmigrasi bagi petani lagi, melainkan anak-anak muda yang memiliki keterampilan untuk menambah kekurangan sumber daya manusia di daerah-daerah. Mereka dilatih untuk mengembangkan industri kreatif misalnya, dijamin mendapat kerja dan digaji layak,” jelas Tadjuddin.

Selain itu, Tadjuddin juga menyampaikan solusi alternatif, yakni dengan menyebarkan kegiatan pemerintahan yang selama ini terpusat di Jakarta ke daerah-daerah. Relokasi perlu dilakukan terhadap kantor-kantor kementerian, kantor lembaga dan badan pemerintahan ke provinsi-provinsi lainnya. Soal provinsi tujuan yang mana, itu perlu dikaji secara seksama dan komprehensif.

Solusi ini dinilai dapat mengurangi kesenjangan antardaerah karena dana APBN dan kegiatan yang melekat pada tiap kementerian, badan, dan lembaga pemerintahan turut tersebar ke tiap ibu kota provinsi. Cara ini dapat membantu memecahkan kesenjangan distribusi peredaran uang dan pembangunan di daerah.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM, Prof. Dr. Yeremias T. Keban mengatakan, Jakarta tidak bisa lagi dipandang sebagai satu kota yang berdiri sendiri. Jakarta merupakan bagian dari kota metropolitan yang lebih luas. Selama ini pilihan kebijakan pembangunan selalu bias ke Jakarta (Jakarta-biased).

“Pilihan kebijakan ini meningkatkan peredaran uang terbesar di Jakarta sekaligus dominasinya erhadap kota maupun daerah-daerah lainnya di tanah air. Maka, kebijakan investasi dan fiskal harus ditata kembali untuk meratakan kesempatan kerja sekaligus distribusi penduduk yang lebih baik,” kata Yeremias.

Yeremias menambahkan, wilayah seperti Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Bodetabek) sangat potensial menjadi daerah penyangga karena letaknya yang dekat. Commuting atau mobilitas penglaju dari luar Jakarta ke Jakarta pun sudah menjadi gejala umum. Maka, perlu ada kerja sama antardaerah penyanggah dalam menangani persoalan Jakarta, seperti banjir. Dalam hal ini, pemerintah pusatlah yang harus maju mengambil peran. [] Media Center PSKK UGM.

*klik file di bawah ini untuk mendapatkan siaran pers versi pdf: