Yogyakarta, PSKK UGM — Harus diakui, sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia tidak memperhitungkan mobilitas penduduknya yang sudah sangat tinggi. Kasus dihapusnya data 21 ribu TKI asal Kabupaten Ponorogo sebagai calon pemilih dalam pilkada 2015 menunjukkan pola pikir pemerintah daerah yang sangat administratif formal. Tidak bisa melihat secara lebih luas bahwa TKI memberi kontribusi positif bagi daerah asalnya dengan mendatangkan remitansi.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA menilai hal ini sebagai salah satu kelemahan mendasar dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan atau SIAK. Tempat tinggal masih didefinisikan secara statis. Lupa bahwa penduduk yang berangkat modern itu dinamis. Kini semakin banyak penduduk Indonesia yang memiliki mobilitas tinggi, bahkan memiliki tempat tinggal lebih dari satu.
Persoalan ini lalu memunculkan pertanyaan, bagaimana mobilitas penduduk perlu dipandang. Apakah mobilitas penduduk merupakan fenomena yang negatif sehingga hilangnya hak politik TKI dalam pilkada dinilai sebagai konsekuensi yang wajar ataukah justru positif sehingga perlu mendapatkan fleksibilitas atau kelonggaran?
Bagi Muhadjir, hak penduduk untuk memilih jangan sampai dihilangkan hanya karena dia mengalami mobilitas. Mobilitas merupakan sesuatu yang positif bagi masyarakat. Jika saat pemilihan presiden hak TKI yang bekerja di luar negeri bisa diakomodasi, maka mengapa saat pilkada tidak bisa? Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan sistem administrasi kependudukan serta sistem pilkada yang bisa mengakomodasi mobilitas penduduk yang sangat variatif.
Selain itu, Muhadjir juga memberikan catatan terhadap adanya ketidakadilan bagi para pemilih dalam sistem pilkada. Peraturan Pemerintah Pengganti UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pasal 56 ayat 3 menyebutkan jika pemilih mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, maka pemilih harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan E-KTP dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/lurah.
Namun, ada perlakuan yang berbeda jika seseorang hendak maju mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota. Para calon dimungkinkan untuk mencalonkan diri di daerah yang bukan domisilinya. Hal ini terjadi saat Pilgub Jakarta 2012 yang lalu. Saat itu Joko Widodo masih menjabat sebagai walikota Solo, sementara Alex Noerdin sebagai gubernur Sumatera Selatan.
“Seseorang dimungkinkan untuk menjadi calon kepala daerah di wilayah yang bukan domisilinya. Artinya, status kependudukannya bisa lebih dari satu tempat. Mengapa kemudian fleksibiltas ini tidak berlaku pula untuk para pemilih? Ada ketidakadilan yang sangat mendasar di situ,” kata Muhadjir lagi.
Catatan berikutnya adalah tidak semua penduduk telah memiliki E-KTP. Bukan karena persoalan administrasi kependudukan yang belum terlayani, tetapi karena mereka berada di luar kategori yang berhak mendapatkan E-KTP. Misalnya, warga yang tidak memiliki tempat tinggal permanen seperti gelandangan. Menurut peraturan, E-KTP atau surat keterangan penduduk merupakan syarat agar seseorang bisa mengikuti pemilihan. Artinya, belum semua penduduk memiliki hak untuk memiih. Ada yang tersisihkan karena kemiskinan dan status tempat tinggalnya.
Sebagai sistem yang mengolah data kependudukan dan catatan sipil di Indonesia, SIAK dinilai masih memiliki kelemahan. Kendati demikian, Muhadjir mengatakan, adanya SIAK dan E-KTP jelas membawa manfaat bagi masyarakat maupun pemerintah, terutama di dalam sistem pemilihan. Identitas dan jumlah pemilih menjadi lebih akurat karena kepemilikan identitas ganda bisa diminimalisir. Hal ini juga karena E-KTP memiliki data-data personal yang tidak bisa kembar seperti sidik jari dan scan retina mata.
Meski ada yang menilai terburu-buru, pilkada serentak 2015 sudah diatur dan harus dilaksanakan. Menurut Muhadjir, pilkada serentak merupakan hal yang masuk akal sebagai salah satu langkah efisiensi biaya. Terlebih, jika suatu saat pilkada bisa dilakukan secara elektornik.
“Ke depan harapannya bukan hanya serentak tetapi juga pilkada elektronik. Kalau elektronik itu hasilnya bisa segera kelihatan. Selain itu manipulasi data juga lebih kecil asalkan alat teknologi tersebut terpantau dengan baik,” tutupnya. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pilkada/beritadaerah.com
*Silakan mengunduh file siaran pers berikut: