Yogyakarta, PSKK UGM – Angka kemiskinan di Indonesia sejak 2006 memperlihatkan penurunan yang signifikan. Namun, penurunan ini tampak melambat di tahun-tahun berikutnya. Laporan Badan Pusat Statistik pada Maret lalu, bahkan menunjukkan angka kemiskinan justru naik. Penduduk miskin Indonesia mencapai 28,59 juta orang atau 11,22 persen. Bertambah 860 ribu orang dibandingkan laporan September 2014, yakni 27,73 juta orang atau 10,96 persen.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menilai, pemerintah selama ini menggunakan definisi serta parameter kemiskinan yang lemah sehingga gambaran angka kemiskinan terlihat positif dibanding kenyataannya. Lemahnya definisi dan parameter kemiskinan ini pada akhirnya mempengaruhi efektifitas pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan.
Sekian lama pemerintah mendefinisikan kemiskinan hanya dari perspektif ekonomi. Pada 2014 misalnya, pemerintah mendefinisikan garis kemiskinan dengan penghasilan per bulan (per kapita) sebanyak Rp. 312.328 atau setara dengan USD $25. Garis kemiskinan ini masih lebih tinggi dari yang didefinisikan oleh Bank Dunia, yakni mereka yang berpenghasilan kurang dari USD $1.25 per hari.
“Padahal, persoalan kemiskinan tidak sesederhana itu. Bukan hanya soal penghasilan yang rendah, tetapi juga ada persoalan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Ada juga persoalan ketimpangan antarkelompok, antargenerasi, maupun antarwilayah,” kata Hadna, Pakar Kebijakan Publik UGM.
Ini ditunjukkan oleh koefisien gini (ketimpangan distribusi pendapatan) Indonesia yang naik pada 2011 menjadi 0,41 dibandingkan pada 2007, yakni 0,35. Hingga 2013 koefisien gini bertahan di angka 0,41. Koefisen gini 0 menunjukkan kesetaraan yang sempurna, sementara koefisien 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
Hadna menyayangkan, selama ini definisi dan perameter kemiskinan hanya dilihat dari satu dimensi. Tak heran, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan selalu diarahkan pada penciptaan lapangan kerja. Logika berpikir yang diterapkan adalah bagaimana penduduk miskin mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Hal ini tidak salah, namun memahami persoalan kemiskinan mesti multidimensi. Kemiskinan di banyak tempat baik desa dan kota, Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa tidak lepas dari persoalan ketimpangan.
Program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia pun mestinya melihat bagaimana mengatasi ketimpangan. Di banyak negara lain di dunia, bahkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) sudah memasukkan aspek ketimpangan dalam program pengentasan kemiskinan. Poin kesepuluh SDGs mengamanatkan untuk mengurangi ketimpangan (inequality) baik yang terjadi antarnegara maupun di dalam negara. Pertumbuhan ekonomi tidak cukup efektif untuk mengurangi angka kemiskinan. Maka, dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) perlu dilibatkan.
“Untuk mengatasi ketimpangan di dalam negeri, saya cenderung untuk mengatakan, silakan masing-masing daerah untuk mengembangkan indikator atau parameter kemiskinan yang lebih kontekstual,” kata Hadna lagi.
Indikator dan parameter kemiskinan lokal bisa lebih mencerminkan kondisi riil di masyarakat. Selain itu, bisa lebih mudah digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di masing-masing daerah. Adanya indikator dan parameter lokal diharapkan membuat program pengentasan kemiskinan menjadi lebih tajam dan peka terhadap kelompok rumah tangga sasarannya.
Jika ini dilakukan, pemerintah pusat tetap harus menjadi fasilitator, Hadna menambahkan. Pemerintah pusat tetap harus berperan karena dana APBD pun berasal dari pusat. Namun, yang perlu dikurangi adalah intervensi berlebihan yang memaksa daerah untuk turut menerapkan satu kebijakan program yang sama bagi semua daerah.
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu duduk bersama. Selama ini yang terjadi adalah pemerintah pusat punya program sendiri, pemerintah daerah pun demikian sehingga satu kelompok sasaran bisa mendapatkan program yang sama dari sumber yang berbeda,” jelas Hadna.
Carut-marut tata kelola dalam kebijakan program pengentasan kemiskinan juga tidak hanya terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tingkat kementerian pun masing-masing memiliki program pengentasan kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan lintas sektoral, maka wewenang minimal berada di tangan presiden atau wakil presiden.
“Jika pemerintah menargetkan angka kemiskinan pada 2019 turun 8 sampai 7 persen, maka empat hal yang perlu dilakukan adalah membangun definisi, parameter, dan program kemiskinan yang lebih kontekstual dengan kondisi tiap daerah serta pembenahan tata kelolanya,” jelas Hadna. [] Ilustrasi ketimpangan ekonomi/http://assets.bwbx.io