SUDAH 69 tahun ekonomi negeri ini hanya berkembang di Pulau Jawa. Investasi pun umumnya ditanam di pulau seluas 127.569 kilometer persegi itu. Akibatnya, kesenjangan dengan wilayah di luar Jawa kian melebar. Sudah saatnya jurang ini dipersempit.
Pada pertengahan November 2014 harga semen 50 kilogram di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, mencapai Rp 1,7 juta per zak. Air mineral 600 mililiter seharga Rp 45.000 per botol. Gula pasir Rp 70.000 per kilogram. Harga ini belasan kali lipat dibandingkan dengan harga di Pulau Jawa. Padahal, pendapatan per kapita masyarakat di Puncak Jaya sekitar Rp 395.500 per tahun.
Kasus yang hampir sama terjadi di Nusa Tenggara Timur. Pelabuhan Tenau di Kupang, ibu kota provinsi itu, setiap tahun didatangi kapal-kapal membongkar aneka barang yang terisi dalam sekitar 3.000 peti kemas yang umumnya diangkut dari Pulau Jawa. Namun, saat kapal-kapal itu kembali dari Kupang, hanya 900 peti kemas yang terisi barang. Sisanya, 2.100 peti kemas, dalam keadaan kosong.
Kedua kasus ini setidaknya menggambarkan betapa tinggi kesenjangan antarwilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Kondisi itu sebetulnya dipicu sejumlah penyebab, antara lain pembangunan ekonomi selama 69 tahun ini terlalu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hampir semua barang kebutuhan diproduksi di Jawa—dari sana kemudian didistribusikan ke seluruh pelosok Nusantara.
Tak banyak berubah
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi tahun 2007, misalnya, tercatat ada 22,7 juta perusahaan di Indonesia. Dari 22,7 juta perusahaan itu, 63,8 persen beroperasi di Pulau Jawa, menyusul Sumatera 17,7 persen, Sulawesi 7 persen, Bali dan Nusa Tenggara 5,3 persen, Kalimantan 4,8 persen, serta Maluku dan Papua 1,3 persen. Bahkan, sekitar 83,2 persen perusahaan tersebut beroperasi di kawasan barat Indonesia, sebaliknya di kawasan timur Indonesia hanya kebagian 16,8 persen.
Peta penyebaran perusahaan tersebut, menurut mantan Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, tak banyak berubah hingga 2014, yakni masih terpusat di Pulau Jawa. Bahkan, investasi di Jawa cenderung meningkat, sebaliknya di wilayah timur Indonesia berkurang.
”Kondisi ini akan terus terjadi hingga tahun-tahun mendatang sebab sejumlah infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan dalam berinvestasi belum tersedia secara optimal, terutama Indonesia timur,” kata Retraubun.
Ambil contoh, listrik. Hingga kini hampir semua daerah di luar Jawa mengalami krisis listrik. Energi listrik yang tersedia umumnya untuk melayani kebutuhan rumah tangga. Itu pun dayanya masih terbatas sehingga sering terjadi pemadaman bergilir. Padahal, wilayah di luar Jawa memiliki sumber energi berlimpah, terutama gas alam, matahari, air, dan angin.
Ketidakadilan itu telah bertahun-tahun melilit sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi selalu dianggap sebagai hal lumrah. Masyarakat pun tak sanggup lagi berteriak sebab suara mereka selalu tak didengar para penguasa di pusat. Janji-janji yang disampaikan para pejabat itu kepada masyarakat terkesan sekadar basa-basi.
Tak cukup pelabuhan
Pertengahan tahun 2014, bersamaan dengan terpilihnya Joko Widodo menjadi presiden ketujuh RI, muncul gagasan membangun tol laut. Melalui program itu, nanti dibangun pelabuhan besar dan kecil di sejumlah titik yang bisa terhubungkan untuk distribusi barang. Dengan demikian, mudah dan meningkatlah arus barang dari wilayah satu ke wilayah lain.
Namun, konsep itu juga menimbulkan tanda tanya. Bukankah selama ini di hampir semua kota kabupaten/kota dan provinsi telah terbangun pelabuhan, selalu terjadi bongkar muat barang? Jika demikian, di manakah letak masalahnya sehingga masih terjadi kesenjangan ekonomi antarwilayah?
Harus diakui, pelabuhan bukan satu-satunya pengendali harga barang di tingkat konsumen. Pelabuhan hanyalah salah satu dari infrastruktur yang dibutuhkan dalam upaya pemberdayaan ekonomi suatu daerah. Faktor strategis lain, seperti bahan baku, jaringan jalan, daya energi listrik, air bersih, lahan, dan kemudahan perizinan, berperan penting bagi investasi.
Untuk itu, pembangunan pelabuhan perlu dibarengi dengan pendirian dan pengembangan industri di daerah. Kehadiran industri pengolahan akan menghidupkan ekonomi lokal. Harga bahan baku setempat terjaga sehingga masyarakat setempat terus bergairah meningkatkan produksi barang. Selain itu, tenaga kerja pun terserap. Kesejahteraan masyarakat bakal lebih baik. Lebih dari itu, akan terjadi aliran barang yang seimbang dari wilayah barat ke timur dan sebaliknya.
Kawasan industri
Untuk menghindari konflik langsung antara investor dan masyarakat, berinvestasi dalam kawasan industri merupakan pilihan paling nyaman. Sejauh ini kawasan industri itu umumnya berkembang di Jawa, sedangkan di luar Jawa, terutama di wilayah Indonesia timur, nyaris tak ada.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian telah mendorong adanya kawasan industri di daerah-daerah. Melalui kawasan itu, segala kebutuhan investasi terpenuhi tanpa hambatan serius.
Pola ini merupakan salah satu cara menumbuhkan industri di luar Jawa. Investor pun akan merasa lebih nyaman berinvestasi sebab terbebas dari konflik sosial.
”Bahkan, kawasan industri ini bisa saja dengan jenis usaha khusus, seperti kawasan industri perikanan,” ujar Retraubun yang juga Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Pattimura, Ambon.
Pembukaan kawasan industri di luar Jawa dinilai pengamat kelautan Aji Sularso sebagai pilihan tepat. Alasannya, banyak daerah, terutama di Indonesia timur, yang lahannya masih berupa tanah ulayat sehingga menyulitkan pembebasan untuk investasi.
”Inilah salah satu kendala masih rendahnya investasi di luar Jawa. Kendala ini perlu dicarikan jalan keluarnya,” kata Sularso.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Indonesia National Shipowners Association (INSA) Asmari Hery. Dia menilai bahwa yang dibutuhkan untuk menekan biaya barang di tingkat konsumen, terutama di luar Jawa, tidak sebatas ketersediaan pelabuhan. Yang terpenting adalah mengendalikan biaya di darat, antara lain ongkos transportasi dari pelabuhan menuju gudang penyimpanan atau sebaliknya, dan ongkos (parkir kapal) di pelabuhan.
Selama ini biaya di darat mencapai sekitar 60 persen dari total biaya pengangkutan barang dari Jawa ke Medan. Di kota lain, seperti di Indonesia timur, bisa saja lebih mahal lagi. ”Kami sudah sering mengeluhkan masalah ini, tetapi belum mendapatkan respons dari pihak terkait,” kata Hery.
Dengan berdalil jumlah penduduk yang terbatas, investor cenderung menghindari investasi industri pengolahan di wilayah timur Indonesia. Namun, demi keadilan dan pemerataan ekonomi, pemerintah wajib melakukan intervensi, termasuk memberikan sejumlah insentif sebagai daya tarik bagi investor. Hanya dengan langkah ini, program tol laut benar-benar mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Di sinilah visi dan kreativitas seorang kepala daerah diuji. Sejauh mana yang bersangkutan mampu menangkap peluang dari gagasan tol laut Presiden Joko Widodo untuk dimanfaatkan di wilayahnya.
Ingatlah, mendorong industrialisasi berkembang di luar Jawa tanpa didukung kreativitas kepala daerah setempat, semuanya bakal menjadi mubazir.[]
*Sumber: Harian Kompas, 19 Desember 2014 | Ilustrasi Tol Laut Bali: Forum Kompas