YOGYAKARTA – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM memproyeksikan jumlah penduduk RI pada tahun 2035 berjumlah 304,9 juta jiwa. Jumlah ini berbeda dengan proyeksi BPS yang memproyeksikan sekitar 305,6 juta dan proyeksi United Nation 303,38 juta. Bahkan PSKK UGM memperkirakan dalam periode 21 tahun mendatang, terjadi penambahan 50 juta angkatan kerja baru. Dengan demikian, ada 2 juta angkatan kerja baru tiap tahunnya. Bersama peningkatan jumlah angkatan kerja ini, potensi bonus demografi Indonesia akan dimulai pada tahun 2020 hingga tahun 2030. “Saat itulah RI berpotensi menjadi negara sejahtera, welfare state,” kata Agus Joko Pitoyo, MA, salah satu anggota tim peneliti PSKK UGM saat menyampaikan laporan Proyeksi Penduduk dan Kebutuhan Pangan, Kamis (22/5), di kantor PSKK UGM. Selain Joko Pitoyo, penyusunan proyeksi jumlah penduduk ini melibatkan anggota tim peneliti lainnya, Dr. Sukamdi, Eddy Kiswanto, M.Si dan Arif Fahrudin Alfana.
Dalam pemaparannya, Agus Joko Pitoyo menegaskan pertumbuhan penduduk yang sedemikian besar dalam 20-an tahun mendatang bisa menghasilkan potensi yang menguntungkan jika penduduk yang besar tersebut memiliki kualitas SDM yang tangguh dan berkualitas. “Jumlah penduduk yang besar juga bisa menimbulkan ancaman jika tidak mampu dikelola, sehingga bisa jadi beban pembangunan,” kata dosen Fakultas Geografi UGM ini.
Di sisi lain, tambahnya, persoalan serius yang perlu diantisipasi adanya pertambahan jumlah penduduk lansia. Menurutnya penduduk lansia akan meningkat tajam hingga 100 persen. Jika pada 2010 penduduk lansia berkisar 11,8 juta, diperkirakan bertambah menjadi 32,11 juta jiwa pada tahun 2035.
Kebutuhan Pangan Meningkat
Dosen Fakultas Pertanian UGM, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.EC, menilai sektor pertanian menurutnya tetap menjadi prioritas yang lebih penting ketimbang pertambahan jumlah penduduk. Pasalnya, belum ada teknologi yang mampu memproduksi pangan tanpa bercocok tanam. “Ada problem yag krusial, sampai kapan pun kebutuhan pangan akan selalu meningkat, tapi beras, jagung, daging dan garam, kita masih impor,” kata Jangkung.
Jangkung mengutip pernyataan Presiden Soekarno yang menyebutkan masalah pangan adalah soal mati hidup suatu bangsa. Jika tidak dipenuhi akan jadi malapetaka besar sehingga perlu usaha yang lebih radikal. Pernyataan Bung Karno tersebut menurut Jangkung masih sangat relevan pasalnya tingkat konsumsi pangan RI saat ini mencapai 139 kilogam perkapita pertahun. Sementara setiap tahun ada 400 ribu hektar lahan subur yang dikonversi. “Kalau tidak hati-hati, kita akan menjadi pengimpor beras yang besar lagi,” ujarnya.
Menurut Jangkung, tingkat konsumsi pangan tidak serta merta hanya dipengaruhi oleh faktor pertambahan jumlah penduduk. Menurutnya, ada faktor lain yang sangat menentukan seperti soal harga, barang substitusi, barang komplementer dan tingkat pendapatan perkapita. “Ada kecenderungan tingkat konsumsi beras saat ini menurun, salah satunya kita mengalami peningkatan pendapatan, orang tidak lagi hanya makan beras, beberapa keluarga melakukan diversifikasi. Ini menguragi beban ketersediaan beras,” katanya.
Namun begitu, Jangkung menyayangkan tingkat produktivitas padi RI masih kalah jauh dari Tiongkok, India dan Vietnam. Produktivitas padi nasional saat ini mampu memproduksi rata-rata 5.136 kg per-hektar. “Kita kalah dengan Vietnam yang mencapai 5.631 kg per-hektar,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
*Sumber: Humas UGM