Pelajar Perempuan Hamil Kerap Dikeluarkan dari Sekolah, Mengapa?

24 Oktober 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Media, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM – Kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada pelajar perempuan seringkali berakhir dengan putusnya partisipasi mereka di sekolah. Tidak sedikit institusi-institusi modern seperti sekolah yang melakukan “penertiban”, yaitu dengan memberlakukan sistem pemberhentian (drop out) bagi pelajar perempuan yang diketahui hamil.

Secara fisik, kondisi kehamilan terjadi pada tubuhnya sendiri dan tidak mengganggu orang lain, namun kenapa seorang pelajar perempuan harus kehilangan haknya untuk berpendidikan? Berangkat dari pertanyaan tersebut, Desintha Dwi Asriani, Ph.D. (cand), dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian disertasi untuk pendidikan doktornya di Ehwa Womans University, Korea Selatan.

Desintha melihat kasus KTD pada pelajar selalu dinilai sebagai kasus amoral. Oleh karena itu, apabila ada pelajar perempuan yang mengalami kehamilan, dia akan dipandang sebagai pelaku moral error.

“Meski ada sekolah yang memiliki kebijakan untuk tidak mengeluarkan, pelajar perempuan tersebut sudah tidak mau melanjutkan sekolah. Ada perasaan takut akan dihukum, dikeluarkan, distigma, hingga ditinggalkan teman-temannya,” ujar Desintha dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bertema “Pendisiplinan Tubuh Berbasis Gender pada Institusi Modern: Kasus Kehamilan Perempuan Pelajar”, Kamis (12/10) lalu.

Desintha menjelaskan, pendisiplinan tubuh menurut Michel Foucault tidak hanya terjadi melalui cara berpikir atau pengetahuan kognitif, namun juga sampai pada bagaimana kita menormalisasi gerak-gerik tubuh kita sehari-hari. Dalam masyarakat modern, proses pendisiplinan menjadi lebih rutin dan rigid sampai pada level kesadaran. Ini pula yang terjadi pada pelajar perempuan yang mengalami kehamilan. Pikiran yang cemas serta rasa malu mendorong mereka untuk tidak bersekolah lagi, bahkan mengurangi frekuensi untuk keluar rumah.

Apa yang disebut Foucault tentang pendisiplinan tubuh pada masyarakat modern memang benar-benar terjadi. Namun, kritik Desintha, teori Foucault belum cukup kuat karena seolah-olah semua yang ada di dalam masyarakat modern mengalami dampak pendisiplinan yang sama. Padahal, dampak pendisiplinan tubuh di antara laki-laki dan perempuan terjadi sangat berbeda. Pada fenomena kehamilan remaja misalnya, jarang sekali ada pendisiplinan atau tata tertib terhadap laki-laki yang menghamili.

Observasi ke beberapa sekolah di Yogyakarta juga dilakukan Desintha untuk melihat bagaimana sekolah melakukan normalisasi melalui peraturan-peraturannya. Tidak hanya aturan soal kehamilan pelajar, namun juga soal cara berpakaian, cara bertutur kata hingga bagaimana mereka melakukan standarisasi tentang pelajar perempuan atau pelajar laki-laki yang baik itu seperti apa. Selain observasi, ada juga diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dengan para pelajar SMA dan studi ethnography dengan mereka yang memiliki pengalaman kehamilan saat bersekolah dan oleh karenanya dikeluarkan dari sekolah.

“Asumsi awal penelitian saya, ada tiga dimensi bagaimana pendisiplinan tubuh masuk ke dalam kasus kehamilan remaja, yaitu penampilan atau appearance, mitos tentang keperawanan, dan kepatuhan,” tambah Desintha.

Pada dimensi penampilan, ada ukuran bahwa perempuan yang baik adalah yang menggunakan pakaian tertutup, seperti berlengan panjang dan berhijab. Ada konstruksi dimana perempuan yang menggunakan baju tertutup, seolah-olah dia tidak akan menyentuh atau tersentuh lawan jenis. Maka, ketika terjadi kasus kehamilan pelajar, cara berpikirnya akan sebaliknya.

“Cara berpikirnya, ya kalau kamu hamil, maka kamu harus dikeluarkan karena kamu adalah pelaku moral error. Dan yang benar adalah yang berpakaian tertutup, yang tidak menyentuh lawan jenis. Padahal, bisa saja beberapa di antara mereka dipaksa untuk berhubungan seksual,” jelas Desintha.

Untuk dimensi keperawanan, saat seseorang hamil, maka dia dianggap sudah tidak lagi perawan. Padahal, menurut Desintha, perawan atau tidak perawan sebetulnya hanyalah mitos karena sampai sekarang pun tidak ada pembuktian bahwa selaput dara merupakan ukuran baku seseorang masih perawan atau tidak. Apa sebetulnya keperawanan itu, baginya ukuran tersebut sangat bias.

Dimensi ketiga, kepatuhan, kesalehan atau piety. Maka, pelajar perempuan yang baik adalah mereka yang patuh, tidak hamil. Saat seorang pelajar perempuan hamil, dia langsung dinilai sebagai perempuan yang tidak patuh, bukan perempuan yang baik sehingga sudah sepantasnya dikeluarkan dari sekolah. Namun, hal ini tidak berlaku sebaliknya untuk laki-laki.

“Dalam ranah publik, yang namanya pelajar perempuan adalah mereka yang remaja dan perawan, bukan mereka yang menunjukkan feminitasnya seperti hamil. Dalam kaidah-kaidah modern yang dibangun oleh kultur maskulinitas, hamil merupakan hal domestik. Seorang pelajar perempuan tidak boleh menunjukkan kehamilannnya di publik,” tambah Desintha.

Sementara itu, data dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PKBI DIY) menunjukkan tingginya kasus-kasus KTD di Yogyakarta. Pada 2015 jumlah kasus KTD mencapai 976, lalu 863 kasus di 2016, serta 345 kasus per Agustus 2017 lalu. Hampir setiap harinya PKBI DIY melayani konseling terhadap para remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. [] Media Center PSKK UGM.