Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah menargetkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022. Kementerian Ketenagakerjaan bahkan telah merancang rencana dan strategi (roadmap) agar target tersebut tercapai. Dari total 1,7 juta pekerja anak di Indonesia, sebanyak 33.110 anak disebut telah mendapatkan pendampingan dan kembali bersekolah.
Menurut Sri Purwatiningsih, S.Si., M.Kes., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, fenomena pekerja anak memang sangat kompleks. Ada anak yang bekerja pada situasi yang buruk, namun ada pula yang bekerja pada situasi yang baik. Artinya, fenomena pekerja anak tidak selalu terkait dengan persoalan kemiskinan. Anak bahkan dapat dipekerjakan sebagai artis sinetron atau penyanyi cilik, mendapatkan uang dan ketenaran.
Jika persoalan pekerja anak hanya dibatasi pada anak dari rumah tangga miskin, penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pemerintah juga tidak sederhana. Anak tidak mudah dipisahkan dari dunia kerja. Banyak orang tua miskin tidak punya alternatif lain untuk meningkatkan usaha produktifnya baik di sawah, di kebun atau di warung, tanpa melibatkan anak dalam kegiatan ekonomi mereka. Banyak anak karena keterbatasan ekonomi keluarga terpaksa bekerja di luar rumah, lalu secara mandiri membiayai sekolah, membagi waktu antara tugas belajar dan bekerja, dan berhasil saat dewasa.
Sri kembali menjelaskan, tidak semua anak bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang buruk. Namun, baik atau buruk memang perlu dilihat dari indikator apa dan menurut perspektif siapa. Indikator yang digunakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) misalnya, adalah keselamatan anak—apakah pekerjaan tersebut membahayakan keselamatan fisik dan kejiwaan anak, juga yang mengancam masa depan anak seperti dalam hal pendidikan? Akan tetapi perspektif ILO bahkan pemerintah ini belum tentu sejalan dengan perspektif anak.
“Anak bisa memiliki perspektif yang berbeda. Sejumlah penelitian menunjukkan, anak lebih berminat pada pekerjaan yang memberikannya upah. Sementara menurut ILO, pekerjaan seperti itu dapat digolongkan pekerjaan yang buruk, misalnya saat anak bekerja di pabrik sepatu atau berjualan koran di jalan. Padahal menurut anak, itu baik untuk dilakukan,” kata Sri.
Kebijakan pembebasan pekerja anak menjadi problematik karena belum didasarkan pada pemahaman yang mendalam soal pekerja anak. Kata “bebas” dalam program Bebas Pekerja Anak sebenarnya tidak tepat karena target program bukan untuk membebaskan anak dari semua jenis pekerjaan, melainkan hanya dari pekerjaan yang buruk, padahal tidak semua anak bekerja dalam kondisi tersebut.
Kebijakan yang lebih tepat bukanlah pelarangan, namun pengaturan. Misalnya, menyangkut jenis pekerjaan yang dibolehkan, jam kerja maksimal, gaji minimum, keharusan memberikan hak-hak perburuhan (lbur, cuti, tunjangan), dan jaminan untuk dapat melanjutkan sekolah. Ketika aktifitas bekerja mendorong anak putus sekolah, solusi yang diambil bukan mengeluarkan anak dari dunia kerjanya, namun memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan pekerja anak.
Agar persoalan pekerja anak dapat tertangani secara lebih komprehensif, perlu dikembangkan pula kerja sama antara berbagai kepentingan (stakeholders). Kerja sama tidak hanya melibatkan instansi-instansi pemerintah saja, tetapi juga masyarakat dan swasta. Keterlibatan masyarakat dan pihak swasta perlu ditingkatkan lagi karena mereka bisa menjadi aktor yang penting dalam upaya memberikan perlindungan bagi pekerja anak.
Fenomena anak bekerja dengan menerima upah bukanlah monopoli negara berkembang. Di negara-negara maju hal ini juga bisa ditemukan. “Di Belanda misalnya, pemerintahnya mentoleransi pekerja anak seperti ini dengan mengatur batas waktu kerja dan mempertimbangkan usia untuk menjamin anak tersebut tidak kehilangan haknya untuk sekolah dan bermain,” jelas Sri. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pekerja anak/metrotvnews.com