Semarang (Antara) – Siapa bilang uang dan status sosial bukan sumber penting kebahagiaan seseorang. Hasil survei Badan Pusat Statistik yang diumumkan pada awal Februari 2015 menunjukkan kelompok berpenghasilan tinggi lebih berbahagia.
Survei BPS pada 2014 menunjukkan responden yang merupakan kepala rumah tangga atau pasangan rumah tangga dengan penghasilan lebih dari Rp7,2 juta/bulan, indeks kebahagiaannya mencapai 76,34. Sementara itu, responden dengan tingkat pendapatan Rp1,8 juta/bulan ke bawah indeks kebahagiannya hanya 64,58.
Variabel-variabel duniawi lain yang selama ini sering dicibir oleh penceramah bukan sebagai sumber kebahagiaan, ternyata berkorelasi positif dengan tingkat kebahagiaan seseorang. Artinya, kemakmuran duniawi lebih mendekatkan seseorang pada kebahagiaan yang ukurannya lebih dari sekadar sejumlah indikator material.
Ada pula yang menarik dari hasil temuan survei BPS tentang Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014 di Indonesia dengan sampel sebanyak 70.631 kepala rumah tangga dan pasangan rumah tangga itu.
Asumsi bawah sadar kebanyakan orang menyebutkan bahwa penduduk perdesaan lebih bahagia dibandingkan warga perkotaan. Namun, survei BPS untuk mengukur kebahagiaan warga tersebut menunjukkan hasil sebaliknya.
Indeks kebahagiaan orang perkotaan di Indonesia tercatat 69,62, atau lebih tinggi dua poin lebih dibandingkan dengan penduduk perdesaan yang tercatat 66,95. Akan tetapi, dibandingkan capaian 2013, penduduk kota dan desa sama-sama mengalami peningkatan kebahagian.
"Saya cukup terkejut terhadap hasil yang menunjukkan penduduk di desa tidak lebih bahagia dibanding dengan kota. Padahal, selama ini di desa kan lebih harmonis. Itu menurut saya," kata Dr. Agus H. Hadna, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta seperti ditulis dalam laman www.cpps.or.id.
Sebenarnya indeks kebahagiaan warga desa juga naik, namun lompatan warga kota jauh lebih tinggi. Pada 2013, indeks kebahagiaan penduduk kota 65,92, sedangkan warga desa 64,32.
Tekanan ekonomi warga desa di era konsumtif bisa jadi tidak beda dengan penduduk perkotaan karena sekat kota-desa kian tipis di era keterbukaan informasi sekarang ini. Gedoran penawaran barang dan jasa melalui layar tv, komputer, hingga telepon pintar membangkitkan dorongan konsumtif yang sama antara warga kota dan desa.
Yang membedakan, sumber keuangan di desa jauh lebih terbatas dibandingkan di perkotaan. Karena, sejatinya peredaran uang nasional masih didominasi kota-kota besar, terutama DKI Jakarta dan sekitarnya.
Survei BPS juga memperkuat temuan pada riset 2013 yang menyebutkan bahwa kebahagiaan berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan. Indeks kebahagiaan tertinggi diraih kelompok berpendidikan pascasarjana (S2/S3) dengan indeks 79,47, sementara responden lulusan SD indeksnya hanya 67,03. Orang dengan pendidikan lebih tinggi memiliki kebahagiaan lebih tinggi.
Dari survei tersebut juga diketahui bahwa kepala/pasangan rumah tangga dengan status cerai mati lebih berbahagia (65,80) dibandingkan yang berstatus cerai hidup (65,04). Boleh jadi, data ini mengindikasikan pasangan cerai hidup lebih menanggung beban traumatik sehingga mengurangi kebahagian.
BPS menyebutkan bahwa indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Ke-10 aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, serta kondisi keamanan.
Para peneliti mengidentifikasi sejumlah variabel sosial yang berhubungan dengan kebahagiaan, misalnya, relasi dan interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain.
Christopher Helman dari Forbes untuk mencapai kebahagiaan, antara lain, manusia harus memberi perhatian pendidikan anak, toleran terhadap perbedaan pandangan, bebas dari utang dan bisa menabung, makan dan tidur cukup, bisa membantu orang lain, menikah, beribadah, memahami tetangga, dan mencoba untuk berbahagia.
Bangsa Bahagia
Secara umum indeks kebahagiaan penduduk Indonesia pada 2014 berdasarkan hasil survei BPS yang diumumkan pada awal Februari 2015 tersebut tercatat 68,28 (skala 0-100) atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang tercatat 65,11. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum penduduk negeri ini relatif berbahagia.
Meskipun masih banyak penduduk Indonesia tergolong miskin dan ketimpangan pendapatan kian melebar yang diindikasikan dengan Indeks Gini 0,41, beberapa survei juga menunjukkan bangsa ini tergolong bisa menikmati hidup alias cukup berbahagia.
The Legatun Institute pada 2013 membuat peringkat kesejahteraan sebanyak 142 negara dengan tujuh variabel pengukuran, yakni ekonomi, kewirausahaan dan kesempatan berusaha, pemerintahan, pendidikan, keamanan, kebebasan individu, dan modal sosial.
Dari 142 negara tersebut, Indonesia berada di posisi ke-69 (menengah atas). Bahkan untuk variabel ekonomi dan modal sosial, Indonesia berada di posisi 35 dan 32. Artinya, negara ini memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang memiliki modal sebagai bangsa yang berbahagia.
Jauh sebelumnya, The New Economics Foundation yang bermarkas di London pada 2006 melalui riset bertajuk "Happy Planet Index" menempatkan kebahagiaan penduduk Indonesia pada urutan ke-23 dari 178 negara yang disigi, dengan indeks 57,9.
Survei kebahagiaan yang dilakukan oleh BPS mungkin belum sepenuhnya sempurna atau paling tidak masih dibutuhkan tambahan indikator lain untuk mengukurnya. Mengukur tingkat kebahagiaan memang lumayan rumit, tapi survei BPS dan lainnya menunjukkan bahwa unsur duniawi tetap menjadi modal penting warga untuk menuju bahagia. [] Achmad Zaenal M (berbagai sumber) (*)
*Sumber: ANTARA JATIM | Ilustrasi keluarga bahagia/mari-bicara.com