NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) Muhadjir Darwin mengatakan bahwa fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua merupakan wujud memburuknya demokrasi di Indonesia. Menurutnya paling tidak ada dua argumen yang menyebabkan hal itu terjadi.
“Menurut saya, fenomena pilkada DKI Jakarta putaran kedua ini (kemarin .red) sebagai wujud dari memburuknya pelaksanaan demokrasi di Indonesia,” ujar Muhadjir seperti dikutip dari siaran persnya, Jumat (21/4/2017).
Menurut dia, hal tersebut terlihat dari realita di lapangan yang mempertontonkan kedua fenomena besar dan menonjol. Pertama adalah pembagian sembako kepada masyarakat, kemudian muncul klaim dari kedua kubu, bahwa pihak lain yang melakukannya.
“Saya punya komentar bahwa siapapun yang melakukannya, itu adalah black campaign. Tangan kirinya memberi, tangan kanannya menuding pihak yang lain sebagai pemberi,” ungkap Muhadjir.
Kedua, wisata Almaidah yaitu dengan mengirim orang dari luar DKI Jakarta untuk mendatangi TPS-TPS di DKI Jakarta. Terkait hal ini, kata dia, unjuk kekuatan di hari dan detik pencoblosan merupakan contoh demokrasi yang buruk.
“Pertanyaannya, mereka itu sedang kampanye apa? Berkampanye menjatuhkan lawan atau menjatuhkan martabat sendiri? Membela dan mengharumkan agama atau mencemarkan agama sendiri?” tanya Muhadjir.
Ia mengatakan, bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah persoalan otot, tetapi persoalan hati dan pikiran. Sebab orang memilih karena senang terhadap yang dipilih, bukan karena takut jika berbeda pilihan.
“Seharusnyalah agama menjadi penyejuk kehidupan, bukan hantu kehidupan. Menjadikan agama sebagai hantu adalah penistaan agama yang sebenarnya,” tandasnya. [] Eriec Dieda
*Sumber: Nusantaranews.com | Photo Pilkada DKI Jakarta/beritagar.com